Pemindahan Ibukota negara Indonesia telah menjadi wacana nasional dan telah didukung oleh Presiden Jokowi. Tim Nawa Cipta menyusun sebuah analisis kebijakan terkait, sebagai masukan dan dukungan kepada Presiden RI. Kajian telah disampaikan kepada Presiden Jokowi pada 20 Maret 2017, dan diperbaharui pada 24 Januari 2018 untuk Bappenas.
Pemindahan ibukota negara setidaknya mempunyai tiga alasan. Pertama, alasan untuk memisahkan aktivitas politik dan ekonomi , antara lain negara-negara Amerika Serikat, dari New York ke Philadelphia kemudian Washington DC, Brasil, dari Rio de Janeiro ke Brasilia, Belanda, ibukota resminya Amsterdam, kota pemerintahannya adalah Den Haag, India, dari Mumbai ke New Delhi, Australia, dari Sydney ke Canberra dan Darwin (wilayah Utara), Turki, dari Istambul ke Ankara.
Kedua, alasan pendudukan negara lain, atau dalam keadaan darurat, antara lain negara-negara Lithunia, karena pendudukan ibukota Vinilou oleh Polandia (1918 – 1940), maka ibukotanya dipindah ke Kaunas, Ibukota Perancis dipindahkan di Vichy sewaktu pendudukan Jerman, Taiwan, dari Nanjing ke Taipei, Indonesia, tercatat pernah memindahkan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta dan Bukit Tinggi pada masa agresi Belanda.
Ketiga, memang hendak membuat Pembangunan ibukota baru, antara lain negara-negara Malaysia, membangun Putra Jaya sebagai Komplek Perkantoran PM dan Kementerian. Yang Dipertuan Agong dan Parlemen serta Kedubes tetap di KL, dan Korea Selatan sedang merencanakan membangun ibukota ke wilayah Selatan, walaupun kantor Presiden dan Kemenlu nantinya tetap di Seoul.
Pemindahan Ibukota di Indonesia telah menjadi pengalaman dan wacana sejak zaman kolonal Belanda. Pada awal abad 20, Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Strirum (1916 – 1921) membawa gagasan untuk memindahkan Ibukota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Gagasannya didasarkan kepada hasil studi dari H.F. Tillema, ahli kesehatan Belanda kelahiran Groningen yang bertugas di Semarang, tentang kesehatan kota-kota di pesisir utara Jawa. Disimpulkan bahwa kota-kota di pantai utara Jawa tidak sehat untuk dijadikan sebagai kedudukan Kantor Pemerintahan, niaga, industri, pendidikan dan lain-lain. Gagasan ini gagal karena dunia depresi besar (1932) disusul perang dunia.
Pada masa perang kemerdekaan, tahun 1946, keamanan di Ibukota Jakarta sangat buruk karena masih banyak pasukan Sekutu AFNEI dengan pasukan Belanda (NICA) di belakangnya, dan masih banyaknya pasukan Jepang. Pada 2 Januari 1946 Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII memberikan Yogyakata sebagai Ibukota negara. Tanggal 4 Januari Presiden Soekarno, Wakil Presiden M. Hatta dan seluruh Kabinet sampai di Yogyakarta. Pada 19 Desember 1948 Belanda menyerbu Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden ditangkap Belanda, dan kekuasaan diserahkan kepada Syafroedin Prawiranegara yang berada di Sumatera Barat, dan menjadikan “Sumatera Barat” sebagai Ibukota Negara. Tanggal 6 Juli 1949, Ibukota kembali ke Yogyakarta, setelah Presiden dan Wakil Presiden kembali ke Yogyakarta. Tanggal 17 Agustus 1950 Ibukota kembali ke Jakarta setelah Republik Indonesia Serikat bubar dan berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada 17 Agustus 1957 Presiden Soekarno melalui pernyataan resmi menyatakan agar Palangkaraya menjadi “modal dan model” Ibukota negara yang baru. Pada saat itu dibuat kerjasama dengan Uni Soviet. Sejumlah insinyur Rusia didatangkan untuk membangun jalan raya di lahan gambut, yang dilaporkan berjalan dengan baik. Krisis ekonomi 1960an membuat pembangunan Palangkaraya terhenti, dan tahun 1965 pada saat Presiden Soekarno “dilengserkan”, gagasan itu lenyap.
Pada tahun 2010 Presiden Yudhoyono membuka wacana tentang pemindahan Ibukota negara, hanya saja gagasan tersebut berhenti pada tingkat wacana. Pada 2017, Presiden Jokowi mengangkat kembali pentingnya pemindahan Ibukota dari Jakarta ke tempat lain. Salah satu tempat yang dituju oleh Presiden Jokowi adalah Palangkaraya, dengan empat pertimbangan yang pernah disampaikan melalui media massa adalah: 1) Jakarta sudah terlalu padat dan tidak sesuai lagi untuk Ibukota, 2) Palangkaraya terdapat di Kalimantan, Pulau tanpa gunung berapi, sehingga bebas gempa, 3) Posisinya di luar Jawa, sehingga menetralisir pembangunan yang Jawa-sentris, dan 4) Tidak memerlukan dana APBN.
Pada saat ini, opini publik terbelah menjadi tiga, mengikuti pendapat para pemuka masyarakat dari kalangan cerdik pandai (intelektual, akademisi, praktisi senior), yaitu pendapat mendukung, menolak, dan kombinasi.
Berbagai analisis
Analisis pemindahan Ibukota negara dilaksanakan dengan mempergunakan tiga metode, yaitu, pertama, metode analisis komparasi, yaitu membandingkan kebijakan relokasi Ibukota dari berbagai negara, dan melihat tingkat keberhasilannya. Kedua, metode analisis biaya dan manfaat kualitatif (qualitative cost and benefit analysis). Ketiga, analisis kombinasi pilihan pemindahan. Pada analisis ini, konsep pemindahan Ibukota negara disamakan dengan pemisahan antara Ibukota pemerintahan dan Ibukota bisnis.
