Kini, diktum cogito ergo sum, “aku berpikir karena itu aku ada”, sering diplesetkan menjadi, antara lain, “aku membuat hoaks, karena itu aku ada”, “aku memfitnah, karena itu aku ada”, “aku membuat ujaran kebencian, karena itu aku ada”, “aku menteror, karena itu akua ada,” dan masih banyak lain.
Adalah René Descartes (31 Maret 1596 – 11 Februari 1650) yang pertama menggunakan frase dalam bahasa Latin itu, cogito ergo sum. Semula frase itu ditulis Descartes, seorang filsuf, ilmuwan, dan matematikawan asal Perancis dalam bahasa Perancis, Je pense, donc je suis dalam karyanya Discourse on the Method (1637).
Walaupun secara luas dinyatakan bahwa Descarteslah yang pertama mengungkapkan diktum itu, tetapi ia bukanlah yang pertama menggunakan model pernyataan seperti itu. Plato pernah mengatakan “knowledge of knowledge.” Lalu di zaman yang lain, Augustinus dari Hippo (354-430) dalam De Civitate Dei menulis, Si […] fallor, sum, “Jika saya salah, maka saya ada.”
Seorang filsuf Hindu, pada abad ke-8, Shri Adi Shankaracharya, yang dikenal sebagai Bhagavatpada Acharya dan sering hanya disebut Adi Shankara menulis dengan cara serupa, “Tidak seorang pun yang berpikir, ‘Saya tidak’,” dengan alasan bahwa eksistensi seseorang tidak dapat diragukan, karena pasti ada seseorang di sana yang ragu.”
Bahkan Aristoteles pernah menulis, “Tetapi jika hidup itu sendiri baik dan menyenangkan dan jika orang yang melihat sadar bahwa ia melihat, orang yang mendengar sadar bahwa ia mendengar, orang yang berjalan sadar bahwa ia berjalan dan sama untuk semua kegiatan manusia lainnya ada pihak yang sadar akan latihan mereka, sehingga setiap kali kita melihat, kita sadar bahwa kita mempersepsikan, dan kapan pun kita berpikir, kita sadar bahwa kita berpikir, dan untuk sadar bahwa kita memahami atau berpikir adalah sadar bahwa kita ada.”
Menurut para cerdik pandai, interpretasi frase cogito ergo sum ini telah menjadi bahan perdebatan filosofis. Diktum tersebut mengekspresikan iklim intelektual skeptis yang mengindikasikan filosofi modern awal. Ada yang berpendapat bahwa “berpikir” bukanlah sebatas aktivitas yang terjadi dalam otak atau pikiran kita. Ada pula yang menerjemahkan kata cogito sebagai kesadaran atau tindakan menyadari; jadi, cogito ergo sum artinya saya menyadari, karena itu, saya ada.
Dalam kamus bahasa Latin – Indonesia, kata cogito berarti (transitif): membayangkan, merenungkan, membicarakan, mempertimbangkan; dan (intransitif) berarti beranggapan, mempunyai pendapat, memikirkan. Bagi Descartes, pikiran atau cogito itu adalah segala sesuatu yang kita sadari terjadi dalam diri kita.
Akal dan hati
Kalau Descartes yang di-Latin-kan menjadi Renatus Cartesius (mungkin karena berasal dari Cartera, sebuah kota di Spanyol), mengagungkan akal, rasio, jauh di Indonesia di zaman yang lain, Ki Hajar Dewantara secara jelas menyatakan bahwa unsur diri adalah cipta, rasa dan karsa, sebagai modalitas manusia menjalankan kehidupan dan penghidupannya di dunia. Ki Hajar tidak mengagungkan akal, pikiran semata, tetapi di sana juga ada hati.
Dengan kemampuan pikirnya, menurut Ki Hajar, manusia dapat melahirkan berbagai ilmu dan teknologi yang memudahkan hidup manusia. Dengan Perasaan, manusia dapat melahirkan berbagai rasa yang termanifestasi dalam bentuk seni, keindahan yang mencerahkan kehidupannya dan dengan kemauan (karsa), manusia dapat melestarikan hajat hidupnya berupa ambisi untuk mengumpulkan kekayaan berupa harta yang mendukung kehidupannya.
Bukankah manusia adalah mahluk hidup yang bertubuh dan berjiwa, ber-roh dan berakal-budi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia mampu untuk bertransedensi (menguasai) diri dan lingkungannya. Keunikan kodrat manusia dibandingkan dengan mahluk lain adalah akal-budi yang dimilikinya. Dengan kemampuan akal-budinya, manusia memiliki kemampuan untuk “mengambil keputusan” dan “menentukan diri sendiri”.
