Menjawab Titiek Soeharto, Ancaman Tommy Soeharto Mempolisikan Ahmad Basarah dan Kecaman Prabowo pada Jurnalis
Sebenarnya saya malas menulis ini, bagaimanapun mengingat masa lalu yang buruk bagi bangsa ini hanya akan menguras emosi bagai mengorek ngorek luka lama yang masih terus bernanah. Tapi ketika Titiek Soeharto mantan isteri Prabowo yang bergabung di Partai Berkarya salah satu partai koalisi Prabowo yang dipimpin mantan ipar prabowo yang juga pernah dihukum karena kasus pembunuhan Hakim Agung MA Syafrudin Kartasasmita, mengatakan bahwa jika Prabowo menang akan melanjutkan program program Soeharto serta ancaman Tommy Soeharto untuk mempolisikan Ahmad Basarah dan kecaman Prabowo pada jurnalis maka walaupun enggan tapi terpaksa saya harus membuka kembali memori kelam keluarga Cendana dan memaksa saya harus bicara karena diam sama saja dengan membiarkan kebohongan.
Orde Baru bangun Monumen LGBT
Monumen Gay (sekarang lebih sering di istilahkan kaum LGBT) itu istilah kawan-kawan aktivis 98 terhadap Gedung setinggi 24 lantai di Jalan Medan Merdeka Barat yang selesai di bangun tahun 1994.
Kenapa Aktivis 98 mengistilahkan Gedung itu disebut Monumen Gay? Pertama karena bentuk gedung itu sangat persis dengan alat kelamin pria (lingga), lengkap dengan bentuk bangunan yang menyerupai scrotum (zakar), corpus (batang) dan glans (kepala).
Kedua, gedung itu dibangun oleh salah seorang menteri saat itu yang bagi banyak kalangan umum meyakini ia adalah gay. Keyakinan umum ini diperkuat dengan terjadinya pelecehan yang dilakukan Menteri Orba itu pada seorang pelayan pria di Hotel Carlton Auckland pada 23 April 1995.
Jadi sebenarnya aneh jika soal LGBT baru diributkan sekarang karena di zaman Soeharto negara pernah membiayai sebuah gedung setinggi 92 meter yang bentuknya konon disesuaikan dengan orientasi seksual menterinya.
Banyak negara Eropa yang memberikan kebebasan terhadap LGBT tapi cuma di Indonesia negara membangun “monumen” LGBT. Boleh jadi seharus nya sasaran aksi aksi menolak LGBT yang sedang marak hari ini dilakukan di gedung itu.
Orde Baru membuat negara jadi bandar judi
Di berbagai negara, Las Vegas, Macao, Genting Island, Kamboja, Singapura dan lain-lain, perjudian dikelola pihak swasta sementara negara hanya menjadi regulator dan penerima serta pengelola pajak.
Di Indonesia saat era Orde Baru, negara melalui Kementrian Sosial bersama dengan Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial menjadi bandar judi yang sah mengelola judi lotre bernama Porkas dan terakhir berubah menjadi SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah).
Hingga hari ini bertriliun-triliun uang hasil judi tersebut tidak pernah dipertanggung jawabkan secara terbuka pada rakyat dan di muka hukum.
41 orang dibunuh setiap hari atau hampir 2 orang dibunuh setiap jam
Darah seolah menjadi bagian dari proses kelahiran Orde Baru dan terus mengiringi perjalanan kekuasaannya. Pembunuhan menjadi satu satu nya cara dan ciri khas Orde Baru untuk membungkam Rakyat nya. Mulai dari tragedi 1965, tragedi Tanjung Priok 1984, DOM Aceh, DOM Papua, Dukun Santet Banyuwangi, Talang Sari, penculikan dan pembunuhan mahasiswa, kerusuhan 98 di Jakarta, Surakarta, Medan, dan kota-kota lain, penembakan misterius, Tragedi 27 Juli, dan lain-lain yang diperkirakan total korban tidak kurang 500.000 jiwa meninggal dunia.
Orde Baru dengan Soeharto sebagai Presiden berkuasa selama 33 tahun atau sekitar 12.000 hari. Dengan total korban mencapai 500.000 orang maka bisa dikatakan rata rata rezim Orde Baru membunuh sekitar 41 orang setiap hari atau membunuh hampir 2 orang setiap jam.
Soeharto musuh mahasiswa
Soeharto menjadi musuh mahasiswa karena kekejaman, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang membuat rakyat hidup dalam ketakutan, kemiskinan, dan ketertindasan. Perjuangan mahasiswa untuk melawan Soeharto memakan korban puluhan jiwa.
Peristiwa Malari, 15 Januari 1971. Sekitar 700 mahasiswa ditangkap, 45 orang ditahan berbulan-bulan tanpa pengadilan. Tiga mahasiswa disidangkan dan divonis yaitu, Hariman Siregar, Syahrir, dan Aini Chalid. Kerusuhan yang direkayasa untuk mendiskreditkan mahasiswa itu menghacurkan tidak kurang dari 144 bangunan.
Peristiwa ITB 1978, kampus ITB diserbu dengan Panser dan dikuasai tentara, 9 mahasiswa ditangkap, rumah rektor ditembaki.
April Makasar Berdarah (AMARAH), April 1996, 3 mahasiswa tewas: Andi Sultan Iskandar, Muh Tasrif, dan Syaiful Bya.
Peristiwa Gejayan (Tragedi Yogyakarta) Mei 1998, 1 mahasiswa tewas: Moses Gatutkaca.
Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, 4 mahasiswa meninggal Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie.
Tragedi 28 September (UBL Berdarah), September 1999, 2 mahasiswa tewas: Saidatul Fitria dan M. Yusuf Rizal.
Tragedi Semanggi I , 11-13 November 1998, 15 orang meninggal dunia, yaitu Teddy Wardhani Kusuma (ITI), B.R. Norma Irawan (Atmajaya), Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, an Hadi Kristian Nikijulong.
Tragedi Semanggi II, 24 September 1999, 1 mahasiswa (Yap Yun Hap) meninggal dan 217 luka-luka. Aktivis yang diculik dan dibunuh: Petrus Bima Anugerah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sony, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin, Abdun Nasser, Hendra Hambali, dan Ismail.
Orde Baru musuh kebebasan pers
Hari ini berbagai media hidup subur di Indonesia baik itu media TV, koran, majalah, radio dan media online. Jumlahnya bisa mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan media. Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi yang menjadi alat pencerdasan bagi rakyat untuk mendapatkan akses informasi seluas luasnya. Media juga berlaku sebagai alat kontrol terhadap pemerintah.
Di masa Orde Baru tidak ada kebebasan media. Berita-berita yang di sampaikan media harus sesuai dengan kepentingan Orde Baru. Jika media tersebut menyampaikan berita yang tidak sesuai dengan kepentingan pemerintah, maka media tersebut langsung ditutup (bredel) tanpa proses hukum.
Ini antara lain daftar media korban kesewenangan Orde Baru: Harian Abadi, Harian Indonesia, Harian Kami, Harian Pedoman, Harian Nusantara, The Jakarta Time, Mingguan Weneng, Mingguan Mahasiswa, Mingguan Pemuda Indonesia, Majalah Ekspres, Harian Suluh, Harian Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, The Indonesia Time, Pelita, Sinar Pagi, Pos Sore, Majalah Tempo, Media Detik, dan Majalah Editor.
Orde Baru berikan 17% daratan Indonesia pada perusahaan asing
Sejak diawalinya sistem kontrak karya untuk perusahaan tambang asing Soeharto sebagai Presiden rezim Orde Baru telah memberikan tidak kurang dari 30 juta hektar tanah yang sebagian merupakan tanah hak adat diberi untuk belasan perusahaan kontrak karya, di antarnya Freeport, Inco, Rio Tinto, Newmont dan lain-lain.
Luas daratan Indonesia menurut data BPN ada sekitar 180 juta Hektar dan di bawah Rezim Orde Baru, sekitar 17% dari luas daratan itu di berikan pada belasan perusahaan asing pemegang kontrak karya.
Orde Baru dan pasar bebas tenaga asing
Di mulai dari perjanjian AFTA (ASEAN Free Trade Area /Pasar Bebas ASEAN) yang disetujui oleh Soeharto di Singapura pada 1992 kemudian dilanjutkan serangkaian konfrensi tingkat tinggi, antara lain KTT 1997 hingga KTT 2003 melahirkan kesepakatan untuk membuat ASEAN Vision pada tahun 2020 sebagai awal berlakunya pasar Bebas Tenaga Kerja.
Ketika MEA berlaku dalam dua tahun ke depan maka jangan kaget jika nanti lulusan sekolah dan perguruan tinggi dalam negeri akan bersaing lapangan kerja dengan ratusan perguruan tinggi luar negeri yang ternama.
Jadi jika ada yang saat ini rajin bicara tentang TKA maka baiknya jangan asal bicara tapi perkuat pengetahuan kita dengan membuka literatur sejarah Pasar Bebas dan keterlibatan Orde Baru dalam berbagai perjanjian pasar bebas tersebut.
Orde Baru produsen konflik agraria
Dari tahun 1970 sejak awal Soeharto berkuasa hingga periode akhir kekuasaan tercatat tidak kurang dari 1 juta KK korban konflik agraria antara rakyat dengan pengusaha yang di- backingi negara melalui beragam kebijakan pertanahan dengan luasan tanah lebih dari 10 juta hektare yang diberikan pada pengusaha kroni yang tersebar hampir di 27 provinsi yang ada saat itu. Sementara bagi Keluarga Cendana mereka memiliki aset 3,5 juta hektare tanah atau sekitar 2% dari total daratan di Indonesia.
Perampasan hak atas tanah tanpa ganti rugi atas nama pembangunan, pelatihan militer dan kepentingan umum menjadi modus berulang yg dilakukan Orde Baru walaupun pada praktiknya tanah tanah tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi keluarga besar Cendana beserta kroni kroninya seperti membangun lapangan golf, resor, kebun sawit, dan lain-lain.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme
Dengan kekuasaan yang absolut Keluarga Cendana membangun lebih dari 540 perusahaan di dalam dan luar negeri termasuk memiliki saham di perusahaan Lamborghini. Perusahaan-perusahaan itu dibangun bukan karena profesionalisme tetapi dengan menggunakan kekuasaan seperti menjadi pengelola tunggal tata niaga cengkeh dan jeruk, pengelola jalan tol, memegang tidak kurang dari 170 kontrak dengan Pertamina mulai dari katering hingga impor minyak.
Transparancy Internasional memperkirakan dari seluruh perusahaan buah nepotisme dan kolusi itu Cendana memiliki total aset tidak kurang dari 35 miliar dolar.
Kaya raya atas nama yayasan sosial
Keluarga Cendana dan kroninya mungkin menjadi pemilik yayasan terbanyak di dunia yaitu 79 yayasan. Hampir seluruh yayasan ini digunakan untuk memperkaya diri dengan cara mengutip persentase dari bank-bank pemerintah, memotong gaji PNS serta beragam cara lainnya termasuk mendapatkan puluhan ribu hektar tanah dengan hak pakai tak berbatas waktu. Yayasan dengan aset yang luar biasa ini juga diduga sebagai upaya untuk menghindari kewajiban pajak dengan berlindung di balik kedudukan yayasan sebagai lembaga sosial.
Akhir kata, siapapun yang ingin kembali ke Orde Baru sama saja artinya dengan menyetujui Monumen Gay, menyetujui pembunuhan-pembunuhan, menyetujui penculikan, perampasan tanah rakyat, menyetujui korupsi, kolusi dan nepotisme, menyetujui negara jadi bandar judi, pembredelan media, pasar bebas TKA, dan menggunakan yayasan sosial untuk menumpuk harta.
Jakarta, 10 Desember 2018