Mohamad Cholid *
Saat tanda untuk kendaraan menyala hijau, sinyal “Don’t Walk” bagi pejalan kaki yang akan menyeberang juga hidup. Lantas serentak para pejalan kaki lazimnya pada berhenti. Itu gambaran di penyeberangan jalan atau perempatan di negeri-negeri berbahasa Inggris.
Pada situasi itu, jika Anda di sana, Anda akan berbuat apa? Ya berhenti juga, demikian jawaban yang selalu terdengar dari para peserta workshop yang saya fasilitasi.
Bukankah sinyal tersebut hanya mengatakan “Don’t Walk”, kalau kita lari bagaimana? Boleh kan?
Melihat yang terpampang di depan kita dengan perspektif alternatif, sebagaimana cerita tentang sinyal Don’t Walk tersebut, merupakan salah satu pembelajaran Ronald Bruder untuk anak-anaknya — pada suatu hari saat mau menyeberang di sudut Manhattan, New York. Bruder ingin mengajarkan agar mereka lebih siap memilih langkah atau respon berbeda untuk menghadapi realitas apa pun.
Bruder tampil biasa, sebagaimana kalangan eksekutif atau pengusaha yang selalu rapih, lengkap dengan dasi. Namun, pola pikir dan caranya melakukan eksekusi dalam bisnis dan kehidupannya benar-benar luar biasa, extraordinary.
Tumbuh di Brooklyn, kawasan hunian golongan ekonomi kurang mampu (menurut ukuran Amerika), Bruder mulai kerja saat usia 17 tahun, menjual ensiklopedi. Di kemudian hari ia mengaku merasa sangat beruntung, dengan berhasil menyelesaikan master dalam Business Administration dari New York University dan post-master bidang akunting dan perpajakan dari Iona College.
Bruder sempat jadi Chief Financial Officer di sebuah konglomerasi pemasok daging, sayuran, dan makanan kaleng. Pejabat senior perusahaan tersebut ingin membeli usaha agen perjalanan kecil untuk keponakannya. Sebelum transaki dilakukan, Bruder diminta untuk mengecek profil keuangannya.
Begitu melihat peluang untuk menumbuhkannya, Bruder malah memilih ikut memimpin perusahaan tersebut. Berdasarkan hasil penelaahan atas industri sejenis, ia mengubah pola kerja dan proses bisnis umumnya biro perjalanan. Keunggulan teknologi dia manfaatkan, jadilah Greenwell satu-satunga agen travel yang fully computerized saat itu di pantai timur AS. Selain berhasil jadi agen perjalanan paling sukses di kawasan, dalam satu tahun model bisnis yang dikembangkan Bruder menjadi patokan para biro perjalanan.
Cerita tersebut contoh bagaimana Bruder melihat situasi dengan perspektif alternatif dan lebih baik. Itu dilakukannya lagi di bidang real estate. Mantan kliennya, Sam Rosengarten, adalah pebisnis di sektor “dunia hitam” – batubara, minyak dan gas. Industri yang menimbulkan brownfields, lahan terbengkalai terkontaminasi akibat kegiatan industri sebelumnya.
Umumnya kalangan real estate menjauhi brownfields, karena ongkos membersihkannya mahal. Tapi Bruder malah semangat untuk mengolahnya jadi lahan menguntungkan. Saat itu Bruder sudah merintis usaha real estate, didukung 18 staf, dan mulai tumbuh. Nama perusahaanya Brookhill, mengingatkan perjuangan kerasnya keluar dari Brooklyn – “it’s a long, uphill climb to get out of Brooklyn”, katanya, seperti diceritakan Simon Sinek (Start with Why).
Brookhill menggandeng Dames & Moore, salah satu perusahaan besar di bidang rekayasa lingkungan, dengan 18 ribu pegawai. Mereka tertarik cara pandang dan solusi Bruder, lalu membentuk kemitraan, untuk fokus pada pemulihannya. Brookhill berhasil memperoleh pembiayaan dari Credit Suisse First Boston untuk membeli, memulihkan, mengembangkannya kembali, dan menjualnya dengan nilai hampir US$ 200 juta.
Sukses Brookhill menjadikannya pionir di bidang pemulihan lahan terkontaminasi dan sebagai real estate selama 30 tahun terakhir memimpin pasar. Ron Bruder masuk dalam deretan pengusaha berpengaruh di AS.
