Kolom Mohamad CholidP
“The past is an interpretation. The future is an illusion. If you want to experience eternal illumination, put the past and the future out of your mind and remain within the present moment.” — Shams Tabrizi.
Langit kebiruan, dengan cahaya siang silih berganti gelap malam di atas kita, yang diciptakan Tuhan, tentunya sama dengan langit di atas Mali dan belahan lain Benua Afrika. Namun, konflik dalam negeri yang sudah berlangsung bertahun-tahun dan belum juga berkesudahan, telah mencabik tatanan hidup di sana. Langit di atas wilayah-wilayah yang dipagut perang antar suku di sebagian Afrika menjadi atap yang menaungi kematian, kemiskinan, dan kelaparan.
Belakangan, menurut laporan PBB, di kawasan barat Afrika yang gersang tersebut ada 5,2 juta orang memerlukan bantuan kemanusiaan – pada 2017 jumlahnya 3,8 juta orang. Menurut Aksi Cepat Tanggap (ACT) Indonesia, jumlah yang terancam mati kelaparan sekitar 20 juta jiwa (termasuk di Somalia, Nigeria, Sudan Selatan, dan Yaman). Manusia yang kelaparan dan tersingkir dari peradaban makin banyak.
Suatu masa, ketika persediaan makanan bantuan internasional lagi cekak, jatah diberikan hanya untuk anak-anak di atas dua tahun sampai 16 tahun. Pertimbangannya, di bawah dua tahun umumnya bakal meninggal juga, sedangkan yang diatas 16 tahun diasumsikan bisa bertahan hidup.
Petugas penyalur bantuan akan mengukur lengan anak-anak, untuk menentukan siapa layak dapat jatah makanan siapa tidak. Jika lengan kelewat kecil tidak dapat jatah karena dipastikan tidak akan tertolong, yang lengannya besar juga tidak dapat makanan karena dianggap belum masuk kategori benar-benar kelaparan. Makanan diberikan hanya kepada anak-anak berukuran lengan sedang.
Orang-orang yang pernah ikut Palang Merah Internasional atau jadi bagian dari kegiatan penyaluran bantuan pangan di wilayah-wilayah krisis semacam itu — setelah kembali ke kehidupan normal di negeri masing-masing yang lebih makmur – lazimnya lebih mensyukuri semua nikmat yang dianugerahkan Tuhan.
Mereka makin menyadari, betapa sangat berharganya hidup berdampingan dengan damai di tengah perbedaan suku, ras, agama, dan pandangan politik.
Hanya para sociopath atau penderita antisocial personality disorder (ASPD) yang tidak tersentuh oleh realitas pedih, kelaparan berkepanjangan, seperti yang di terjadi di Afrika – atau di wilayah konflik lainnya, seperti di Rohingya, Palestina…
Kenyataan tragis anak-anak di sebagian wilayah Afrika dan di kawasan konflik bersenjata lainnya, atau akibat pertikaian politik lokal, sepantasnya dapat memicu kesadaran kita, minimal untuk dua urusan.
Pertama, mestinya kita jadi lebih mampu menggunakan nalar, tidak perlu membangun konflik dan front-front baru hanya karena perbedaan politik atau ketidaksamaan pilihan di pemilu. Akhir-akhir ini orang-orang dengan gelar akademis tinggi, doktor, telah bertindak keji, menggunakan gelarnya membentuk front-front baru, melahirkan konflik di tengah masyarakat.
Kedua, pantang mengeluhkan hal sehari-hari yang kurang menyenangkan. Orang-orang dewasa akan tampak seperti anak-anak manja kalau hanya karena, misalnya, penerbangan delay lantas meradang dan memaki petugas maskapai.
“Be grateful for what you have. No matter the disappointment or supposed tribulation, do not whine or complain, do not get angry, do not lash out at another person to express your entitlement. You are no better than these African children. Their terrible fate, undeserved and tragic, could have been your fate,” kata Dr. Marshall Goldsmith, #1 leadership coach di dunia.
