Jumat, November 15, 2024

Pemimpin harus berbasiskan fakta, bukan ilusi

Must read

Setiap memberi kuliah kepemimpinan, saya selalu membukanya dengan leadership diamond yang digagas Peter Koestenbaum (2002), The Inner Side of Greatness. Sengaja memilih buku ini karena tujuan pengajarannya bukan melahirkan pemimpin biasa, melainkan pemimpin besar (great leader with greatness).

Maka ketika Indonesia dilanda hoax yang bisa memicu kebencian dan kebengisan beberapa hari ini, dan ketika hoaxmaker-nya mengakui bohong (3/10/2018), murid-murid saya pun tersontak.

Mereka kembali membahas Leadership Diamond: Seseorang hanya bisa menjadi besar kalau selalu bekerja dengan fakta. Bukan ilusi. Ya, fakta.

Percuma bergelar tinggi kalau mengendus fakta saja tidak bisa. Pemimpin tidak bisa memajukan bangsanya dengan ilusi. Maka dalam science pun, ilmuwan dibekali validity dan realibility check.

Di abad 21, Profesor Yuval Noah Harari mengingatkan bencana disillusionment akibat teknologi dan disrupsi. Baginya, “Clarity is Power.”

Dalam kepungan banyak berita yang kurang relevan, mendapatkan gambaran besar yang sebenarnya adalah sebuah kemewahan. Apalagi, “humans think in stories rather than in facts,” ujarnya.

“… humans think in stories rather than in facts.”

Tukang Mancing Lebih Pandai?

Saya membaca penyesalan para elit yang mengaku telah dikibuli seorang hoaxmaker minggu ini sambil senyum-senyum. Padahal beberapa jam sebelumnya mereka masih genit di hadapan wartawan dengan meyakinkan publik bahwa hoax itu benar. Sebaliknya anak-anak muda sudah lebih awal mengatakan, itu hoax.

Jejak digitalnya di lokasi sekitar kejadian sama sekali tidak ada. Akal sehat kita pun sebenarnya dengan mudah bisa menangkap “bahwa seseorang tengah merangkai sebuah ilusi.”

Apalagi bagi pemimpin yang sudah makan asam garam. Seharusnya mereka sudah dibekali validity check dan intuisi yang kuat. Tanpa kemampuan mendeteksi fakta, seorang ekonom tak akan mungkin bisa menjadi menteri keuangan yang baik. Juga tanpa itu seorang panglima perang tak bisa membentengi bangsanya dalam peperangan.

Melihat kerumunan banyak saja mereka bisa bilang itu PKI. Atau saat kurs menembus Rp 15.000 mereka langsung bilang krisis.

Kalau Anda ingin tahu bagaimana masyarakat bergulat dalam serangan hoax dan mendeteksi kebohongan, maka bukalah video-video di YouTube dengan kata kunci ‘penipuan’.

Anda akan terkejut. Sebab jumlahnya ribuan. Menggambarkan pengalaman rakyat jelata berhadapan dengan penipu. Salah satu favorit saya adalah tentang tukang mancing yang menghadapi seorang penyebar hoax sampai penipunya menyerah.

Setelah menyaksikan video itu, saya yakin Anda pasti memiliki persepsi yang sama dengan saya: Masyarakat kita telah menjadi sangat cerdas.

Mereka bukan cuma mengerti berita yang mereka terima hoax atau bukan, melainkan juga mengerjai penipunya. Mereka kuras pulsanya, membuat mereka marah karena gagal mendulang keuntungan. Ya, tentu penebar hoax mencari keuntungan dari kesusahan orang lain.

Sekali lagi ada ribuan video serupa itu, bukan satu-dua. Dan perlu saya ingatkan agar Anda berhenti. Masalahnya Anda akan ketagihan. Sebab, video-video itu genuine dan membuat Anda bahagia. Bukan karena lucu, tetapi puas telah bersatu dengan pemberantas hoax.

