Senin, Desember 9, 2024

Ayo, Merdeka!

Must read

“Why can you not reach Me through the object that you touch?” – Ibn Arabi.

Apa yang kita rasakan saat hadir di perhelatan besar sebuah pesta perkawinan?

Perhiasan gemerlapan dan dandanan para tamu yang mengubah realitas sehari-hari jadi mirip para bintang di ajang penghargaan Oscar, sepertinya untuk menegaskan kehadiran diri masing-masing di dunia ini. Selama pesta masing-masing sibuk berperan dalam sebuah panggung: inilah aku. Memang indah dilihat.

Perhelatan yang mestinya (dalam undangan umumnya dituliskan) untuk memberikan doa restu bagi pasangan yang menikah dan persatuan dua pihak keluarga, pada umumnya lantas hanyut dalam gelombang saling unjuk diri. Apakah mereka termasuk orang-orang yang lapar perhatian — suffered self-esteem starvation? Sekaligus lapar fisik juga — sebagiannya kelihatan kurang sabar antre saat mengambil makanan yang dihidangkan?

Kebanyakan dari kita sangat menyukai aksesoris dalam segala bentuknya, sebagai upaya mensiasati realitas diri masing-masing di dalam kehidupan, yang kadang pahit dan mungkin juga ada beban lain.

Di kehidupan sehari-hari dapat kita jumpai orang-orang yang sangat mementingkan hiasan-hiasan tambahan untuk melengkapi penampilan, ketimbang hadir (exist) secara tulus sesuai kemampuan dan berfungsi optimal sebagai dirinya —  banyak dari mereka yang sebenarnya punya kompetensi hebat.

“… who amass wealth do so to engage of conspicuous consumption.

Kegandrungan pada aksesoris atau bukti-bukti sukses secara eksesif antara lain juga terlihat dari kepemilikan mobil super mewah dalam jumlah melebihi kebutuhan – sesungguhnya perlu hanya tiga mobil, tapi di garasi ada lima atau enam unit, bahkan ada yang tujuh, dan saat ada acara di rumah mereka, garasinya terbuka, semua kelihatan. Memang mereka beda dengan, misalnya, Warren Buffet yang mobil pribadinya hanya satu, tapi dia telah menyumbang untuk filantropi US$ 3,4 milyar (billion).

Kepemilikan eksesif simbol-simbol kemewahan tersebut, “… who amass wealth do so to engage of conspicuous consumption,” sebagaimana kata Dr. Steven Berglas, dapat pula menghinggapi orang sekaliber Malcom Forbes, lulusan Princeton, anak B.C. Forbes, pendiri kerajaan bisnis majalah Forbes.

Malcolm aktif full-time memimpin Forbes mulai 1957 sampai meninggalnya, 1990, saat ia berusia 70 tahun. Di bawah kepemimpinan Malcom, perusahaan berhasil tumbuh dan menambah sumber pendapatan dari diversifikasi usaha, di antaranya real estate.

Kemewahan yang sangat dicintainya antara lain jet Boeing 727, yacht Highlander, sederet motor Harley Davidson, sebuah chateau di Prancis, ect. Pada saat ulang tahun ke-70, Malcolm mengeluarkan ongkos US$ 2,5 juta, antara lain untuk menerbangkan 800 tamu VIP dengan jet Concorde supersonik ke mansion-nya di Tangier, Maroko. Apakah semua itu agar dia tambah top sebagai milyarder?

Sesungguhnya orang macam Malcolm Forbes tidak perlu lagi cari reputasi atau membangun pencitraan berlebihan, wong dari sejak lahir sudah kaya (bahkan untuk ukuran Amerika) dan dia berhasil pula mengembangkan bisnis Forbes yang diwarisi dari ayahnya. Artinya, kaya dan berprestasi.

Kenapa Malcolm Forbes, atau orang-orang sukses lain yang berperilaku seperti dia, terus merasa butuh lebih dari sekedar mengonsumsi semua kekayaannya, tapi perlu pula merayakannya, tanpa ada bagian yang sigifikan untuk charity?

Tentu di antara Anda ada yang menjawab, itu kan hak dia, bagaimana menggunakan hartanya.

Memang benar. Mohon jangan salah paham. Bahkan, menurut saya, sesungguhnya kita ini wajib berupaya sungguh-sungguh untuk jadi kaya (secara halal dan legally right, tentunya). Minimal kaya ilmu pengetahuan yang dapat memberikan manfaat untuk membantu meningkatkan martabat manusia.