Belajar dari pengalaman negara lain
Beberapa negara yang melakukan pemindahan Ibukota Negara menunjukkan keberhasilannya. Di antaranya Amerika Serikat, Russia, Kanada, Australia, India, Brazil, Belize, Polandia, Italia, Yunani, Jerman, Saudi Arabia, dan Finlandia. Ada yang relatif berhasil, Nigeria, Kazakhstan, dan Myanmar. SementaraTanzania dan Pantai Gading tergolong gagal.
Dari analisis komparasi di atas, negara-negara yang memindahkan Ibukota negara dan yang memisahkan antara “Ibukota pemerintahan” dan “Ibukota bisnis” cenderung berhasil. Keberhasilan dinilai dari tiga kriteria: 1) Terbentuknya ekosistem fisik pemerintahan yang lebih baik, 2) Keseimbangan perkembangan sosial, ekonomi, politik antar kawasan dengan menghasilkan keseimbangan antar kawasan, 3) Kesinambungan keunggulan kompetitif dari negara/bangsa bersangkutan secara global.
Dengan demikian, secara relatif dapat dikatakan, rencana untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke kota lain mempunyai potensi keberhasilan, dengan mempertimbangkan tiga kriteria keberhasilan yang disebutkan di atas.
Biaya dan manfaat secara kualitatif
Pada tabel berikut disampaikan pilihan-pilihan kebijakan antara status quo dan pemindahan dengan skor memanfaatkan metode biaya-manfaat-kualitatif.
Dari analisis biaya dan manfaat kualitatif secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa pilihan kebijakan status quo mempunyai skor <1, sementara pilihan kebijakan memindahkan Ibukota mempunyai skor >1.
Analisis kombinasi pilihan pemindahan
Pada analisis kombinasi pilihan, maka penilaian dilakukan pada empat parameter utama dengan urutan sesuai dengan kekuatan kontribusi dari tertinggi ke terendah sebagai berikut: 1) Kekuatan budaya lokasi, 2) Keamanan dari ancaman bencana alam, 3) Keamanan dari ancaman sosial, 4) Luas lahan, 5) Kekuatan ekonomi, 6) Potensi ekonomi, 7) Kestrategisan lokasi secara geografis secara internal dan eksternal, dan 8) Kesiapan infrastruktur.
Berikut ini disampaikan analisis pemindahan secara makro dalam konteks pulau.
Tabel 3. Analisis pemindahan secara makro dalam konteks pulau
Dari analisis tersebut, nampak bahwa pilihan pemindahan terbatas pada dua pulau, yaitu Jawa dan Kalimantan. Jawa relatif mempunyau keunggulan tipis dibanding Kalimantan.
Dari analisis tersebut, nampak bahwa pilihan pemindahan terbatas pada dua pulau, yaitu Jawa dan Kalimantan. Jawa relatif mempunyau keunggulan tipis dibanding Kalimantan. Untuk itu, dilanjutkan dengan analisis kombinasi lanjutan dengan pendekatan posis stratejik secara geografis terhadap internal dan eksternal dengan skor stratejik (SS) sekaligus dikaitkan dengan kondisi fisikal secara relatif sebagai berikut:
Tabel 3. Analisis kombinasi lanjutan dengan pendekatan posis stratejik secara geografis terhadap internal dan eksternal dengan skor stratejik (SS) sekaligus dikaitkan dengan kondisi fisikal
Dari analisis sederhana di atas, nampak bahwa dua pilhan terbaik adalah Jawa Pantai Utara Kawasan tengah dan Kalimantan Daratan Kawasam Tengah.
Rekomendasi
Rekomendasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah bersifat generik atau umum, mengingat keterbatasan analisis, data, dan waktu analisis. Adapun rekomendasi diberikan adalah:
Dibuat kebijakan Pemindahan Ibukota Negara, namun perlu dibuat kajian oleh Tim Khusus yang bersifat rahasia dan berada langsung di bawah Presiden, dan bukan oleh salah satu atau kombinasi Kementerian. Tim disarankan terdiri dari: ahli tata kota, ahli lingkungan, ahli ekonomi, ahli pemerintahan, ahli kebijakan, ahli hukum, ahli kebudayaan/antropologi, ahli statistik, ahli transportasi, ahli arsitektur/teknik spasial wilayah, ahli politik internasional, ahli kedayasaingan, ahli manajemen, ahli rekayasa teknologi, dan ahli psikologi massa.
Lokasi disarankan adalah Jawa Pantai Utara Kawasan Tengah dan Kalimantan Daratan Kawasan Tengah, dengan ancar-ancar lokasi sebagai berikut:
Rancangan Implementasi yang disarankan adalah: 1) Presiden dan Kabinet pindah ke Ibukota baru, 2) MPR (DPR dan DPD) pindah ke Ibukota baru, 3) BPK, MA, MK, tetap pada tempat sebelumnya, 4) Ibukota baru hanya untuk kegiatan politik, administrasi negara, dan pariwisata tujuan khusus, 5) Dimulai dari pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan perumahan pejabat dan pegawai pemerintahan dengan metode ruislag gedung-gedung yang ada, dengan catatan semua biaya pembangunan baru dan pemindahan tuntas hanya dari hasil ruislag, atau tidak dari APBN, 6)Jika dikehendaki pilihan ke dua sebagai opsi, maka agenda penting dilakukan adalah penguatan budaya di kawasan tersebut, 7) Implementasi kebijakan perlu dilaksanakan dengan tiga prinsip: a) smart, b) speed, c) secrecy.