Kamis, Desember 26, 2024

Ani Yudhoyono

Must read

Catatan Goenawan Mohamad

Saya terlambat mendengar berita wafatnya Ibu Ani Yudhoyono — dan tak tahu bagaimana sepatutnya menyampaikan rasa duka cita. Saya tak kenal pribadi istri Presiden ke-6 itu. Saya hanya pernah sekali selintas berpapasan dengan perempuan dengan sosok impresif itu. Saya tak bisa menduga sejauh mana kesedihan bangsa ini atas kepergian almarhumah, tapi saya kira saya bisa meyakini besarnya perannya dalam kehidupan SBY sebagai Kepala Negara.

Di sebuah demokrasi, di Indonesia setelah Suharto jatuh, menjadi Presiden bukan hanya kenikmatan, tapi juga kecemasan; bukan hanya privilese, tapi juga sasaran paling depan untuk kritik. Yang juga terjadi: tak jarang antara kritik dan sumpah serapah hanya ada beda beberapa senti. Saya ingat, dalam sebuah demo, beberapa aktivis menggambarkan Presiden SBY sebagai kerbau.

Bagi saya, itu keterlaluan. SBY diplih dua kali oleh rakyat untuk jadi pemimpin. Betapapun kritis sikap kita kepadanya, kita patut menjaga agar tetap menghargai pilihan orang banyak itu, seraya menghargai si orang yang dipilih orang banyak — tanpa menghapus kesalahan dan kekurangannya dalam bekerja.

Saya bayangkan betapa perasaan Ibu Ani mendengar kecaman membabi buta itu. Bahkan di masa pasca pemerintahannya, sering SBY diejek-ejek, dibandingkan dengan Presiden Jokowi, seraya melupakan bahwa betapapun besarnya prestasi presiden kita sekarang, sedikit banyak ada yang didahului oleh prestasi, (dan mendapatkan tauladan dan pelajaran), dari presiden-presiden sebelumnya.

Saya sangat mendukung Presiden Jokowi, tapi saya tak pernah melupakan sejarah sebelumnya — dan tak pernah mencemooh SBY sebagai sosok yang total gagal. Apalagi mencacinya.

Mungkin juga karena saya selalu ingat manusia tak pernah bisa membikin sejarah 100% seperti yang dicita-citakan, betapapun besar dan baik niatnya. Mungkin karena saya sadar ada yang diwariskan oleh generasi sebelumnya kepada generasi sekarang — dengan kata lain, ada kontinyuitas dalam problem dan solusi.

Juga saya sadar ada “collateral damage” yang terjadi akibat kata-kata ganas terhadap seseorang: ada orang yang tak ikut bersalah, tapi mencintainya, mendampinginya, dan ikut merasakan harapan dan rasa cemasnya, dan sebab itu merasakan sakit. Sebagaimana Ani Yudhoyono di sisi suaminya.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article