Puncak gunung Parascotopeti belum pernah ditaklukkan oleh siapa pun. Nunez memutuskan mendaki ke puncak Parascotopeti. Dalam upaya pendakian tersebut, Nunez terpeleset dan jatuh berguling ke sisi lain punggung gunung. Dalam upayanya menyelamatkan diri menuruni lembah bersalju di bawah bayangan puncak gunung, Nunez sampai ke sebuah perkampungan yang sudah terpisah bertahun-tahun dari kehidupan dunia lain oleh tebing-tebing berbatu yang curam. Gempa berkali-kali selama ini membentuk tebing-tebing yang jadi benteng pemisah, menyebabkan masyarakat di lembah itu makin terasing.
Masyarakat di lembah Parascotopeti itu awalnya merupakan komunitas orang-orang yang melarikan diri dari tirani penjajahan Spanyol atas Ecuador. Mereka hidup mandiri dan tercukupi selama bertahun-tahun, namun terkena wabah penyakit yang menyebabkan setiap anak yang lahir langsung buta.
Karena kebutaan berlangsung selama beberapa generasi, indra rasa dan pendengaran mereka terlatih baik secara alamiah. Ketika orang terakhir yang masih bisa melihat akhirnya meninggal, semua orang sudah terbiasa menjalani hidup dalam kebutaan. Mereka hidup di rumah-rumah yang tanpa jendela, dihubungkan oleh jaringan jalur-jalur setapak dengan pembatas tali kekang.
Nunez sendiri buta sebelah. Melihat situasi di lembah itu, ia menghibur dirinya dengan mengutip kalimat dari cerita dongeng, “Di tengah-tengah orang buta, seorang bermata satu bisa jadi raja.”
Rencana Nunez, pertama mengajari mereka memahami dunia menurut orang melek, lalu menguasai mereka. Ternyata Nunez keliru. Bagi komunitas orang-orang buta di lembah itu, mengenali dunia dengan mata terbuka tidak ada dalam konsep hidup mereka.
Akibat ajakannya itu ditepis mereka, Nunez kesal dan galau. Marah-marah tidak keruan. Para penduduk setempat justru menenangkan Nunez, yang lantas mengalah untuk tidak memaksakan pandangan hidup orang melek, supaya bisa tinggal di wilayah itu. Karena sepertinya mustahil untuk kembali ke dunia luar.
Nunez pun disarankan bekerja pada Yakob, seorang anggota komunitas. Dalam waktu singkat terjadi percintaan antara Nunez dengan Medina-Sarote, anak gadis bungsu Yakob. Merasa mendapatkan angin dari kekasihnya, Nunez berupaya untukmengenalkan pandangan hidup menurut orang yang melek kepada Medina. Tapi oleh Medina ajakan Nunez tersebut dianggapnya khayalan saja.
Ketika meminta restu agar bisa menikah dengan Medina kepada para tetua di sana, Nunez diminta agar membersihkan pikirannya dari obsesi cara melihat orang melek. Bahkan tabib setempat meminta agar mata Nunez dioperasi untuk dibutakan, karena kemampuannya melihat dengan mata telah menyebabkan “otaknya mengalami iritasi dan distraksi secara konstan”.
Demi bisa menikahi Medina, dengan setengah hati Nunez menyetujui syarat tersebut. Namun esok paginya, sebelum cahaya matahari menyentuh lembah, ketika warga setempat masih tidur, Nunez kabur tanpa peralatan dan bekal yang memadai, mendaki tebing dan meluncur ke punggung tebing sebaliknya.
Kisah tersebut dari cerita pendek The Country of The Blind, karya penulis Inggris H. G. Wells, terbit pertama kali pada 1904 di The Strand Magazine dan menjadi bagian dari kumpulan karya The Country of The Blind and Other Stories, 1911. H.G. Wells sempat empat kali dinominasikan untuk hadiah Nobel bidang sastra.
Dari cerita The Country of The Blind kita bisa belajar, di dalam kerumunan orang buta ajakan untuk memahami realitas dunia sebagaimana dilakukan orang melek dapat dianggap perilaku menyimpang. Bahkan bisa dimusuhi atau yang melek dipaksa jadi buta agar punya sikap dan “pandangan” sama.
Setelah gempa berkali-kali selama sekian generasi, lembah Parascotopeti (gunung fiktif di Ecuador) itu terkepung oleh tebing-tebing tinggi yang memisahkan warga di sana dari dunia manusia umumnya. Mereka buta dan terasing.
Kalau kita melihat Indonesia belakangan ini, setelah terjadi sederet gempa – di bidang politik, ekonomi, gempa intelektual, bahkan spiritual (akibat kegiatan agama menjadi komoditas perebutan kekuasaan) – apakah Anda sepakat bahwa banyak orang di Indonesia jadi terpisahkan dari realitas dan jiwa manusia merdeka, serta banyak dari mereka (termasuk yang menduduki jabatan penting) telah dibutakan oleh syahwat keduniawian masing-masing?
Massa rakyat telah dibutakan pula oleh manipulasi persepsi dan opini, bahkan melalui serbuan hoax, demi kepentingan-kepentingan jangka pendek orang-orang yang mengaku layak memimpin.
Menjelang Pemilu 2019, proses pembutaan publik tersebut tampaknya makin gawat. Banyak orang yang kemudian terasing dari akal sehat. Mereka menciptakan tebing-tebing pembatas pikiran masing-masing.
Di lingkungan diskusi-diskusi tertutup dan terbuka, serta di dalam grup-grup WhatsApp, ada saja perselisihan akibat perbedaan “pandangan politik” yang mereka lakukan dengan membuta – mereka cenderung menolak ajakan melihat dengan jernih dan secara lebih cermat. Pihak yang mengajak melihat fakta-fakta secara tenang, menganalisis dengan mendalam, malah mereka serang.
Melihat realitas apa adanya memang dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi umumnya orang. Mereka lantas cenderung memilih membutakan hati dan pikiran, berselingkuh dengan delusi, memburu ilusi.
Jabatan mentereng, posisi tinggi di pemerintahan atau di organisasi bisnis atau nonprofit, serta gelar akademis sampai S3 sekalipun, tidak menjamin seseorang bebas dari godaan senang menjadi buta, menggumuli delusi, dan memelihara ilusi; kalau tidak ada upaya (courage) membuka diri dan rendah hati melihat kenyataan. Contohnya tim Presiden John F. Kennedy dalam proses pengambilan keputusan untuk invasi ke Teluk Babi, Cuba (lihat Presiden kok gitu?).
Orang-orang brilliant di sekitar JFK tersebut, dijuluki sebagai the best and the brightest team, telah buta hati dan pikiran akibat arogansi kelompok – bahkan mereka tidak mengecek ulang asumsi-asumsi mereka ke Kementrian Luar Negeri AS, yang memiliki data terkini situasi masyarakat Cuba. Kepintaran dan jabatan mereka telah menjadi tebing-tebing pembatas dengan realitas. Arogansi kelompok telah menyebabkan mereka buta hati. Akibatnya terjadi kegagalan operasi militer yang sangat memalukan buat Amerika.
“… Kita cenderung berkerumun dengan orang-orang seperti kita – sama-sama lulusan universitas ternama, jabatan setara, keyakinan sama, pola pikir seirama, etc.”
Kenapa bisa begitu? Umumnya orang berkelompok atau hadir dalam rapat tanpa mempersiapkan pikiran untuk menghormati perbedaan. Kita cenderung berkerumun dengan orang-orang seperti kita – sama-sama lulusan universitas ternama, jabatan setara, keyakinan sama, pola pikir seirama, etc. Ahli sosiologi menyebut perilaku semacam itu homophily.
Apakah Anda termasuk golongan yang tergugah membantu (publik) Indonesia untuk benar-benar merdeka, bebas dari tendensi kebutaan massal dan homophily? Apakah Anda siap menjadi para eksekutif dan leader yang lebih efektif, memberikan positive impact bagi kepentingan banyak orang (para stakeholder, termasuk keluarga)?
Anda, di lingkungan profesi apa pun dan jabatan apa saja, utamanya yang ingin sekali berperan penting sebagai pemimpin, tentunya sepakat bahwa kita mestinya membangun Indonesia Inc., yang signifikan di arena global; bukan membiarkan negeri ini tersisih dari peta dunia jadi kawasan seperti The Country of The Blind.
Membebaskan diri dari tirani masa lalu dan dari perilaku kepemimpinan yang ugal-ugalan, memerlukan ruh dan tindakan nyata entrepreneurship.
Berdasarkan perspektif Joseph Schumpeter, ekonom dan political scientist Amerika kelahiran Austria, ekonomi suatu bangsa semarak dengan inovasi dan kemajuan teknologi karena peran para entrepreneurs, yang disebutnya “wild spirits.” Dia mengembangkan term Unternehmergeist, istilah Jerman untuk entrepreneur spirit, yang menegaskan kita perlu “the doing of new things or the doing of things that are already being done in a new way.”
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching