Di hutan-hutan tropis Amerika Tengah dan Selatan, Anda bisa mendapati sloths bergelantungan di pohon (arboreal), tiduran di dahan, atau sedang melata dan bergerak sangat pelan di tanah. Sloths adalah mamalia primitif yang menjalani hidup dengan gerakan sangat lamban.
Dalam sejarah peradaban manusia sejak ratusan tahun silam, pemakaian kata sloth merujuk pada kelompok manusia yang berperilaku sangat malas. Saint Thomas Aquinas, filsuf dan theolog Italia (meninggal Maret 1274), dalam Summa Theologica mendefinisikan sloth sebagai “kenestapaan atas kebaikan spiritual.”
Menurut Thomas Aquinas, sloth merupakan “sluggishness of the mind which neglects to begin good… [it] is evil in its effect, if it so oppresses man as to draw him away entirely from good deeds.” Dalam tradisi Katolik, sloth merupakan salah satu dari “the seven deadly sins”.
Anda bisa bayangkan, manusia macam mana kok justru merasa menderita, sorrow, untuk melakukan kebaikan dalam hidup. Bahkan menganggap kerja sebagai beban.
Gambarannya, sebagaimana kita bisa amati di kantor-kantor swasta, organisasi nonprofit, dan lembaga pemerintahan, berapa persen dari para karyawan dan mungkin juga pimpinan institusi yang memusatkan perhatian penuh, fokus, menyelesaikan tugas masing-masing pada jam-jam kerja di organisasi mereka?
“… Kemalasan bukan hanya tidur-tiduran, Menunda-nunda pekerjaan sepertinya juga masuk ketegori sloth.”
Sementara itu, berapa banyak dari mereka selingkuh di jam-jam kerja untuk melakukan kegiatan di luar tugas – seperti buka sosial media, aktif ber-WhatsApp di luar urusan kerjaan, dan bahkan membuka-buka YouTube mencari hiburan? Kemalasan bukan hanya tidur-tiduran seperti sloths itu kan? Menunda-nunda menyelesaikan pekerjaan sepertinya juga masuk ketegori sloth.
Kondisi itu dapat terlihat di hasil survei Gallup, yang menyebutkan tingkat engagement karyawan di dunia ini rendah, sekitar 15%. Kenyataan ini bisa jadi akibat atasan mereka belum tahu dan kurang perduli pada potensi mereka, sehingga belum dioptimalkan, dilatih, untuk menyelesaikan tugas-tugas di divisi.
Bisa juga akibat para karyawan yang terkena gejala sloth tersebut kurang berinisiatif meng-engage-kan diri, hanya menunggu program-program pelatihan upaya meningkatkan engagement yang dibuat perusahaan. Mereka pasif.
“… the cardinal sin of sloth along with feeling of sorrow is manifested by an avowed aversion to work,” kata Dr. Steven Berglas, yang pernah 25 tahun lebih menjadi a faculty member Harvard School’s Department of Psychiatry dan belakangan berpraktik sebagai coach dan konsultan para eksekutif.
Menurut perspektif Islam, malas bekerja atau melambatkan proses merampungkan pekerjaan atau menunda-nunda melaksanakan tugas yang bermanfaat bagi banyak orang, juga bisa dianggap mengingkari rahmat Tuhan.
Kalangan Muslim, atau orang-orang yang meyakini dirinya beragama Islam, sesungguhnya sudah diingatkan betapa manusia telah diciptakan istimewa, sebagaimana tertulis dalam sejumlah ayat di Al Qur’an, satu di antaranya, “Demi langit serta pembinaannya, demi bumi serta penghamparannya, dan demi jiwa serta penyempurnaannya lalu Allah mengilhaminya kedurhakaan dan ketakwaannya.” (Asy-Syam [91]: 5 – 8).
Menurut para ulama, ukuran ketakwaan seseorang antara lain terlihat bagaimana dia menggunakan waktu untuk kebaikan dirinya, bermanfaat bagi keluarga dan organisasi (perusahaan), dan memberikan positive impact bagi masyarakat. Interpretasinya, seseorang yang masuk kategori sloth sama saja dengan meremehkan diri sendiri hidup tanpa kemuliaan — kalau tidak mau disebut memilih jalan kedurhakaan (menyangkal keistimewaan dari Tuhan).
Diperlukan upaya sungguh-sungguh agar berhasll hijrah (fisik dan batin) untuk bertransformasi meraih derajat lebih baik. Penegasannya antara lain melalui ayat ini “…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri …” (Ar-Ra’d [13]: 11).
Itu perlu action, kerja nyata, bukan pencitraan. Kata amal/pekerjaan digunakan oleh Al-Quran untuk menggambarkan penggunaan daya manusia – daya pikir, fisik, kalbu, dan daya hidup, kata Dr. M. Quraish Shihab (Tafsir Al Misbah).
Meningkatkan kompetensi, berubah menjadi pribadi baru yang lebih baik dan bekerja efektif tentunya memerlukan “penggunaan daya manusia” tersebut.
“… Bagi sebagian orang, bekerja lebih efektif merupakan tentang bagaimana melawan diri sendiri dan menang.”
Anda tentunya setuju, untuk meningkatkan kompetensi, bekerja lebih efektif, mustahil dicapai kalau seseorang berperilaku sloth – yang menurut Dr. Steven Berglas merupakan “a habitual disinclination to exertion; laziness”.
Tujuan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) menerapkan tiga virtues (kebajikan) — courage (berani keluar dari zona nyaman, merambah wilayah pemikiran dan praktik kerja baru), humility (rendah hati mengakui perlu pertolongan dari stakeholder), dan discipline (melakukan follow up dan selalu mengasah tingkat efektivitas diri) — adalah membantu para eksekutif menang melawan diri sendiri, sehinga dapat berperilaku lebih efektif. Memimpin tim meraih goal secara terukur dan sistematis. Meningkatkan akuntabilitas diri dan tim.
Para eksekutif dan leader yang sudah mempraktikkan ketiga kebajikan tersebut di kehidupan mereka, umumnya dapat mengatakan betapa spiritually enriching prosesnya. Atau, menurut seorang vice president dari sebuah grup bisnis besar, merupakan soul searching yang membahagiakan. Agama-agama besar di dunia ini selalu menghormati manusia yang bekerja dengan sungguh-sungguh, berintegritas, dan akuntabel.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman