Rabu, Oktober 16, 2024

The Kimono Experience, ketika Jepang menyapa dunia

Must read

Pernahkah Anda mengenakan kimono, pakaian nasional Jepang yang masyur itu? Emi Rahmayanti, traveler yang juga seorang penulis, bahkan ditawari oleh teman Jepangnya untuk menjajal berkimono. Seseru apa pengalamannya memakai kimono dengan tetap berhijab? Emi menuliskan kisahnya untuk Sorogan.

Emi Rahmayanti

Di tengah revolusi teknologi yang melesat cepat, Jepang memiliki perhatian yang sangat tinggi untuk memelihara kebudayaan tradisionalnya. Termasuk, memperkenalkan budaya mereka kepada dunia melalui pakaian nasional (minzoku isho) ”Kimono”.

Jauh hari menjelang penyelenggaraan Olimpiade 2020, di mana Tokyo akhirnya terpilih sebagai tuan rumah pesta olahraga musim panas itu, Jepang telah bersiap-siap. Mereka hendak membuktikan bahwa bangsa Jepang mampu menyatukan bangsa-bangsa seantero dunia lewat daya tarik kebudayaannya.

Saya beruntung ikut merasakan persiapan itu. Suatu hari di awal Januari 2015, saya ditawari Noriko Ikeda, seorang teman Jepang di kelas ”tole painting”, ”Apakah Emi bersedia dipakaikan dan diperkenalkan dengan kimono?”

”Oh, dengan senang hati,” sambut saya cepat-cepat. Suami Noriko, Yoshimasa Ikeda, bekerja sebagai manajer pada divisi kimono di sebuah department store papan atas di Tokyo. Secara pribadi, ia terpanggil untuk mendedikasikan dirinya secara sukarela, memperkenalkan kimono kepada dunia.

Pak Ikeda misalnya, pernah terbang ke Hanoi, khusus untuk memperkenalkan kimono kepada masyarakat Vietnam. Artinya, sejak lima tahun sebelum hajatan olimpiade digelar, semua persiapan sudah mengarah untuk memberikan pertunjukan budaya yang terbaik buat tamu-tamu dunia.

Untuk bangsanya sendiri, Pak Ikeda juga aktif membantu memberikan kesempatan kepada warga di daerah-daerah bencana untuk tetap bisa mengenakan yukata (baju tradisional Jepang/kimono musim panas), seperti yang ia lakukan terhadap warga yang tertimpa gempa dan tsunami pada 2011.

”Saat musim panas, kami menyediakan pakaian yukata untuk bisa mereka kenakan ketika hanabi (pesta kembang api di musim panas). Kemungkinan besar, saat bencana melanda, yukata atau kimono mereka rusak atau hilang. Kami meminjamkan yukata untuk mereka kenakan pada matsuri (pesta rakyat),” papar Noriko.

Tata cara berkimono sekilas terkesan ”rumit”. Antara lain, ia harus memperlihatkan kerapian kerah di depan dada. Lalu, kerah di bagian kanan harus berada di bawah kerah bagian kiri. Kerah di bagian leher belakang pun mesti tertata rapi.

Selain itu, masih ada sabuk lebar (disebut obi) yang dililitkan ke badan dari bawah dada hingga pinggang, yang dibuat dengan bentuk tertentu di bagian punggung. Terakhir, diberi hiasan tali obi dengan simpul cantik serta sanggul penghias rambut. Sementara, alas kakinya berbentuk sandal jepit yang disebut zori atau geta, dengan kaus kaki putih bernama tabi.

Ketika Noriko menawari saya untuk berkimono, saya katakan akan tetap mengenakan hijab di kepala, yang menutupi rambut, sebagai cara berpakaian muslimah.

Ketika Noriko menawari saya untuk berkimono, saya katakan akan tetap mengenakan hijab (jilbab) di kepala, yang menutupi rambut, sebagai cara berpakaian muslimah – seraya menjelaskan alasannya. ”Kalau nanti pada Olimpiade 2020 ada muslimah dari negara-negara lain datang dan ingin mengenakan kimono, saya kira mereka juga akan meminta untuk tetap berhijab,” jelas saya kepada Noriko.

”Tentu, sama sekali tidak jadi masalah. Malahan senang sekali kalau Emi tetap berhijab dan bersedia kami pakaikan kimono,” ujar Noriko. Ia sangat memahami, bahkan mungkin justru merasa tertantang karena mendapatkan pengalaman baru: mengenakan kimono pada perempuan berhijab.

Berkimono di kota tua

Kami pun berkencan. Sabtu menjelang siang, 7 Februari 2015, saya dan anak gadis saya, Emira Rosyada, berangkat ke Nihonbashi, Tokyo. Tepatnya ke Coredo (coridor edo), wilayah bisnis terkenal di Nihonbashi – salah satu tempat bersejarah dan kota tua di Tokyo.

Di sana ada Kyoraku-Tei, studio kimono yang terletak di department store Coredo Muromachi lantai 3. Studio ini juga menyewakan ruang untuk minum teh dan semacam aula untuk bikin acara. Sejak musim semi 2014, Kyoraku-Tei menjadi tempat ”omotenashi” untuk berbagi pengalaman tentang kebudayaan tradisional Jepang.

Furisode, spesial untuk anak gadis.
Kimono untuk perempuan berhijab.

Pak Ikeda bekerjasama dengan Shin-Nichiya (http://www.shinnichiya.com) menyelenggarakan kegiatan pengenalan budaya tradisional Jepang bagi orang-orang asing. Siapa pun dia. Termasuk, menggunakan studio Kyoraku-Tei untuk memperkenalkan kimono kepada warga bangsa lain, juga kepada warga Jepang sendiri.

Untuk menyewa kimono di Kyoraku-Tei, tarif resminya ¥5,500 dengan waktu sewa mulai pukul 10.30 – 15.30, setiap hari Kamis dan Sabtu. Setelah didandani kimono atau yukata (untuk musim panas), kita boleh pergi sendiri berfoto-foto ke mana suka dengan membawa kamera sendiri. Yang penting, maksimal pukul 18.00 kimono sudah harus kembali. Semua barang yang tidak perlu kita bawa, bisa dititipkan di studio. Gratis.

Lagi-lagi saya beruntung karena tak perlu menyewa. Pak Ikeda dan istrinya Noriko sengaja menggratiskan untuk saya, sekaligus memberi kesempatan mencobakan proyek volunteer-nya kepada saya dan Emira. Noriko hari itu membawa kimono koleksinya untuk kami kenakan.

Berfoto outdoor di kawasan Coredo.

Saya memilih warna keemasan yang elegan. Kebetulan, pas dengan warna scarf sutera hijab yang saya pakai hari itu. Sedangkan Emira, ia memilih kimono berlengan panjang warna merah muda (disebut furisode). Spesial untuk anak gadis yang saat itu memasuki usia 20 tahun.

”Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. Hanya bisa dikenakan oleh anak gadis yang belum menikah,” kata Kimono dresser kami. Dua orang Kimono-dresser mendandani saya dan Emira. Obi saya dibentuk menyerupai Gunung Fuji.

CIRI KHAS Furisode adalah lengan yang lebarnya hampir menyentuh lantai. hanya bisa dikenakan oleh anak gadis yang belum menikah.”

Perlu penanganan khusus

Mengenakan kimono diawali dengan terlebih dulu memakai beberapa helai baju dalam. Kain kimono sangat spesial dan memerlukan penanganan khusus, sehingga sangat jarang dicuci. Kimono biasanya berbahan kain berkualitas tinggi, dan dijahit tangan. Karena itu, baju dalam sangat penting dipakai untuk melindungi kimono agar tidak cepat kotor.

Ada beberapa jenis baju dalam kimono. Urut-urutan memakainya adalah hadajuban (dalaman), susoyo (bawahan), hanjuban (blus), nagajuban (dalaman panjang terusan, terdiri dari atasan dan bawahan yang bersatu, biasanya terbuat dari sutera), sarasi, lalu kimononya, dan terakhir ikat pinggang obi.

Emira dengan balutan furisode merah muda.

Setelah semua kain terpasang di badan, kami pun berfoto sejenak di studio dengan interior dalam ruangan. Pajangan kimono yang dilebarkan dan digantung di tapestry holder, juga Wagasa (payung khas Jepang yang terbuat dari kertas washi) menjadi latar sesi pemotretan di dalam studio.

Sesudahnya, kami lebih memilih berfoto dengan suasana outdoor. Persisnya di jalanan kecil di kawasan Coredo, dekat studio. Suasana Jepang dengan warna-warni bangunan yang hitam plus ornamen lampion di depan pintu atau jendela, sangat pas untuk memberikan nuansa Jepang pada pengambilan gambar kami dalam balutan pakaian kimono. Sungguh, sebuah pengalaman yang berharga.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article