Senin, Desember 9, 2024

Jihad politik

Must read

Kolom Denny Siregar

Sejak 2014, kegelisahan terjadi pada kelompok fundamentalis saat kepemimpinan Jokowi. Kelompok fundamentalis berbaju agama ini tersebar diberbagai ormas dengan mengatasnamakan “Islam”. Selama ini mereka happy menyebarkan faham radikalnya dengan dana pemerintah berbentuk bantuan sosial atau bansos.

Ada simbiosis mutualisme antara partai penguasa sebelumnya dengan para ormas. Ormas mendapat dana dan perlindungan, partai mendapatkan suara dari mereka. Kerjasama saling menguntungkan ini terjadi sekian lama sehingga kondisi negeri tampak adem dan tenteram, padahal sesungguhnya sakit di dalam.

Dana bantuan sosial kepada ormas ini besarnya bisa mencapai 10 persen dari pendapatan daerah. Sebagai contoh sebuah provinsi misalnya, dengan pendapatan sekitar Rp44 triliun per tahun, dana bansos kepada ormasnya bisa mencapai Rp4 triliun. Jadi bisa dibayangkan, pesta pora di antara para ormas yang kemudian diikuti dengan membentuk ormas-ormas baru supaya bisa mendapat bagian.

Begitulah yang terjadi di negeri ini selama sekian tahun lamanya.

Saat Jokowi memimpin, dana bansos yang nilainya triliunan rupiah itu dihapus dan dialihkan ke program yang langsung berguna bagi masyarakat, seperti Kartu Pintar, Kartu Sehat dan kartu-kartu lainnya.

Inilah yang membuat ormas fundamentalis ini meradang. Mereka yang selama ini memanfaatkan dana bansos untuk memperluas jaringan mereka, tiba-tiba harus kelaparan. Arus utama kas keuangan mereka hilang.

Para ormas fundamentalis ini kemudian merapat bergabung dengan para mafia dan pengusaha hitam untuk mendapatkan dana dari mereka sekaligus berfungsi sebagai attack dog dan pencuci tangan kotor mereka.

Pada tahun 2017, Jokowi membubarkan Hizbut Thahrir Indonesia dan HTI tiba-tiba menjadi organisasi yang berbahaya. Keputusan Jokowi ini membuat HTI kemudian menjadi musuh utama karena cita-cita mereka untuk mendirikan negara Islam terhambat.

Berbeda dengan ormas agama fundamentalis lainnya, HTI adalah kelompok intelektual. Mereka membangun jaringan kelompoknya melalui dunia pendidikan.

Seiring dengan pembubaran HTI, para anggota senior mereka menyebar ke berbagai ormas fundamental itu dan mengkonsolidasikan mereka dalam satu barisan untuk melawan Jokowi. HTI mengadakan perjanjian dengan oposisi untuk memenangkan mereka supaya mereka bisa kembali eksis. HTI juga mengkoordinasikan dana para pengusaha hitam dan mafia sebagai “dana perjuangan” dengan seruan revolusi.

Bagi HTI dan kelompok fundamentalis berbaju agama itu, Pilpres 2019 ini adalah jihad politik. Itulah kenapa mereka selalu memakai narasi “perang badar”, “perang uhud”, untuk memompa semangat perlawanan.

Melihat lawan-lawan Jokowi, sudah selayaknya kita harus melihat Pilpres 2019 ini dengan kacamata yang sama dengan mereka, yaitu jihad.

Itulah kenapa Pilpres 2019 ini jauh lebih besar dari pemilihan “siapa Presidennya” tetapi lebih mengarah pada perang ideologi sebenarnya.

Pilpres 2019 adalah titik utama apakah ke depan negeri ini akan berjaya atau hancur berantakan karena kelompok dengan agenda khilafah ingin menguasai pemerintahan.

Seruput kopinya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article