“Globalization isn’t dead; it has just changed,” kata Susan Lund, partner di McKinsey Global Institute.
Melihat kapal-kapal peti kemas berkapasitas 8.000-an TEUs sampai 20.000 TEUs meninggalkan pelabuhan, mengarungi samudera, melintasi batas-batas kedaulatan negara, selalu menyenangkan. Karena menandakan perdagangan antar bangsa terus bergerak. Bahkan ternyata menurut data tetap tumbuh.
Perdagangan barang kebutuhan pokok, bahan baku industri, produk-produk siap pakai, dan ribuan item lainnya, serta hasil tambang, merupakan satu penggalan saja dari cerita tentang ekonomi global, yang kini dimensinya makin kaya.
Menurut laporan McKinsey Global Institute Januari 2019, secara absolut perdagangan barang antar negara tersebut terus meningkat, namun intensitasnya (the share of output that is traded) menurun bagi hampir semua produk yang menghasilkan value chain. Dari 28,1% pada tahun 2007 menjadi 22,5% di 2017.
Arus jasa dan data sekarang berperan lebih besar dalam menyatukan ekonomi global. Transaksi jasa-jasa pertumbuhannya lebih cepat ketimbang perdagangan barang. Menurut temuan McKinsey Global Institute, “…all global value chains are becoming more knowledge-intensive.” Bertentangan dengan persepsi umum, ternyata hanya 18% dari perdagangan barang global yang digerakkan oleh pertimbangan ongkos tenaga kerja.
Ada tiga faktor berpengaruh pada pergeseran tersebut: permintaan yang meningkat di China dan negara-negara berkembang lainnya, yang menyebabkan mereka mampu menyerap produk-produk bikinan lokal; perbaikan jaringan pasokan di negara-negara tersebut yang memungkinkan mereka kurang tergantung lagi pada impor produk-produk siap pakai; dan dampak dari perkembangan tekonologi baru.
Hari-hari ini globalisasi tengah mengalami transformasi. Namun perdebatan publik menyangkut perdagangan masih cenderung pada upaya memotret masa lalu ketimbang melihat masa depan. Padahal dinamika perusahaan-perusahaan, perkembangan suatu negara, dan potret tenaga kerja sudah berubah.
Implikasi dari perkembangan tersebut adalah: Para pembuat kebijakan publik dan business leaders sudah waktunya menyadari perlu memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang pergeseran ekonomi global, agar dapat mengantisipasi dengan cara lebih baik tantangan dan peluang yang dihadapi.
Dalam globalisasi putaran selanjutnya, negara-negara dengan tenaga kerja lebih pintar punya peluang berperan penting, dibandingkan kawasan/wilayah yang hanya mengandalkan tenaga kerja murah. Sebagaimana disebutkan dalam laporan McKinsey Global Institute, perdagangan antar negara yang digerakkan oleh pertimbangan ongkos pekerja murah hanya 18%.
Para pembuat kebijakan publik dan pemimpin-pemimpin organisasi bisnis di Indonesia selayaknya mulai berbenah, sekarang.
Ada sejumlah faktor yang perlu diurus dengan lebih genah, menyangkut kebijakan makro ekonomi sampai kepentingan kegiatan ekonomi mikro. Dari menyangkut regulasi, pengembangan ekosistem yang lebih kondusif, sampai hal-hal yang sudah sewajarnya ditingkatkan dalam proses bisnis. Seperti penyediaan bahan baku dengan timing dan kualitas tepat, peningkatan kualitas produksi, deliveri secara lebih baik, dan pemahaman lebih mendalam tentang pelanggan, teknologi, etc.
Tantangan yang akan dihadapi setiap organisasi tentunya berbeda, ketika harus lebih cepat menembus pasar, menciptakan pengalaman istimewa bagi pelanggan, didukung koordinasi yang mulus para pemasok. Sehingga solusi untuk masing-masing bisnis disiapkan secara customized pula – namun, kalau mau sukses, baiknya dioperasikan berdasarkan standar kepemimpinan organisasi multinasional.
Ada 15 kompetensi kepemimpinan yang sepantasnya dipahami oleh para eksekutif di lembaga-lembaga pemerintahan, di organisasi bisnis, dan bahkan non-profit, agar tetap relevan dengan globalisasi tahap berikutnya.
Ke 15 kompetensi tersebut bukan muncul tiba-tiba, tapi merupakan hasil kesimpulan multiyear study yang disponsori oleh Accenture Institute for Strategic Change, survei terhadap 500 responden di 200 organisasi (multinasional), di enam benua (Global Leadership: The Next Generation, disusun oleh Marshall Goldsmith, dengan co-author Cathy L. Greenberg, Alastair Robertson, dan Maya Hu-Chan).
Dari 15 kompetensi kepemimpinan level global, ada lima kompetensi yang mendesak untuk diterapkan, yaitu Thinking Globally, Appreciating Diversity, Building Partnership, Sharing Leadership, Developing Technological Savvy.
10 kompetensi lainnya: Demonstrating Integrity; Encouraging Constructive Dialogue; Creating a Shared Vision: Developing People; Empowering People; Ensuring Customer Satisfaction; Maintaining a Competitive Advantage; Achieving Personal Mastery; Anticipating Opportunities; dan Leading Change.
Katakanlah Anda seorang kepala jawatan dengan ribuan anak buah, atau sebagai CEO dengan realitas pasar hari ini yang lebih menantang, atau direktur dari lembaga yang harus berinteraksi dengan institusi-institusi internasional dari negara lain. Atau mungkin sebagai VP di organisasi yang tengah tumbuh memperluas pasar, menjemput pelbagai kemungkinan di depan. Rasanya bagaimana jika Anda menguasai dengan baik ke-15 kompetensi tersebut di atas?
Atau, pertanyaannya, bagaimana kalau kompetensi yang mungkin sebagian yang disebutkan di atas sudah Anda kuasai (karena pengalaman, program pelatihan, re-edukasi di luar negeri) kita ukur ulang bersama, melalui Global Leadership Assessment (GLA)?
Apa saja behavioral bottlenecks yang menyebabkan Anda keluar ongkos besar selama ini? Bukankah Anda ingin berada sekian langkah di depan dibanding kompetitor?
Mengetahui di mana posisi kita sekarang, memutuskan langkah-langkah apa saja yang mesti diambil, sesuai dengan semangat continuous improvement yang Anda kembangkan di organisasi, dapat meningkatkan keyakinan menjemput globalisasi versi baru dengan lebih baik.
ByMohamad Cholid– Practicing Certified Executive and Leadership Coach