Jumat, November 15, 2024

Menangi ego, baru memimpin

Must read

Oleh Mohamad Cholid – Practicing Certified Executive and Leadership Coach 

Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win. – Sun Tzu, The Art of War.

Pesan Sun Tzu tersebut menimbulkan pertanyaan, mesti menang dulu melawan siapa sebelum berperang? Bagi yang sudah paham tentu akan lugas menjawab, menang melawan diri sendiri dan ego. Bagi para eksekutif dan leader yang berprestasi di organisasi, menang melawan ego membuka perspektif baru, sehingga banyak urusan jadi lebih gamblang dan segera dapat diatasi.

Sebaliknya, ego yang dijadikan tembok mengamankan kebanggaan semu – karena jabatan, pangkat, gelar, atau berupa kemewahan aset pribadi – dapat membahayakan kepentingan orang lain, bisa ratusan jiwa jadi korban, di luar nilai aset organisasi yang bisa saja juga ikut hancur.

Dr. Atul Gawande, ahli bedah dan pengajar di Harvard Medical School, dalam buku The Checklist Manifesto menceritakan, infeksi yang menyebabkan kematian di ICU boleh dibilang tidak terjadi lagi setelah para dokter mematuhi check list hal-hal sederhana, seperti cuci tangan sebelum pegang pasien, membersihkan kulit pasien, dan mengusapkan sterile dressing setelah menyuntik.

Sebelum itu, para dokter, sebagai orang-orang berpendidikan tinggi dan lebih terlatih di bidangnya, merasa tidak perlu diingatkan para perawat untuk prosedur rutin yang mereka anggap “sepele” itu – namun kenyataannya dapat menyebabkan kematian pasien. Itu akibat para dokter lebih mementingkan ego mereka ketimbang keselamatan pasien. Menurut Dokter Atul Gawande, jumlah kematian gara-gara perilaku semacam itu bisa melebihi korban dalam perang Afganistan dan Vietnam.

Di luar yang diceritakan Dokter Atul Gawande, menurut hasil studi terakhir Johns Hopkins, di AS kematian akibat medical errors di rumah sakit mencapai 250.000 pasien setahun. Di Indonesia, angka kematian di rumah sakit akibat keteledoran semacam itu belum terdata dengan baik.

Orang-orang pintar dan sukses, memiliki jabatan tinggi di lingkungan profesi mereka atau pun di organisasi bisnis dan non-bisnis (termasuk di pemerintahan), cenderung merasa di atas prosedur, menolak mengikuti pedoman-pedoman praktis dalam kegiatan kerja/profesi.

Ada tiga pemicu:

  1. Hanya urusan pelik dan rumit saja yang layak diperhatikan, sehingga meremehkan checklisthal-hal sederhana.
  2. Senang mengelak dari pedoman dan menghindari follow up.
  3. Merasa kesuksesannya merupakan hasil upaya sendiri.

Gabungan dari ketiga pemicu ini mengakibatkan para pimpinan organisasi atau pun pejabat merasa boleh diistimewakan, dikecualikan dari umumnya orang yang mesti taat prosedur.

Saat kita merasa sudah lebih dari orang-orang lain yang memerlukan struktur dan pedoman bertindak, di situlah kita kehilangan satu bahan baku penting untuk improvement, peningkatan kinerja, yaitu humility.

Professor Marshall Goldsmith menyebut gejala tersebut sebagai #1 most dysfunctional belief of successful people.

Dunia penerbangan, sipil dan militer, sepertinya memiliki pola kerja dan lingkungan dengan karakter khas – dan layak jadi pembelajaran kita. Semua proses dari persiapan di darat, menjelang take off, selama terbang, kemudian persiapan mendarat, dan sampai pesawat sepenuhnya diam di landasan, semuanya mesti mengikuti prosedur, ada check list-nya.

“…Para kapten pilot, co-pilot, semua awak penerbangan, lazimnya mempersiapkan diri layak terbang setiap mau bekerja menjalankan profesi masing-masing.”