Nah, kalau masyarakat sudah begitu cerdas, renungkanlah, mengapa orang-orang hebat yang kemarin membenarkan dan turut mengamplifikasi hoax mengaku “telah menjadi korban berita tidak benar” alias tertipu? Ada yang berargumen empati telah mengalahkan nalar mereka. Tetapi benarkah demikian? Apakah empati disampaikan dengan pedas?

Saya menduga mereka telah sengaja membuat diri larut dalam ilusi yang mereka inginkan sendiri sehingga semakin menjauh dari fakta. Pemimpin yang demikian tentu bisa merepotkan masa depan diri dan bangsanya. Ya bagi saya mereka terlalu asik dengan khayalan “kebenaran” yang mereka inginkan. Ilusi itu bisa menjadi senjata untuk membenarkan pendapatnya tentang dunia yang “tidak adil”.

Tentu ada beragam interpretasi meaning dari kata “tidak adil”. Tetapi pada akhirnya seseorang bisa merasa tidak adil karena “kalah.” Apakah itu berasal dari ambisi yang tak terdamaikan, lawan yang jauh lebih unggul, atau sebuah peristiwa traumatik yang menuntut semacam kompensasi. Entahlah.

Uji Kebenaran

Leadership diamond Koestenbaum memang bukan melulu soal uji kebenaran. Selain reality check, ada etika, visi dan keberanian mengeksekusi yang perlu dimiliki seorang great leader. Tetapi di antara keempat elemen itu dalam era disrupsi, bekerja dengan reality adalah yang terpenting.

Mengapa? Ini tentu karena dunia telah berubah dengan begitu cepat dan segala kehidupan telah dilengkapi dengan sensor-sensor pendeteksi. Jadi di zaman ini sudah tidak sulit lagi untuk mengecek suatu kebohongan atau sebuah ilusi yang dibuat oleh siapa saja, termasuk oleh para politisi, petinggi-petinggi partai, koruptor, pencuri handphone di bandara, atau pembuat isu apa saja.

Kalau Anda kurang yakin, ikuti saja fakta-fakta persidangan KPK. Seseorang boleh berpura-pura menjadi ahli filsafat, dosen, ahli hukum, pejabat tinggi, atau apa saja, tetapi begitu dia “acting”, pasti cepat terdeteksi.

Seperti kata Seth Stephens Davidowitz, semua orang (yang) berbohong selalu akan meninggalkan digital footprint yang bisa dilacak. Digital footprint itu bisa berupa rekaman suara, tangkapan kamera CCTV, absen digital, transfer uang, rekaman GPS, pemantau jalan, sampai statement-statement di sosial media.

Maka Anda boleh saja pura-pura bersandiwara, namun jejak-jejak digital yang Anda tinggalkan akan mudah terbuka. Jejak-jejak itu kini menjadi mainan yang mengasyikkan bagi generasi millenial, untuk menertawakan aktor-aktor yang berbohong.

Oh iya, dalam jejak-jejak itu juga bisa terbaca, siapa saja penyedia panggungnya, dan siapa pemandu soraknya.

Dan di zaman ini, tiba-tiba kita bisa menemukan orang-orang yang mengalami dislokasi sosial. Yang kesulitan membedakan mana peran sandiwara dan mana yang betulan (namun menerima bayaran atas peran rielnya). Atau bisa kesulitan menempatkan diri sebagai pengamat ataupun pelaku.

Orangtua yang tak mau anak-anaknya mengalami dislokasi sosial di kemudian hari, maka jangan buru-buru menjadikan balita kesayanganya pemain sandiwara sebelum mereka tahu betul beda sandiwara dengan dunia riil.

Dan bagi calon-calon presiden, pecat saja para pembuat dan penyebar hoax yang sudah dikontrak. Jejak-jejak digital mereka kini sudah ada di tangan publik dan sebentar lagi satu persatu ulah mereka akan terbuka.

Jadi, wahai pemimpin kembalilah pada realitas, bukan ilusi.

Rhenald Kasali

Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia

(Sumber: Liputan6.com, 04/10/2018)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article