Di tempat Marshall Goldsmith sampai hari ini masih terpajang foto dirinya saat sekian tahun silam mendampingi petugas Palang Merah yang tengah mengukur lengan anak-anak di Sahara Desert, Afrika, untuk memastikan mereka layak dapat jatah makan atau tidak. Itu cara Marshall mengingatkan diri sendiri untuk tetap waras, tidak lengah atau lupa diri atas kesuksesannya sekarang. Lalu bersyukur.
Kita masing-masing tentunya memiliki cara berbeda untuk selalu bersyukur, mengingatkan diri agar tidak mudah mengeluhkan keadaan, serta istiqomah.
Kalangan orang-orang bijak, pendeta, ulama dan cendekiawan yang berintegritas tinggi, sejak sekian ratus tahun silam sampai hari ini, umumnya menganjurkan kesadaran, bahwa apa yang kita peroleh hari ini adalah hal terbaik yang diizinkan Tuhan untuk kita. Karena manusia adalah apa-apa yang diupayakannya.
Merawat kesadaran sikap dan pikiran tersebut mulai dari mana baiknya? Begitu pertanyaan para pemimpin organisasi, kalangan eksekutif di institusi bisnis dan nonprofit, plus sejumlah business owner, yang tengah berupaya meningkatkan efektivitas kepemimpinan mereka. Demi hasil yang lebih baik dan menebarkan benefit lebih signifikan bagi para pemangku kepentingan masing-masing.
Jawaban untuk itu adalah: selalu be present. Menghadirkan totalitas diri pada setiap moment, fokus pada setiap tahap kerja, sungguh-sungguh mendengarkan dalam berdialog, dan melepaskan masa lalu tertelan oleh waktu dan ruangnya sendiri. Kebanyakan mengelus masa silam, sebagai cara untuk ngeles dari tanggung jawab hari ini, bisa membuat seseorang tidak relevan dengan kekinian. Masa lalu bisa jadi beban tambahan saat Anda perlu mendaki ke sukses berikutnya.
Be present menghadirkan versi terbaik diri kita saat ini dan mengerahkan energi fokus, berupaya extraordinary, pada tanggung jawab sekarang — ini sebagai bagian antisipasi menghadapi hari esok. Agar masa depan bukan jadi ilusi.
Jawaban tersebut merupakan hasil praktik, berdasarkan pembelajaran dari para guru, ustadz, mentor, dan sejumlah coaches lintas generasi dan genre, dari benua berbeda.
Sederhana ya? Benar. Namun sangat menantang, dan sebagian orang mengakui sulit, untuk melakukannya secara konsisten. Utamanya karena hambatan ego, prasangka, stigma, dan perilaku judgmental, serta merasa diri lebih baik atau memiliki hak entitlement dibanding orang lain. Ini ekspresinya macam-macam, di antaranya sering menyalahkan organisasi, atasan, atau regulasi pemerintah, dan seterusnya, untuk menutupi kemalasan melaksanakan tanggung jawab profesional mereka saat ini.
“.. Cara bersyukur yang baik atas anugerah Sang Pencipta adalah dengan selalu meningkatkan kompetensi diri, melakukan self-improvement berkesinambungan.”
Dengan be present, bersyukur pada realitas saat ini, kita jadi lebih tahu langkah perbaikan apa saja yang sepantasnya kita lakukan agar bekerja lebih efektif. Cara bersyukur yang baik atas anugerah Sang Pencipta adalah dengan selalu meningkatkan kompetensi diri, melakukan self-improvement berkesinambungan.
Karena sesungguhnya Tuhan, melalui berbagai firman-Nya, memberikan support kepada setiap kita untuk terus tumbuh, meningkatkan value – sampai kematian tiba. Kalau kita bersandar pada The Infinite, peluang berkembangnya infinite pula.
Pertanyaannya, apakah kita memiliki courage untuk itu – keluar dari batasan-batasan pikiran (self-limiting belief) kita sendiri? Bersediakah rendah hati untuk melibatkan stakeholders membantu kita? Disiplinkah Anda untuk selalu follow up, mengasah terus efektivitas kepemimpinan kita? Courage, humility, dan discipline adalah landasan kuat dalam meningkatkan efektivitas kepemimpinan.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman