Kita dihadapkan pada dua pilihan ekstrem: percaya polisi atau meragukan polisi. Yang satu tidak lebih mulia dari yang lain.
Oleh: Farid Gaban
orang-orang yang meragukan pernyataan resmi polisi atau pemerintah sering dicap mengidap penyakit “teori konspirasi” dalam konotasi yang merendahkan. Tapi, pada dasarnya, mereka yang 100 persen percaya begitu saja pernyataan polisi, atau cerita versi pemerintah, sebenarnya juga mengidap penyakit yang sama. Yang satu percaya “Teori Konspirasi Resmi”. Yang lainnya percaya “Teori Konspirasi Tak Resmi”. Yang satu tidak lebih mulia dari lainnya.
Dalam kasus bom di beberapa gereja Surabaya, hal yang sudah jelas adalah korban dan tersangka pelaku, yang juga tewas. Selebihnya, terutama yang berkaitan dengan motif, masih merupakan misteri.
Kita layak berduka untuk para korban. Tapi, berduka saja tidak cukup. Mengingat ini sudah terjadi berkali-kali, adalah tanggung jawab kolektif kita yang hidup untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dan siapa dalang dari semua ini.
Itu bukan pekerjaan mudah dan tidak semestinya dilakukan tergesa-gesa. Kita orang awam sulit sekali mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Orang awam biasanya merujuk pada media. Tapi, bahkan bagi para wartawan, liputan tentang terorisme adalah liputan yang sulit. Apalagi jika ingin mengungkap semua aspeknya secara tuntas.
Kita tidak memiliki akses pada hard evidences (bukti-bukti keras seperti sidik jari, forensik, dsb) maupun circumstantial evidences (kesaksian, catatan database kriminal, dsb). Cuma polisi yang punya akses.
Dalam situasi seperti itu kita dihadapkan pada pilihan yang jelas: percaya polisi atau meragukan polisi. Cuma polisi yang bisa tahu, melalui rangkaian penyidikan, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, bahkan hasil penyidikan polisi pun masih akan diverifikasi lagi oleh lembaga peradilan jika, misalnya, melibatkan tersangka pelaku yang masih hidup.
Di awal penyidikan, polisi biasa mengembangkan teori, atau semacam hipotesis, yang bisa memandu penyidikan. Jika kejahatan melibatkan orang banyak, teori yang dikembangkan adalah teori konspirasi.
Dalam perjalanan, teori atau hipotesis itu bisa benar, bisa pula menuntun polisi pada fakta lain dan kesimpulan lain. Bahwa apa yang diduga pelaku, misalnya, ternyata korban juga.
Bahkan jika polisi bekerja sungguh-sungguh serta jujur (tidak berbohong dan tidak menyembunyikan sesuatu), masih ada kemungkinan polisi keliru mengambil kesimpulan.
Dalam kasus bom Surabaya, hanya beberapa jam setelah peristiwa, Kapolri Tito Karnavian mengatakan Dita Oepriarto adalah pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya yang berafiliasi ke ISIS di Suriah.
Banyak pertanyaan bisa muncul dari situ: Seberapa hebat sih sebenarnya JAD, apa tujuan utama organisasi ini?
Polisi menyebut Aman Abdurrahman sebagai Imam JAD Indonesia. Aman kini ditahan di Mako Brimob. Bagaimana dia mengendalikan operasi tanpa diketahui polisi (atau diketahui?)
Banyak pertanyaan bisa muncul dari situ: Seberapa hebat sih sebenarnya JAD, apa tujuan utama organisasi ini?
Apa motif ISIS yang jauh di Suriah menyuruh anggotanya di Surabaya untuk membunuh jemaah gereja? Benarkah ISIS terlibat? Apakah artinya Amerika dan Israel terlibat, mengingat menurut sebuah teori, ISIS dibuat oleh Amerika dan Israel? Siapa dalang operator Amerika-Israel di sini? Apa motif mereka? Mengapa polisi tidak memantau Kedutaan Amerika secara serius? Atau kaitan antara ISIS dan Amerika itu cuma “teori konspirasi tak resmi”?
Pendek kata, ada banyak pertanyaan. Ada banyak pula jawaban polisi, satu-satunya lembaga yang punya akses pada penyidikan.
Bagi kita, pilihan ekstremnya ada dua: percaya polisi atau meragukan polisi. Yang satu tidak lebih mulia dari yang lain.