Ratusan kali Anda terbang, di kelas bisnis atau pun ekonomi, penerbangan dengan tiket normal atau low cost carrier airlines, setiap menjelang take off Anda akan diminta memperhatikan petunjuk keselamatan secara lengkap, melalui video atau pun peragaan langsung pramugari/pramugara. Ketika mau mendarat, para cabin crew juga akan memastikan semua orang menegakkan sandaran kursi masing-masing, tanpa kecuali – bahkan untuk penumpang kelas satu, mereka pejabat tinggi atau pun presiden.

Para kapten pilot, co-pilot, semua awak penerbangan, lazimnya mempersiapkan diri layak terbang setiap mau bekerja menjalankan profesi masing-masing. Mereka telah dibiasakan untuk selalu menyadari ada ratusan nyawa tergantung pada kedisiplinan mereka melaksanakan semua prosedur, di samping nilai aset yang mereka kelola bisa trilyunan rupiah – harga Boeing seri 737 – 800 US$102 juta atau Airbus A380 unit cost-nya US$445 juta.

Perilaku menyimpang dalam leadership pilot dan tim yang sembrono, dapat menimbulkan malapetaka. Kasus kecelakaan pesawat terbang mostly karena “human error” – ada yang karena pilotnya letih, kebanyakan terbang nyaris tanpa istirahat, akibat pilot mabok, ada karena kesalahan satu atau lebih dari prosedur sejak persiapan, termasuk saat ground handling. Faktor cuaca dan sabotase menurut para peneliti menempati urutan di bawahnya.

Di lingkungan penerbangan militer bagaimana?

Hampir sembilan tahun Marshall Goldsmith memberikan pelatihan leadership di US Navy, sempat ikut naik kapal selam mereka dan pernah juga selama 95 menit terbang tandom dengan pilot pesawat jet tempur – ingat Top Gun? Saat film Top Gun dibuat, para pilot menggunakan F-14 Tomcats, twin-engine, supersonic fighter jets yang sejak 2006 dipensiunkan. Belakangan ini, para pilot Top Gun, yang resminya adalah The United States Navy Strike Fighter Tactics Instructor (SFTI), menerbangkan F/A-18 Hornets dan F/A-18E/F Super Hornets – yang harga per unit-nya  US$70.5 juta.

Para penerbang andalan yang diseleksi dari US Navy tersebut mestinya bisa punya ego dan kebanggaan yang tidak dapat diusik. Marshall, berdasarkan pengalaman interaksinya dengan Dokter Atul Gawande, mengajukan tricky questions kepada perwira tinggi atasan para pilot tersebut.

Apa yang membuat mereka patuh melaksanakan langkah-langkah mengikuti checklist dan rendah hati mencermati pertanyaan tim menyangkut prosedur keselamatan terbang, bukan seperti para dokter yang karena ego mereka menepis upaya para suster mengingatkan prosedur? Jawaban Pak Komandan, “Marshall, kalau operasi gagal, Anda yang di dalam pesawat itu bisa meninggal. Kalau pesawat crash, saya ‘mati’.” Demikian cerita Marshall Goldsmith.

Kemampuan menang mengatasi ego bisa meningkatkan akuntabilitas. Bagi para dokter bedah dapat lebih banyak menyelamatkan pasien atau menghindari kematian akibat infeksi di kamar operasi. Para pilot, dalam penerbangan sipil maupun militer, dapat memastikan terbang dengan lebih mulus — aset maskapai atau milik negara juga terpakai dengan lebih baik dan aman.

Pelatihan pengembangan kepemimpinan Marshal Goldsmith Stakeholder Centered Coaching telah membantu puluhan ribu eksekutif dan leaders di ribuan organisasi multinasional, dan lebih dari 150 perusahaan Fortune 500, dalam menenangi ego mereka. Menjadi pribadi-pribadi yang lebih hebat, lebih efektif.

Sebagaimana kata Sun Tzu, “Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win.”

Bagaimana dengan Anda, para eksekutif dan leaders di organisasi bisnis dan non-bisnis, apakah sudah terlatih untuk menang mengatasi ego sebelum melakukan eksekusi demi kontribusi yang lebih positif bagi para pemangku kepentingan?

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(http://sccoaching.com/).

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article