Catatan Farid Gaban
Pengadilan di California, Amerika Serikat, pekan ini memutuskan memenangkan gugatan monumental dua pasangan penderita kanker terhadap Monsanto, perusahaan multinational Amerika di bidang pupuk dan pangan.
Round-Up, produk Monsanto, biasa dipakai untuk membunuh rumput dan gulma yang menganggu tanaman utama, baik di taman kota maupun lahan pertanian. Tapi, oleh sebagian penelitian, Round-Up juga dipercaya memicu kanker bagi manusia.
Monsanto diminta membayar ganti rugi senilai US$2 miliar (Rp28 triliun). Itu jauh lebih besar dari hukuman ganti rugi kasus serupa pada 2014, ketika Monsanto “hanya” diminta membayar ganti rugi senilai US$290 juta.
Putusan pengadilan ini potensial mengancam bangkrut Bayer, perusahaan obat dan pestisida Jerman yang tahun lalu membeli Monsanto. Sekitar 5.000 gugatan serupa sedang mengantri.
Tapi, apa relevansi putusan itu bagi kita di Indonesia?
Indonesia adalah salah satu konsumen terbesar Monsanto, antara lain untuk Round-Up, yang oleh petani di sini dikenal sebagai “rondap”.
Popularitas produk Monsanto tak lepas dari peran pemerintah. Round-Up dipasarkan di sini sejak 1974. Penggunaan pestisida dan herbisida kimiwai didorong oleh program “Revolusi Hijau” pada era Orde Baru.
Pada 2015, Pemerintahan Jokowi mengizinkan Monsanto bekerjasama dengan Bank BRI ketika banyak negara lain justru mulai bersikap kritis terhadap Monsanto.
Kita tahu, BRI bank milik negara yang banyak mengucurkan kredit pertanian. Monsanto dan BRI membundel kredit tani dengan produk Monsanto: pupuk, pembasmi hama dan benih GMO (Genetically Modified Organisms).
Round-Up tetap populer sampai sekarang, yang bisa kita temukan dari toko pupuk pedesaan hingga toko online. Apalagi dengan dukungan pemerintah tadi. Padahal ancamannya bersifat muti-dimensi.
Kutukan Revolusi Hijau
Penggunaan pestisida dan herbisida kimiawi sebenarnya merusak tanah pertanian kita. Mereka membunuh tak hanya gulma, tapi juga serangga dan mikroba penyubur tanah. Alih-alih meningkatkan produktivitas pertanian, herbisida ini justru membuat petani merogoh kocek lebih dalam.
Dalam jangka panjang, tak hanya merusak ekosistem, tapi juga kesejahteraan petani. Involusi (mundurnya) sektor pertanian antara lain dimulai dari sini.
Dan meski patut diduga Round-Up juga merusak kesehatan petani serta konsumen pangan, belum ada penelitian mendalam di Indonesia.
Alih-alih mengkritisi Monsanto, pemerintah Indonesia justru menggelar karpet merah buatnya.
Tak kurang 27 negara dunia melarang masuk benih dan hasil panen pangan GMO. Di 61 negara, kemasan pangan hasil panen GMO harus diberi label jelas sehingga konsumen bisa memilih.
Di Indonesia, ironis, pangan GMO diberi label halal oleh Majelis Ulama Indonesia, hanya karena tak mengandung unsur babi.
Monsanto tak hanya mempoduksi RoundUp dan bukan sekali ini memicu kontroversi. Perusahaan itu juga memproduksi insektisida DDT yang populer pada 1970-an, dan akhirnya juga dilarang di seluruh dunia.
Monsanto memproduksi agent-orange pula, senjata kimia yang dipakai oleh Amerika dalam Perang Vietnam. Disemprotkan dari udara, agent-orange membunuh tanaman pangan musuh. Amerika berharap orang Vietnam kelaparan dan menyerah kalah.
Menyebut diri “a modern agriculture company”, Monsanto ada di garda depan riset dan pemasaran benih-benih tanaman hasil rekayasa genetika ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebagian besar benih jagung dan kedelai kita kini adalah hasil rekayasa genetika (GMO).
Beberapa tahun lalu, dua petani di Jawa Timur diadili karena gugatan oleh Monsanto: dituduh memalsukan benih jagung Monsanto yang sudah dipatenkan.
Ketika di banyak negara diawasi ketat, Monsanto disambut dengan karpet merah di Indonesia.