Catatan Farid Gaban
Pemilu pada dasarnya cuma memilih pejabat; memilih pelayan rakyat (bahkan jika itu presiden). Tapi, dalam beberapa tahun terakhir telah diglorifikasi sebagai ajang perang dan jihad.
Pemilu telah dipandang seolah panggung pertempuran antara ksatria vs durjana. (Siapa ksatria atau siapa durjana tergantung Anda ada di pihak mana).
Itu meradikalisasi kedua sisi. Mengental dukungan orang pada satu calon karena dorongan ketakutan terhadap kubu lain.
Sepanjang masa kampanye, dukungan makin kental dari hari ke hari. Polarisasi makin tajam. Tidak hanya di kalangan orang kebanyakan, tapi juga di lingkungan intelektual/akademisi.
Opini, komentar, ejekan dan perang meme kian keras dan kian kasar. (“Kita ‘kan sedang melawan durjana yang jahat, buat apa menjadi sopan,” begitu pikir orang).
Makin hari, makin keras, sampai timses di kedua kubu bahkan benar-benar menyebut kata perang.
Jenderal Moeldoko dari Kubu Jokowi menyebut ‘Perang Total’. Amien Rais di kubu Prabowo menyebut ‘Perang Badar’ (Jihad).
Publik pemilih suka-cita menjadi serdadu dalam perang itu; riang-gembira menjadi bidak di papan catur.
Mereka disemangati oleh para buzzer dan opinion maker.
Para pemilih dipuji mulia, karena sedang berjuang melawan durjana.
(“Golput itu amoral dan parasit,” kata Romo Magnis Suseno).
Mereka dielu-elukan sebagai pemberani.
(“Golput itu pengecut,” kata Denny Siregar dan Goenawan Mohamad).
Mereka disebut cinta negara.
(“Golput itu tidak nasionalistik,” kata Megawati Soekarnoputri).
Mereka diiming-iming pahala masuk surga.
(“Golput itu haram,” kata Majelis Ulama Indonesia).
Pemilu, yang pada dasarnya cuma kontes politisi mendapatkan jabatan, akhirnya dipandang sebagai Padang Kurusetra, ajang Perang Baratayudha, tempat Pandawa dan Kurawa bertempur hidup-mati.
(Siapa Pandawa dan siapa Kurawa tergantung siapa yang Anda dukung).
Jika kemudian ada yang benar-benar mati akibat pilpres, apanya yang mau disalahkan?