Pimpinan KPK harus Introspeksi dan Tindaklanjuti Hasil Investigasi Indonesialeaks
(Oleh Bambang Widjojanto)
Setelah membaca liputan investigasi bersama media yang tergabung di Indonesialeaks terkait dugaan aliran korupsi dan kongkalikong penegak hukum di negeri tercinta ini. Saya merasa perlu memberikan catatan dan statemen kritis terhadap hal tersebut.
“Duuaar”, dentuman itu menggelegar, merobek-robek dan melumat nurani keadilan, nyaris lebih dahsyat dari gempa dan tsunami yang terjadi di Palu-Donggala takala Indonesialeaks merilis hasil investigasinya yang diduga melibatkan para petinggi penegak hukum di republik tercinta ini dan indikasi kongkalingkong untuk menutupi rekam jejak kasus ini.
Tak hanya buku–bank bersampul merah atas nama Serang Noor IR yang memuat indikasi transaski kejahatan tapi juga fakta adanya tindakan merobek 15 lembar catatan transaksi “jadah” atas buku bank serta sapuan tip-ex di atas lembaran alat bukti. Kasus penyuapan atas Paskalis Akbar oleh Basuki Hariman. Yang melegakan, kejadian itu juga diketahui penyidik KPK lainnya serta terekam dalam CCTV di ruang kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada 7 April 2017.
Tak pelak lagi, perobekan atas buku bank sampul merah PT Impexindo Pratama karena buku itu berisi catatan pengeluaran perusahaan pada 2015-2016 dengan jumlah Rp 4,337 miliar dan US$ 206,1 ribu, salah satu motif utamanya, diduga, ditujukan untuk menggelapkan, meniadakan dan menghapuskan nama besar petinggi penegak hukum yang mendapatkan transaksi ilegal dari perusahaan milik Basuki Hariman.
Yang lebih mengerikan seolah menghancurkan wajah dewi keadilan, Barita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik KPK, Surya Tarmiani pada 9 Maret 2017 yang memuat keterangan saksi Kumala Dewi Sumartono yang membuat rincian catatan laporan transaksi keuangan dalam kapasitasnya sebagai Bagian Keuangan CV Sumber Laut Perkasa, justru tidak ada di dalam berkas perkara. Yang tersebut di dalam berkas perkara jutsru BAP dari pelaku yang diduga menyobek 15 lembar transaksi jadah itu;
Padahal BAP yang dibuat penyidik Surya itu, memuat keterangan adanya 68 transaksi yang tercatat dalam buku bank merah atas nama Serang Noor dan ada 19 catatan transaksi untuk individu yang terkait dengan institusi Kepolisian RI. Indonesialeaks menyatakan “Tertulis dalam dokumen itu bahwa nama Tito Karnavian tercatat paling banyak mendapat duit dari Basuki, langsung maupun melalui orang lain”, baik ketika menjabat sebagai kapolda Metro, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pada Maret-Juli 2016 maupun ketika sudah dilantik sebagai Kepala Kepolisian RI.
Yang harus dipersoalkan dalam seluruh kekisruhan ini, di mana posisi hukum dan nurani keadilan dari komsioner KPK yang sekaligus Pimpinan KPK. Kejahatan yang paling hakiki dengan derajat luar biasa terjadi didepan mata, hidung dan telinga mereka, tapi Pimpinan KPK “tinggal diam”, “mati” akal-nurani keadilannya dan “mati suri” . Yang tidak bisa dimaafkan dan sulit untuk dimengerti, Pimpinan KPK dapat dituding telah secara sengaja menyembunyikan dan juga melakukan kejahatan yang sekaligus merusak kehormatan dan reputasi Lembaga KPK yang dibangun bertahun-tahun dengan susah payah sehingga dapat dipercaya rakyat serta menjadi “pelepas dahaga harapan”.
Tidak ada pilihan lain, Pimpinan KPK harus segera “bangkit”, bertindak “waras” dan “menegakan keberaniannya”, jangan lagi mau “dipenjara” ketakutannya sendiri untuk melawan kejahatan yang makin sempurna. Tidak bisa lagi ada upaya sekecil apapun untuk menyembunyikan “kebusukan” yang tengah terjadi apalagi melakukan kejahatan. Misalnya, menyatakan bahwa kedua penyidik KPK yang diduga melakukan perbuatan penghilangan barang bukti telah dihukum berat dengan mengembalikan ke instansi kepolisian dan fakta yang sebenarnya tak muncul dipemeriksaan pengadilan.
“… apakah betul sudah ada pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Internal KPK atas kasus di atas?”
Perlu diajukan pertanyaan yang lebih teliti, apakah betul sudah ada pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Internal KPK atas kasus di atas? Apakah benar, hasil pemeriksaan dari Pengawas Internal telah disampaikan pada Pimpinan untuk kemudian diteruskan untuk ditindaklanjuti oleh Dewan Pertimbangan Pegawai. Jika hal iktu tidak benar maka Pimpinan KPK telah secara sengaja tak hanya “menyembunyikan” kejahatan tapi juga “melindungi” pelaku kejahatannya dan “memanipulasi” proses pemeriksaan yang seharusnya sesuai fakta yang sebenarnya serta sekaligus melakukan kejahatan.
Tindakan penyidik KPK yang diduga merobek 19 catatan transaksi adalah tindakan penyalahgunaan kewenangan atau setidaknya menggunakan kewenangan untuk kepentingan di luar KPK (Pasal 1 angka 9 jo Pasal 5 huruf a dan k) dan dapat dikualifikasi sebagai Pelanggaran Disiplin Berat sesuai Pasal 8 hurug g, l, dan n dari Peraturan KPK No. 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK. Jika merujuk pada Pasal 8 huruf s jo Pasal 11 peraturan di atas, tindakan itu dapat dikualifikasikan perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana (setidaknya merintangi proses pemeeriksaan atau obstruction of justice) dan telah timbul kerugian maka harus dikenakan pasal pidana selain mengganti kerugian yang timbul bukan sekadar mengembalikan ke instansi asalnya.
Saya mendesak, Ketua KPK Agus Raharjo, tidak lagi “bersilat lidah” dengan menyatakan pemulangan itu merupakan bentuk sanksi berat dengan menyatakan “Itu sanksi berat yang bisa diberikan terhadap pegawai dari Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga lain”. Pimpinan KPK berhentilah “bertameng” kenaifan karena sudah sangat menyebalkan. Saatnya Dewan Etik dibuat dan ditegakkan karena ada indikasi sebagian Pimpinan KPK telah mengetahui kejahatan yang terjadi tapi justru “menyembunyikan” dan berpura-pura tidak tahu atau setidaknya melakukan tindakan yang tidak patut yang seharusnya menegakan nilai-nilai dasar KPK (integritas, keadilan, profesionalitas, kepemimpinan, dan religiusitas) tapi justru mengingkarinya sebagaimana tersebut di dalam alinea keempat dan kelima Peraturan KPK tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK.
Kini, Pimpinan KPK tengah “diuji” dan publik di seantero republik sedang mengamati, apakah masih punya “sedikit” nyali untuk membongkar kasus ini hingga tuntas, setidaknya memanggil dan memeriksa Tito Karnavian yang kala itu menjabat berbagai jabatan penting di republik ini untuk mendapatkan konfirmasi sesuai klaim dari Muhammad Iqbal selaku Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri saat itu, membantah aliran dana kepada Tito dengan menyatakan “catatan dalam buku merah itu belum tentu benar”. Karena itu mari kita cari kebenaran dengan menggunakan hasil investigasi dari Indonesialeaks ini.