Peradaban di Bumi dibangun dengan dukungan orang kaya atau para saudagar. Sekolah, universitas, pusat-pusat riset, tempat-tempat peribadatan, dan pendidikan anak-anak terlantar di dunia ini, dari sejak zaman dulu sampai hari ini, dapat berkembang karena kerja sama dengan kalangan berduit yang makmur jiwanya. Pusat-pusat penelitian yang behasil memberikan manfaat bagi publik juga karena kerja sama dengan pemodal. Hasil riset hanya akan jadi pajangan perpustakaan dan menggelembungkan ego penelitinya, kalau tidak dimodali untuk menerapkannya demi kepentingan masyarakat.

Perjuangan kemerdekaan Indonesia di banyak daerah juga ditopang oleh kontribusi para saudagar. Di  antara mereka bahkan ada yang dieksekusi mati oleh penjajah, akibat ketahuan hasil usahanya untuk mendukung gerakan kemerdekaan.

Kenapa orang-orang yang sudah berkelimpahan harta sekelas Malcolm Forbes seperti sangat butuh menelan semua kekayaannya, berpesta sepanjang hidup — atau kenapa orang-orang berkedudukan tinggi dan sudah sangat makmur di negeri seperti Indonesia masih korupsi menggerogoti APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)? Untuk menjawabnya berdasarkan perspektif ilmiah, dapat dipertanggungjawabkan, baiknya kita menyimak hasil studi psikolog yang berkompeten.

Hasil riset Psikolog Niro Sivanathan dan Nathan C. Pettit untuk mengetahui motif orang-orang berperilaku konsumtif berlebihan dan selalu merasa butuh terus dipuaskan, mengungkapkan bahwa mereka “consume luxury goods not only to create some impressive exterior; but also to alleviate interior psychological pain – in other word, to make feel better when you’re down in the dumps.”

Apakah mereka, orang-orang yang mengabdi pada kemewahan itu, terpuruk, depressed?

Kenapa banyak orang senang memperlihatkan nafsu mengonsumsi kemewahan, kalau dijelaskan dari sudut pandang ekonomi saja kurang komplit. Hasil riset Niro Sivanathan dan Nathan Pettit menjelaskan, “the impetus behind these consumption decisions is the desire to repair self-threat.”

Apa self-threat? Ini adalah keadaan ketika gambaran tentang diri sendiri yang menyenangkan dipertanyakan, mengalami kontradiksi, diuji validitasnya, dilecehkan, ditantang, atau terancam bahaya.

Bisa dikatakan, self-threat merupakan stimulus yang menyebabkan kemarahan, reaksi naluriah yang muncul dari diri untuk menghadapi aneka jenis atau semua hal yang mengancam sistem kejiwaan kita – dari self-esteem sampai urusan public persona kita, kata Dr. Steven Berglas (Stay Hungry & Kick Burnout in the Butt, 2018). Dr. Berglas berpraktik sebagai konsultan, terapis, dan coach sudah lebih dari 30 tahun, membantu orang-orang yang sukses sebagai profesional dan pengusaha, untuk juga bisa berhasil membangun kehidupan yang lebih bermakna dan bahagia.

Apa kaitan cerita di atas dengan pengembangan kepemimpinan atau leadership growth?

Dalam organisasi bisnis dan non-bisnis sampai hari ini masih sering dapat ditemui eksekutif dan leader yang memuja-muja aksesoris dunia. Kecenderungan tersebut terbaca antara lain dari perilaku kepemimpinan mereka yang sangat memuliakan birokrasi dan jenjang hirarki (hiasan karir), serta dengan gusto menikmati aksesoris fasilitas jabatan. Membiarkan diri terbelenggu oleh mitos tentang kepemimpinan sisa zaman Revolusi Industri atau tatanan masyarakat feodalistis.

Kecintaan berlebihan pada aksesoris dunia tersebut bisa mengakibatkan mereka kurang peduli pada upaya-upaya meningkatkan kompetensi diri dan tim, mengenyampingkan cara kerja lebih efektif untuk meraih results. Mereka mudah terjebak dalam mediocrity, yang penting jabatan aman dan bos happy.

Pertanyaannya, sampai kapan perilaku kepemimpinan seperti itu bisa dipertahankan kalau organisasi mesti dipacu tumbuh, melakukan scaling up?

Indikasi para eksekutif dapat terpenjara mediocrity? Mereka cenderung senang sangat sibuk, tanpa ada fokus pada apa yang sesungguhnya harus dihasilkan dalam waktu tertentu. Bahkan, kalau bisa menghindari kegiatan upaya-upaya peningkatan diri. Disiplin membaca, inhouse training, workshop, atau coaching, yang dapat meningkatkan kompetensi, mereka anggap beban. Perspektif baru dalam kepemimpinan mereka persepsikan sebagai ancaman yang dapat menggoyahkan self-esteem.

Alasan lain, tugas pekerjaan menumpuk. Mereka menganggap meningkatkan kompetensi menambah kerjaan; tapi menggunakan waktu makan siang berlama-lama dan sibuk forwarddan reply di grup w a yang tidak ada relevansinya dengan pekerjaan, selalu ada waktu. Bahkan banyak yang masih menyempatkan pula mengunyah-ngunyah gosip politik — mereka belum bisa membedakan antara mengetahui political setting dengan menjadi korban info yang tidak perlu. Oh, Tuhan. Padahal mereka adalah orang-orang berpotensi hebat, terlatih secara teknis, dan berpengalaman di bidang masing-masing.

Situasi seperti ini masih terjadi di banyak organisasi di Asia, Eropa, maupun Amerika, utamanya di antara mereka yang belum berani (courage, bukan bravado) menghadapi realitas, belum terlatih disiplin eksekusi dan fokus pada results.

Menurut Darren Hardy, mentor para CEO dan business owners (utamanya di AS) agar dapat meraih insane productivity, belum lama ini: “People don’t know who they are when busy. Some people addicted for being busy, addicted to their own struggle.” Badai kesibukan tanpa ujung jadi “entertainment” baru.

Berhenti sibuk, lalu merenung menghadapi realitas internal dan eksternal tempat organisasi tumbuh —  di dalamnya termasuk mesti menyikapi regulasi yang tidak ramah — serta harus pula bercermin melihat kenyataan diri sendiri, sungguh dapat membuat kita tidak nyaman. Kadang terasa getir.

Tapi kalau serius mau maju, mesti “hadapi the brutal facts”, kata Jim Collins, konsultan dan profesor pasca sarjana bisnis di Universitas Stanford AS (Good to Great, 2001).

Untuk menjadi eksekutif hebat, Level 5 Executive, sebagaimana hasil riset Jim Collins dan tim pada perusahaan-perusahaan yang nilai sahamnya selama 20 tahun terus naik, selain berani menghadapi the brutal facts, diperlukan kerendahan hati dan professional will yang kuat. Punya nyali memenangi diri sendiri untuk bertindak benar, do the right thing right, yang sering counterintuitive, tidak nyaman.

Syarat untuk naik ke level itu adalah dengan membebaskan diri dari kergantungan pada aksesoris keduniaan bersifat sementara, seperti mitos tentang jabatan, kemewahan fasilitas, kecenderungan pada conspicuous consumption dan self-threat.

Karena semua itu — yang bagi sebagian orang bisa juga jadi sarana membangun self-esteem, atau untuk show off (“gue kan orang penting, maka sibuk terus”) — sesungguhnya merupakan penjara. Misi saya sebagai coach adalah membantu para eksekutif dan leaders meloloskan diri dari penjara tersebut, menjadi orang-orang merdeka. Agar dapat bekerja lebih efektif. Ibarat mendaki gunung, lebih ringan  bebannya, akan lebih cepat menuju puncak.

Proses untuk mengembangkan diri, meningkatkan efektivitas sebagai leader, melibatkan stakeholder (direct reports, kolega, atasan, dan kalau perlu keluarga). Sampai dimana taraf keberhasilan kita meningkatkan efektivitas kepemimpinan, ditentukan oleh persepsi stakeholder. Ini membantu meningkatkan engagement tim dan membiasakan pemimpin tatag(tegar) menghadapi kenyataan.

Untuk itu perlu melaksanakan tiga kebajikan dari Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), yaitu courage (berani menghadapi realitas dan membuka kemungkinan baru), humility (rendah hati mengakui ketidaksempurnaan diri dan memerlukan pertolongan), dan discipline (melakukan follow up dalam interaksi dengan stakeholder yang membantu efektivitas kita). Ini selalu saya tulis ulang untuk mengingatkan diri sendiri. Buat Anda anggap saja ibarat check-list bagi pilot untuk take off. Kendati sudah terbang ribuan jam, para pilot tetap diminta rendah hati melakukan cek ulang tahap-tahap memimpin penerbangan.

Tiga virtues yang tampak sederhana tapi sulit dipraktikan itu – courage, humility, dan discipline— sudah proven. Ribuan organisasi di dunia telah memperoleh benefitnya, karena mereka mempraktikannya.

(Mohamad Cholid – Practicing Certified Executive and Leadership Coach)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article