Pembangunan SDM mustahil tanpa mengendalikan konsumsi tembakau.
Di tengah hiruk pikuk Hari Raya Idul Fitri dan Mudik Lebaran, terselip momen yang tak kalah krusialnya bagi masyarakat Indonesia yakni Hari Tanpa Tembakau Se-Dunia (HTTS) atau World No Tobacco Day, 31 Mei 2019.
HTTS diperingati di seluruh dunia, oleh semua negara anggota Badan Kesehatan Dunia (WHO), yang kali ini dengan tema: Tobacco and Lung Health (Tembakau dan Kesehatan Paru). Tema peringatan ini secara empiris mengingatkan kita bahwa konsumsi tembakau berdampak sangat buruk terhadap kesehatan paru (lung). Bahkan, data empirik di Indonesia membuktikan bahwa sembilan dari sepuluh penderita kanker paru adalah perokok berat. Artinya, bukti bahwa dampak buruk konsumsi tembakau terhadap kesehatan paru dan karsinogen terhadap kanker paru, tak bisa dibantah lagi.
Selain itu, HTTS juga menjadi sinyal yang sangat urgen bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia. Menurut Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI, ada beberapa hal catatan krusial yang saling berkelindan terkait hal ini, yakni :
1. Konsumsi tembakau semakin mewabah di Indonesia, lebih dari 35 persen masyarakat Indonesia adalah perokok aktif. Per tahun industri rokok memproduksi rokok 360 miliar batang, dan akan terus meningkat hingga lebih dari 500 miliar batang per tahunnya, sesuai target industri rokok besar;
2. Dengan masifnya produksi rokok tersebut, tidak heran jika jumlah perokok di Indonesia saat ini terus menanjak, bertengger di nomor 3 di dunia. Tingkat pertumbuhan konsumsi rokok di kalangan anak-anak dan remaja, juga kian miris, karena mengalami percepatan pertumbuhan yang signifikan, tercepat di dunia, yakni 19 persen:
“… Vape dan rokok konvensional sama bahayanya, bahkan bisa lebih berbahaya, karena vape bisa meledak saat dikonsumsi, seperti kasus di Amerika.”
3. Belum lagi saat ini muncul ancaman baru yang tak kalah masifnya, yakni rokok elektronik (vape), yang dianggap alternatif sebagai rokok aman bagi generasi muda. Industri rokok nasional pun mulai berpacu untuk memproduksi vape, karena makin mendapat porsi besar di segmen perokok pemula. Pemerintah sangat terlambat dalam mengendalikan munculnya vape, atau malah sengaja membiarkannya. Di banyak negara vape sudah dilarang. Vape dan rokok konvensional sama bahayanya, bahkan bisa lebih berbahaya, karena vape bisa meledak saat dikonsumsi, seperti kasus di Amerika.
4. Industri rokok asing pun mulai tanpa tedeng aling aling untuk memasarkan dan mengiklankan produknya di Indonesia. Industri rokok asing akan membidik pangsa pasar perokok di Indonesia yang masih sangat menggiurkan, mengingat lemahnya regulasi di Indonesia. Industri rokok asing menjadikan Indonesia sebagai target utama untuk memasarkan produknya. Pasalnya, negara-negara di seluruh dunia sudah sangat ketat membatasi promosi, iklan rokok. Harganya pun sangat mahal, karena cukainya sangat tinggi. Sementara di Indonesia iklan rokok nyaris tak ada pembatasan berarti, rokok dijual bebas tanpa batas, dan harganya pun sangat murah, karena cukai rokoknya sangat rendah. Terendah di dunia!
5. Saat ini Indonesia merupakan negara dengan regulasi pengendalian tembakau terlemah di dunia. Iklan dan promosi rokok masih bertebaran di mana mana, bahkan di dekat sekolah dasar sekalipun. Bahkan dalam konteks kebijakan cukai, Presiden Jokowi membatalkan kenaikan cukai selama dua tahun berturut-turut, yakni 2018 dan 2019. Ini hal yang sangat tragis, sebab pembatalan kenaikan cukai merupakan lonceng kematian bagi upaya pengendalian tembakau;
6. Dampak masifnya konsumsi rokok bukan hanya menggerogoti terhadap satu penyakit saja, tetapi hampir semua jenis penyakit tidak menular (penyakit katastropik). Data di BPJS Kesehatan membuktikan bahwa penyakit katastropik ini menjadi faktor dominan menyedot finansial BPJS Kesehatan. Dan tidak bisa dibantah bahwa jebolnya finansial BPJS Kesehatan, yang pada 2018 defisit Rp9,1 triliun; adalah dominannya penyakit katastropik, dan konsumsi rokok menjadi faktor pemicu paling tinggi untuk jenis penyakit katastropik ini;
“… faktanya, konsumsi tembakau telah menjadi instrumen efektif untuk mendegradasi kualitas summer daya manusia di Indonesia.”
Pada akhirnya, jika nanti KPU menetapkan Pak Joko Widodo sebagai presiden lima tahun mendatang, maka kita meminta dengan sangat agar Presiden Joko Widodo konsisten dalam upaya pengendalian tembakau. Apalagi agenda utama Jokowi, dalam lima tahun ke depan, adalah pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia). Jika memang pembangunan SDM menjadi fokus utama kebijakannya, maka sangat tidak mungkin jika tanpa pengendalian konsumsi tembakau. Sebab faktanya, konsumsi tembakau telah menjadi instrumen efektif untuk mendegradasi kualitas SDM di Indonesia.
”Dengan kata lain, pembangunan SDM di Indonesia, yang juga merupakan mandat Nawa Cita, nyaris tak akan terwujud jika tanpa upaya pengendalian tembakau yang serius dan komprehensif. Target tercapainya pembangunan berbasis SDG’s pun akan menjadi mimpi di siang bolong,” ujar Tulus Abadi.