Di sinilah nampak bahwa manusia adalah mahluk yang berdimensi rasional dan individual. Dimensi rasionalitas manusia diwujudkan dalam kemampuannya untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya.
Dimensi rohani manusia sebagai pribadi nampak dalam rasionalitas, sehingga manusia menjadi subyek dari segala perbuatannya. Dalam keterkaitannya sebagai sukyek dari segala tindakannya itu manusia adalah “subyek moral”. Artinya manusia menjadi subyek moral adalah pelaku tindakan yang menyadari akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subyek moral dalam segala tindakan manusia, ia dituntut tanggung-jawab atas segala perbuatannya.
“… Berita bohong adalah tanda sikap intoleransi dan hipersensitif, dan hanya akan menyebarkan arogansi serta kebencian.”
Hanya saja sekarang ini, yang lebih menonjol atau dikedepankan adalah dimensi rasional dan individual, dimensi rasionalitas tanpa disertai dimensi rohani. Hasilnya adalah manusia satu dimensi. Manusia seperti ini menganggap bahwa apa yang dilakukan selalu benar, hanya berdasarkan pertimbangan rasional, tanpa pertimbangan hati. Tindak ada hati dalam bertindak. Ada anggapan yang nalar itu selalu benar.
Tanpa hati
Mengapa untuk menunjukkan esksitensinya orang harus melakukan sesuatu, melakukan tindakan yang merugikan orang lain? Apa itu sekadar, selain untuk menunjukkan eksistensinya, untuk pemuasan diri.
Menjelang “pesta merayakan perbedaan”, pesta demokrasi 17 April 2019, yang semestinya dipersiapkan dengan penuh suka cita, yang terjadi justru sebaliknya. Saban hari, tersebar luas berita-berita hoaks, ujaran-ujaran kebencian, fitnah dan lain sebagainya.
Paus masih menambahkan, berita palsu tapi bisa dipercaya ini, menjadi awal keributan. Karena menangkap perhatian orang-orang dengan memberikan stereotip serta prasangka sosial umum yang bisa mengeksploitasi emosi sesaat, seperti kegelisahan, penghinaan, kemarahan, dan frustasi.
Semua itu, membuat orang, terutama yang berdiri berseberangan, terus menumpuk rasa permusuhan; sementara yang berdiri di tengahpun semakin muak dengan semua itu. Memang, penyebaran berita palsu, hoaks dapat memenuhi tujuan-tujuan tertentu, mempengaruhi keputusan politik, dan demi keungungan ekonomi.
“Berita bohong adalah tanda sikap intoleransi dan hipersensitif, dan hanya akan menyebarkan arogansi serta kebencian. Itulah akhir dari kebohongan,” begitu pendapat Paus Fransiskus (The Truth Will Set You Free — Fake News and Journalisme for Peace, 2018).
“… Menjelang pesta demokrasi 17 April 2019, yang semestinya dipersiapkan dengan penuh suka cita, yang terjadi justru sebaliknya.”
Cerita-cerita palsu dapat menyebar dengan cepat sehingga penyangkalan pun tidak mampu memperbaiki kerusakan yang terjadi. Akibatnya, banyak orang yang dapat dengan cepat menjadi kaki tangan penyebaran gagasan yang bias dan tidak berdasar meski sebenarnya tidak bersedia.
Maka itu, plesetan dari diktum cogito ergo sum, tersebut di atas bisa dikatakan sebagai tindakan yang tanpa hati, pun pula tak bernalar; tidak mempertimbangkan suara hati.
Mengutip pendapat Franz Bockle (1921-1941) seorang teolog moral dari Swiss, ada tiga suara hati: pertama sebagai yang mendahului suara hati, di mana suara hati memberikan pertimbangan pilihan untuk bertindak mengenai apa hasil yang akan diterima jika manusia memutuskan sesuatu yang berbeda. Pada tahap ini, kebijaksanaan seseorang merupakan hal yang penting.
Kedua, keputusan aktual dari suara hati, dan manusia bertanggungjawab atas tindakannya. Ketiga, konsekuensi suara hati. Suara hati yang baik, mengafirmasi keputusan yang diambil, yang diwujudkan dalam rasa damai atau sebaliknya jika keputusan itu salah menimbulkan penyesalan yang mendalam.
Akan tetapi, mereka yang memilih memelesetkan diktum cogito ergo sum, tidak memiliki pertimbangan suara hati, dan tidak mempunyai perasaan. Barangkali, pada waktu itu, karena ambisinya yang meluap-luap, menggelora, mereka mampu membungkam suara hatinya sendiri.*
Oleh Trias Kuncahyono
*Artikel ini sudah dimuat di kompas.id(10/1/2019).