Terjadilah peristiwa 11 September 2001. Bruder sempat cemas, stress, karena anak perempuannya yang tertua bekerja di dekat World Trade Center. Sebagaimana umumnya orang Amerika, Bruder juga mengarahkan perhatian ke Timur Tengah, kawasan yang dituduh sebagai sumber serangan.
Namun, berbeda dengan cara pandang umumnya orang lain – dan tentu sangat bertentangan dengan pemerintahan Bush yang memanfaatkan situasi untuk kongkalikong dengan para pemasok industri militer – Ron Bruder bersikap lebih beradab. Lebih karena demi keselamatan anak-anak perempuannya dan untuk mengamankan Amerika dari ancaman serangan semacam itu berikutnya, Bruder berupaya menemukan solusi jangka panjang.
Ia menyadari, problem utama berjangkitnya “terorisme” tidak ada hubungannya dengan cara pandang anak-anak muda di Timur Tengah melihat Amerika, tapi lebih terkait dengan bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri dan masa depan. Menurut perspektif Bruder, generasi muda di Yaman atau di Gaza tidak seperti di AS, yang setiap bangun pagi optimistis bisa meraih apa pun asal punya kemauan kuat dan kerja keras. Di Timur Tengah tidak ada institusi yang mampu menopang anak-anak muda merebut masa depan mereka.
Bruder — warga negara AS keturunan Yahudi yang belakangan sudah tinggal di kawasan mewah eksklusif di New York — keluar dari zona nyamannya sebagai pebisnis sukses di AS, memutuskan berangkat ke Timur Tengah dan Afrika Utara, yang selalu dirundung konflik dan penduduknya menjalani hidup dalam tekanan ketidakpastian. Ia menemukan fakta, puluhan ribu anak muda tidak punya pekerjaan, hidup sangat miskin – lahan empuk merekrut mereka ke terorisme.
“… kompetensi sebagaimana dimiliki Bruder — meliputi empowering people, thinking globally, dan appreciating diversity — masuk dalam kluster Boundary-Less Inclusion.”
Setelah melakukan perjalanan selama beberapa bulan di kota-kota Timur Tengah dan Afrika Utara, serta meminta bantuan Brooking Institute melakukan penelitian bagaimana memperbaiki keadaan, Bruder pada 2002 mendirikan Education For Employment (EFE). Modal awal dari kantongnya untuk EFE US$ 10 juta (Wikipedia).
Kepada CNN, Bruder mengatakan: “Saya sangat beruntung. Anak-anak yang saya temui di Timur Tengah memiliki kecerdasan dan semangat sama seperti saya, tapi mereka tidak punya peluang. Kita bisa melakukan perubahan radikal pada kehidupan mereka. Begitu mereka punya pekerjaan, merasa menjadi bagian dari masyarakat. Mereka juga bisa menopang delapan atau sembilan orang, termasuk saudara-saudara kandung.”
Langkah extraordinary ini sekarang sudah berkembang. Puluhan ribu alumni EFE sudah bekerja di pelbagai sektor. Para pemimpin dan pengelola EFE adalah anak muda setempat, didukung oleh lembaga nonprofit bidang pengembangan kapasitas di AS dan Spanyol.
Demi memperkuat jaringan, Bruder juga bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lokal untuk membantu pembiayaan dan bersedia menampung tenaga kerja hasil pelatihan EFE. Sekarang EFE ada di Jalur Gaza, Palestina, di Maroko, di Yordania, di Yaman, Mesir, dan Tunisia.
Bruder membuktikan, dunia bisa menjadi lebih baik untuk kita tempati karena hasil kerja sama dan hubungan antar manusia yang merdeka dari belenggu ras, suku bangsa, agama, batasan geografi, dan aliran politik.
Dalam pengembangan kepemimpinan untuk para eksekutif, sebagaimana kami praktikkan di Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching, kompetensi sebagaimana dimiliki Bruder — meliputi empowering people, thinking globally, dan appreciating diversity — masuk dalam kluster Boundary-Less Inclusion. Kompetensi ini wajib Anda miliki untuk merengkuh sukses di Abad 21.
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching, Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching, Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment, Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman