Sejak awal Maret, Roy Morgan, lembaga riset asal Australia, sudah tiga kali merilis hasil survai pra Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Survai awal Maret (dengan data riset bulan Januari) memprediksi “a comfortable victory” untuk paslon 01 (58%), paslon 02 (42%), dengan selisih 16 poin. Tapi dua rilis berikutnya menunjukkan tren turunnya dukungan untuk paslon 01. Rilis kedua pada 22 Maret (dengan data bulann Februari) menunjukkan dukungan untuk paslon 01 (56,5%) dan paslon 02 (43.5%), dengan selisih 13 poin. Rilis terbaru 2 April lalu (data akhir Maret – awal April) menunjukkan dukungan untuk paslon 01 turun lagi (54,5%) dan paslon 02 (45,5%), dengan selisih 9 poin.
Data itu menunjukkan dukungan untuk paslon 01 konsisten turun, sementara dukungan untuk 02 konsisten naik. Dalam waktu satu bulan, keunggulan paslon 02 anjlok hampir setengahnya: dari dua digit menjadi di bawah 10%. Menurut saya, tren ini mengkonfirmasi temuan Litbang Kompas tentang “ruang kontestasi yang menyempit”, pertarungan yang lebih ketat (lihat juga perdebatan yang menarik antara Bambang Setiawan dari Litbang Kompas dan Denny JA).
Apakah kemenangan paslon 01 tak terbendung? Roy Morgan memprediksikan paslon 01 akan menang dengan perolehan suara 54%, hampir sama dengan perolehan suara Jokowi – Jusuf Kalla tahun 2014.
Data Roy Morgan juga menunjukkan, kedua paslon unggul di segmen pemilih dan wilayah basis mereka. Paslon 01 unggul di Jawa Tengah, Daerah Istimwa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera bagian utara, Sulawesi. Sementara paslon 02 unggul di DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Sumatera bagian selatan, dan Kalimantan. Paslon 01 unggul di segmen pemilih tua, kelas menengah ke bawah, dan pedesaan; sedangkan paslon 02 unggul di segmen pemilih muda, terdidik, dan urban.
“… yang mungkin justru krusial karena adanya fenomena late surge (lonjakan dukungan di saat injury time).”
Tapi jangan lupa, data itu diambil akhir Maret – awal April. Ada periode menjelang hari tenang yang belum ter-cover survai tersebut, yang mungkin justru krusial karena adanya fenomena late surge (lonjakan dukungan di saat injury time). Beberapa teman Indonesianis asing di grup WA bilang fenomena late surge ini teramati dalam Pilkada DKI Jakarta 2018, yang dimenangi Anies Baswedan – Sandi Uno dengan perolehan suara jauh di atas prediksi survai.
Dengan ruang kontestasi yang menyempit dan kemungkinan adanya late swing/surge ini, dukungan beberapa ustadz kondang untuk paslon 02 dan golput yang diduga meningkat, boleh jadi akan berpengaruh. Meskipun menurutku, dukungan para ustadz itu tidak mengagetkan karena sudah bisa diduga – justru akan mengagetkan jika sebaliknya, mereka dukung paslon 01.
Tapi dukungan mereka mungkin akan berpengaruh pada kaum milenial Muslim yang tadinya masih ragu-ragu.
Yang mengagetkan malah dukungan Dahlan Iskan untuk paslon 02. Dengan jaringan kuat di Jawa Timur dan Indonesia wilayah timur, bisa jadi pilihan Dahlan Iskan akan ada pengaruhnya.
Golput diduga lebih merugikan paslon 01 daripada 02. Makanya, kubu paslon 01 garang banget kepada “golongan putih” ini.
Pertanyaannya sekarang, apakah late swing/surge, kalau benar terjadi untuk paslon 02, bisa lebih dari 10 poin untuk mengejar ketertinggalan dari paslon 01? Mari kita kita lihat Rabu, 17 April 2019 nanti.
Saya cenderung menduga, perolehan suara kedua paslon akan ketat, mungkin seperti Pilpres 2014. Hal yang tidak diinginkan kubu Jokowi, yang ingin kemenangan di atas dua digit – supaya tidak ada peluang gugatan ke Mahkamah Konstitusi, dan yang lebih penting, menunjukkan mandat yang tak terbantahkan dari rakyat. Pilpres ini referendum untuk pemerintahan Jokowi: kemenangan tipis menunjukkan ada ketidakpuasan yang merata di publik. Kemenangan tipis juga akan menyulitkan koalisi Jokowi nantinya – lame duck, kata satu analisis.