Jumat, Desember 20, 2024

Karut-marut soal outsourcing

Must read

BANYAK perusahaan sekarang yang memakai tenaga kerja melalui perusahaan penyedia jasa tenaga kerja atau yang lebih dikenal dengan outsourcing. Dalam dunia usaha, penggunaan jasa outsourcing memang sudah tidak asing lagi.

Hanya saja, tidak semua orang paham tetang hal ini, ditambah lagi ada berita-berita yang negatif seputar karyawan outsourcing ini, bahkan ada yang berlanjut ke ranah hukum.

Contohnya adalah pada kasus PT Jakarta International Container Terminal (JICT), perusahaan ini biasa memakai tenaga kerja outsourcing. Pada 31 Desember 2017 kerja sama PT JICT dan perusahaan penyedia outsourcing, PT Empco berakhir – otomatis 400 karyawan outsource di bawah PT Empco harus putus kontraknya. Sebenarnya hal yang wajar saja, bahkan ketika PT JICT mengontrak karyawan outsource baru, di bawah  PT Multi Tally Indonesia, yang memang keluar sebagai pemenang tender perusahaan penyedia outsourcing berikutnya.

Yang terjadi kemudian adalah, para karyawan yang di bawah naungan PT Empco, menolak pemutusan hubungan kerja. Dan yang lebih tidak masuk akal, Serikat Pekerja JICT (SPJICT) menuntut perekrutan karyawan outsource tersebut untuk menjadi karyawan tetap.

Definisi outsourcing, adalah penyerahan pekerjaan oleh pengusaha kepada perusahaan lain, untuk mengerjakan pekerjaan yang bukan produksi pokok atau pekerjaan utama di perusahaan tersebut.

Peraturan mengenai gaji atau sistem pengupahan akan ditentukan pada pemberlakuan sistem kontrak yang dilakukan di awal perjanjian. 

Apakah mereka juga bisa membentuk dan mewakili “serikat pekerja” di perusahaan tempat mereka dikontrak? 

Menurut Ketua Umum Indonesian Outsourcing Association – IOA ABADI (Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia), Greg Chen, di berbagai negara termasuk Indonesia, umumnya keberadaan Serikat Pekerja (SP), mewakili keberadaan pekerja permanen.

“Memang secara khusus ditemukan di Jepang, keberadaan para pekerja alih daya atau pekerja kontrak bisa diwakili SP. Jadi sistem kerjamereka diikat dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).”

Greg mengaku  tidak pernah mendengar ada SP yang kehadirannya mewakili pekerja alih daya atau pekerja kontrak di Indonesia. Keberadaan para pekerja yang sistem kerjanya diikat dengan PKWT, diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 100/MEN/IV/2004 tentang pelaksanaan PKWT.

Namun demikian tidak menutup kemungkinan, SP merasa turut menjadi perwakilan para pekerja kontrak dalam perusahaan.

Biasanya, pembentukan SP dilandasi adanya anggapan perusahaan kerap tidak menjalankan obligasi dasar. Sebab, jika perusahaan sudah menjalankan kewajiban mereka selaku pemberi kerja, maka biasanya SP tidak dibentuk.

Greg menegaskan, kendati di Indonesia tidak ada SP untuk perusahaan alih daya, namun diakui di tahun yang lalu banyak juga penyalahgunaan UU Tenaga Kerja. Hal itulah yang mendorong munculnya protes dari sejumlah SP.  

Jenis Usaha Outsourcing 

Secara umum pada industri apapun juga, jenis usaha outsourcing, dibagi dua bagian besar. Pertama, usaha pemborongan murni. Kedua, usaha penyedia jasa tenaga kerja. Untuk usaha pemborongan murni, biasanya perusahaan pemberi kerja meminta perusahaan vendor untuk menyediakan segala jenis bidang usahanya, mulai dari pengadaan tenaga kerja, sistem kerjanya, sampai manajemen supervisi. Semua dilakukan oleh perusahaan vendor. 

Sedangkan usaha penyediaan tenaga kerja adalah perusahaan yang menyediakan tenaga kerja seperti outsourcing, dan sistem kontrak kerja sampai pemberian gaji dan monitoring termasuk supervisi sistem pelatihan, semuanya dilakukan perusahaan customer.

Pada 2012 banyak perusahaan memperlakuan karyawannya tidak sesuai regulasi atau etika yang berlaku.

Itu sebabnya keluar Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 19 tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain. Dalam salah satu pasalnya dinyatakan, perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa buruh melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/ buruh yang dibuat secara tertulis. 

Adapun pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya, harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. 

Adapun kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud, meliputi usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); usaha tenaga pengaman (security); usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan usaha penyediaan angkutan bagi buruh. Itu sebabnya, jasa penyediaan tenaga kerja benar-benar dibatasi. 

Lalu, bagaimana jika ada peruasahaan pemberi kerja yang mem-PHK secara sepihak terhadap karyawan outsourcing-nya yang tergabung dalam Serikat Pekerja?

Greg mengatakan harus dilihat dulu bagaimana ketentuan yang diberlakukan klien yang dituangkan dalam perjanjian kerja sama (PKS) kedua belah pihak. 

