Sorotan YLKI “Hari Hak Konsumen Se-Dunia”
Setiap 15 Maret, di seluruh dunia diperingati sebagai Hari Hak Konsumen Se Dunia, atau “World Consumer Right Day” (WCRD). Peringatan tersebut akan lebih bergaung di negara-negara anggota CI (Consumer Internasional), yang saat ini 120 negara di dunia adalah anggota CI, termasuk Indonesia. Dan terdapat 255 lembaga konsumen di seluruh dunia adalah anggota CI (yang bermarkas di London), termasuk Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Sejak 1974, YLKI telah terdaftar sebagai anggota CI-sekarang, dan satu-satunya lembaga konsumen di Indonesia yang menjadi full member di CI.
Secara historis, munculnya WCRD adalah diinisiasi oleh Pidato Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, pada 1962 di depan Kongres Amerika Serikat. Dalam pidato itu, Abraham Lincoln menyitir sebuah pendapat: “Konsumen adalah kelompok ekonomi terbesar, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hampir setiap keputusan ekonomi publik dan swasta. Namun mereka adalah satu-satunya kelompok penting, yang pandangannya sering tidak didengar.”
Terdapat empat hak dasar (the four consumer basic right) hak konsumen yang disitir oleh Abraham Lincoln, yakni: hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk memilih, hak atas informasi dan hak untuk didengar. Hak-hak tersebut secara lebih meluas telah diakomodir dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tema peringatan WCRD pada 2019 adalah Trusted Digital Product. Masalah produk digital saat ini menjadi perhatian lembaga konsumen di seluruh dunia, sebab produk digital sedang mengepung konsumen. Saat ini terdapat 350 juta telepon seluler di Indonesia. Artinya satu orang Indonesia mempunyai lebih dari satu buah telepon seluler. Wajar jika akses penggunaan internet di Indonesia juga meningkat tajam. Saat ini tidak kurang dari 142 juta konsumen di Indonesia adalah pemakai internet.
Relevansi dengan tema tersebut, bagaimana tentang perlindungan konsumen dengan produk digital, dan kaitannya dengan era digital ekonomi di Indonesia? Dan Bagaimanakah keberpihakan regulasi dari pemerintah dan juga operator dalam melindungi konsumen untuk mendapatkan produk-produk digital yang handal?
“… Ketika akan melakukan transaksi, konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, tidak membaca disclaimer, dll.”
Masyarakat konsumen Indonesia begitu gandrung dengan produk yang berbasis digital dan kemudian digunakan untuk berbagai bertransaksi yang berbasis digital seperti di sektor jasa, baik jasa transportasi, perhotelan, dan terutama jasa finansial. Tetapi di sisi yang lain konsumen juga banyak terjebak dalam menggunakan produk produk digital tersebut. Terbuktinya, selama 3 tahun terakhir pengaduan konsumen di YLKI didominasi pengaduan yang terkait dengan produk digital, seperti belanja online, dan pinjaman online. Terkait hal itu, terdapat beberapa fakta ironis terkait penggunaan produk digital di bidang jasa di Indonesia.
Pertama, masih rendahnya Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) di Indonesia. Saat ini IKK Indonesia baru dilevel “paham”, dengan skor 40,41. Bandingkan dengan IKK di negara maju yang mencapai 53 dengan status “berdaya”. Dengan level paham, konsumen Indonesia belum terlalu berani untuk melakukan pengaduan jika dirinya dirugikan. Dan dalam bertransaksi belum banyak mencari rujukan untuk memutuskan jadi atau tidaknya melakukan transaksi tersebut;
Kedua, masih rendahnya literasi digital masyarakat. Relevan dengan skor rendahnya IKK tersebut, literasi digital konsumen Indonesia juga masih rendah. Ketika akan melakukan transaksi secara digital konsumen tidak banyak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku, tidak membaca disclaimer, dll. Akibatnya konsumen dirugikan oleh transaksi tersebut, misalnya terkait besaran bunga, denda harian, komisi dan tata cara penagihan
Ketiga, masih lemahnya regulasi dan kebijakan yang berpihak pada perlindungan konsumen digital. Ironisnya, manakala transaksi digital ekonomi menjadi fenomena baru tetapi sampai detik ini belum ada regulasi yang komprehensif untuk melindungi konsumen. pemerintah hanya tergiur dengan aspek digital ekonomi, tetapi tidak menghiraukan dampak negatif pada konsumen.
Sampai sekarang RPP tentang Transaksi Belanja Online masih mangkrak di meja Setneg. Bahkan, terbukti pinjaman online telah memakan korban meninggal/bunuh diri, karena tidak tahan terjerat fintek, pinjaman online. Pengawasan oleh regulator, seperti OJK (Otoritas Jasa Keuangan), juga masih sangat lemah. OJK membiarkan konsumen berantem dengan pelaku usaha fintek, karena OJK membebaskan besaran suku bunga, denda dan komisi harian. Konsumen yang berhutang Rp 1 juta, bisa melambung menjadi Rp 10 juta, padahal hanya telat dua bulan. Pinjaman online adalah rentenir online yang dilegalkan oleh OJK.
Keempat, masih lemahnya itikad baik pelaku jasa digital dalam upaya melindungi konsumen. Pelaku usaha digital, yang menjual produk produk digital itu kurang punya itikad baik. Terbukti konsumen sulit mengakses jika akan mengadukan produk yang telah dibelinya. Jadi dalam penanganan pengaduan, pelaku usaha produk digital belum kooperatif.
Kelima, tidak adanya UU Perlindungan Data Pribadi. Klimaks dari itu karena sampai sekarang Indonesia belum mempunyai UU Perlindungan Data Pribadi. Padahal, segala persoalan itu bermuara dari penyalahgunaan data pribadi yang dimiliki konsumen.
Dengan demikian, terkait WCRD dengan tema Trusted Digital Product, posisi konsumen di Indonesia masih sangat rentan, karena tidak terlindungi oleh regulasi yang berpihak, pengawasan regulator yang lemah, dan minimnya itikad baik oleh pelaku usaha. YLKI mendesak pemerintah untuk melakukan penguatan regulasi di era di digital untuk melindungi konsumen. Pelaku usaha yang berbasis produk digital jangan memanfaatkan masih lemahnya literasi digital konsumen untuk kemudian melanggar hak hak konsumen. Dan konsumen sebaiknya ekstra hati hati dalam melakukan transaksi yang menggunakan instrumen produk digital.