Jumat, November 15, 2024

5 faktor kekalahan Prabowo

Must read

Kekalahan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 adalah ulangan peristiwa de ja vu 2014. Faktor-faktor kekalahan itu terpapar di depan mata. Maka menjadi sangat mudah memahami kemarahan Prabowo. Prabowo murka. Strategi ala Trump ternyata gagal total melawan Jokowi jilid II. Marah. Kecewa. Untuk orang delusi seperti Prabowo, tidak bakal mengaku kalah! Namun, kekalahan itu telah membuatnya menjadi legenda.

Tim penasihat strategi politik terkait Rob Allyn sudah mati-matian melawan Jokowi. Khusus di Indonesia, strategi itu dikuatkan dengan bergaungnya kaum radikal keagamaan seperti HTI, khilafah dan FPI serta PKS. Kekuatan yang tidak ada di Trump, di Brexit, di Brazil, di Austria.

“… Gerakan masif terstruktur mereka mampu menarik suara kaum radikal, Pada saat yang bersamaan menimbulkan polarisasi.”

Strategi kampanye dijalankan dengan cara menakut-nakuti. Menggambarkan ekonomi buruk, harga mahal, Indonesia bubar, Indonesia lebih baik, hutang besar, infrastruktur salah, dan pesimisme. Semua dibangun secara masif, terstruktur, dan sistematis. Itu masih ditambah dengan isu-isu Jokowi PKI, Jokowi antek asing dan aseng.

Fitnah masif digeber lewat Ratna Sarumpaet, Andi Arief, Hanum Rais, Dahnil Simanjuntak, Neno Warisman, Nanik S. Deyang, dan para haters lainnya.

Prabowo meniru persis kampanye ala Trump, Brexit, pemilu di Austria, dan terakhir adalah kemenangan Jair Bolsonaro. Perilaku Sandi dan Prabowo pun sama. Konyol. playing victim. Memberikan data palsu, misalnya berkunjung di 1.500 titik kota di Indonesia. Program kerja nol besar. Hanya bentuk jargon orasi Indonesia makmur dan adil. Prabowo tanpa menyebutkan cara mencapai adil dan makmur.

Bukan hanya itu, Prabowo pun menggandeng Islam radikal. HTI, FPI, khilafah, dan PKS bersatu padu menyerang Jokowi. Gerakan masif terstruktur mereka mampu menarik suara kaum radikal. Pada saat yang bersamaan menimbulkan polarisasi. Kaum nasionalis turun gunung melawan radikalisme, mempertahankan Pancasila.

Bukan hanya itu. Prabowo dengan mesin media sosial dan media sisa 10 tahun menguasai Kominfo di bawah PKS berhasil mendominasi 4 tahun media sosial. Gerakan WAG secara masif berhasil dibangun yang menghasilkan emak-emak Pepes, RT RW khilafah, dengan konten anti pluralisme, anti Jokowi. Konten provokatif. Operator strategis IT termasuk Anthony Leung, Nhoudhy Valdryno, dan lain-lain.

Mengapa Prabowo tetap kalah? Pertanyaan yang sangat menarik. Ada lima faktor yang menyebabkan Prabowo kalah.

Pertama, Tim Kampanye Prabowo – Sandi tidak memahami kekuatan NU yang terancam eksistensinya. Karena Prabowo praktis didukung oleh Muhammadiyah. NU turun gunung. Terbukti Jawa Timur dan Jawa Tengah melejit.

Kekuatan NU di Jawa Barat pun dirangkul oleh Jokowi, sehingga Jabar tetap 40%. Andai suara Jokowi di Jabar turun 7-8% saja, seperti di Aceh atau di NTB dan Sumbar, Prabowo bakal menang. (Kesalahan Prabowo menggandeng kalangan Islam radikal.)

Kedua, kaum nasionalis dan minoritas turun gunung melawan radikalisme, mempertahankan Pancasila. Ini bisa dilihat hasil di Sulawesi Utara, Nias, Indonesia Timur, Bali, dan Yogyakarta. Di berbagai tempat itu Prabowo kalah. (Kesalahan kubu Prabowo menarasikan pembela kaum khilafah.)

Ketiga, kaum milenial mendukung Jokowi. Kaum milenial tersentak oleh Konser Putih GBK 14 April 2019. Juga kemenangan Jokowi di TPS luar negeri. Kondisi ini masih ditambah dengan buruknya Prabowo yang tidak tahu Unicorn dan Mobile Legends. Prabowo ditertawakan kaum milenial. (Prabowo tidak mendukung dan mengkapitalisasi milenialisme Sandi.)

Keempat, bergeraknya tim pelapis kampanye siluman Jokowi. Tim ini tidak pernah diketahui oleh umum namun menimbulkan jejak nyata elektoral. Fenomena kampanye lewat hologram menyerang di jantung pertahanan 02. Kampanye ini menyedot perhatian media dan massa. (Tim Prabowo tidak punya narasi, teknologi, dan sumber daya untuk mengimbangi gerakan gesit strategis ini.)

Di banyak pelosok desa atau pinggiran kota di Jawa Barat, hologram Jokowi mendapatkan sambutan luar biasa dari masyarakat. Hasilnya, sementara ini posisi Jokowi di Jawa Barat bertahan mirip di 2014. Suatu pertahanan yang sangat berhasil. Perolehan suara Jokowi bertahan di angka kisaran 40%, tidak merosot jauh sehingga menjadi sumbangan kemenangan perolehan suara nasional.

Kelima, Jokowi masuk Kakbah dan berziarah ke Makam Rasulullah Muhammad SAW. Sebagai berita yang tak terbantahkan, ibadah Jokowi ini mendapatkan eksposur, menenggelamkan berita umroh Sandi. Komentar negatif Mardani justru menjadi bumerang, mirip kasus 2014 ketika Fahri Hamzah menyebut Hari Santri sebagai sinting. (Prabowo tampak menduduki makam orang sebagai tanda kualat. Dan, itu terbukti Prabowo kalah.)

Itulah lima faktor penyebab kekalahan Prabowo untuk ketiga kalinya nyapres dan nyawapres. Namun, saya yakin Prabowo masih bisa maju lagi di 2039 melawan Jan Ethes Srinarendra.

Penulis: Ninoy N Karundeng

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article