“… Undang-undang mengharuskan klien membayar gaji pokok dan juga tunjangan yang masih tersisa sesuai kontrak yang harus dijalani.”

“Masalah biasanya terjadi bila kontrak kerja tidak diperpanjang. Sesuai ketentuan perundang-undangan, sah saja memutus kontrak atau PHK saat di tengah jalan. Tapi Undang-undang mengharuskan klien membayar gaji pokok dan juga tunjangan yang masih tersisa sesuai kontrak yang harus dijalani. Jika semua regulasi diikuti umumnya tidak akan terjadi masalah,” papar Greg. 

Di bidang industri apapun, termasuk migas, perkapalan, dan perbankan, bila aturannya diikuti, komunikasi lancar dan ada itikad baik, maka akan berjalan mulus. Sebaliknya masalah terjadi, jika kontraknya tidak diperpanjang, namun ada risiko terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran aturan oleh vendor.  Ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum atau melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).  

“Namun demikian penyelesaian melalui jalur PHI amat tidak diminati, mengingat proses penyelesaian yang panjang, berbelit, dan menghabiskan dana tidak sedikit. Mereka akan lebih memilih penyelesaian langsung melalui perundingan bipartite dengan karyawan atau pekerja,“ kata CEO PT Outsource Indonesia ini.   

Sebenarnya sistem pekerjaan kontrak  tidak dapat diberlakukan terlalu lama.  Ada jangka waktu masa kontrak pekerjaan, yaitu maksimal selama dua tahun. Selanjutnya bisa diperpanjang maksimal satu tahun. Setelah masa tersebut terlampaui, maka dapat diperpanjang lagi untuk dua tahun berikutnya, namun harus melalui masa pembebasan kontrak selama sebulan. Jadi siklus pekerja kontrak, maksimal adalah lima tahun masa kerja. 

PHK Harus Didasari UU 

Secara terpisah, Bukhori Hasibuan, mantan pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) mengatakan, tindakan pemutusan hubungan kerja harus didasari UU. Menurut pengacara dari firma hukum Bukhori Hasibuan dan Rekan, ada sejumlah cara mengatasi konflik dalam PHK.

Pertama adalah melakukan mediasi atau musyawarah yang difasilitasi melalui Dinas Tenaga Kerja setempat. Alternatif kedua adalah penyelesaian yang dilakukan lewat Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan KADIN Indonesia, sekaligus Ketua Tetap Sertifikasi dan Kompetensi Apindo, Iftida Yasar mengemukakan, sebenarnya pekerjaan alih daya ataupun paruh waktu dilakukan melalui sistem kerja sama kedua belah secara business to business (B to B).

“Misalnya perusahaan pemberi pekerjaan seperti antara pihak pelabuhan dengan perusahaan penyedia jasa kontainer. Setelah itu perusahaan penyedia jasa outsourcing itu melakukan kontrak kerja dengan karyawannya, sehingga kerjasama ini melibatkan tiga pihak,” katanya. 

Sejumlah hal diatur di dalam sistem pekerjaan tersebut. Antara lain, kapan jangka waktu berakhirnya pekerjaan, atau bagaimana sistem yang diberlakukan bila nantinya perusahaan tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan, maka akan berakhir juga hubungan kerja.

“Sebaliknya kalau tidak ada sistem kerja yang mengatur, bila di kemudian hari terjadi pengakhiran kontrak sebelum masa yang seharusnya berakhir, maka perusahaan pemberi kerja harus membayar sisa kontrak sesuai perjanjian kerja sama,” ujar Iftida. 

“… tidak masalah, sepanjang pemberi pekerjaan tetap memberikan hak mereka, saat kontrak diberhentikan melalui pemutusan hubungan kerja.”

Sementara menjawab bagaimana peran Serikat Pekerja (SP) dalam hubungan kerja dengan sistem outsourcing, SP memiliki hak untuk membela para anggotanya dalam mempertahankan hak-hak mereka.

Misalnya, SP perlu mengetahui bagaimana proses berhentinya pekerjaan kontrak. Apakah perusahaan yang mempekerjakan mereka sudah memberitahukan hal tersebut kepada para pekerja, termasuk bagaimana bunyi perjanjian kerjasama mengenai berakhirnya kerja kontrak mereka. 

Khusus yang berkaitan dengan kasus PT JICT yang menghentikan 400 pekerja alih dayanya, Iftida yang juga konsultan sumber daya manusia ini mengatakan, perlu melihat bagaimana bentuk perjanjian kerjasamanya.

Artinya bagaimana pemberi pekerjaan saat mengikat kerjasama dengan perusahaan outsourcing, termasuk bagaimana kerjasama yang diikat dengan pekerja outsourcing. Apakah pemberhentian kerja tersebut sesuai dengan isi perjanjian perihal masa kontrak kerja.

Sebenarnya tidak masalah, sepanjang pemberi pekerjaan tetap memberikan hak mereka, saat kontrak diberhentikan melalui tindakan PHK. 

Sebetulnya, jika dilihat dari perjanjian terkait masalah tersebut, yang dilakukan PT JICT seperti yang disinggung atas, yakni pemutusan hubungan kerja dengan 400 pekerja alih daya, sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. 

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article