Jumat, Desember 6, 2024

Aktivis 98 dan tantangan intelektual atas kekuasaan

Must read

Opini Usman Hamid 

Jika aktivis 98 masuk pemerintahan, maka perjuangkanlah agar kabinet yang terbentuk adalah Kabinet Keadilan, Kabinet Kebenaran, Kabinet Kemanusiaan, atau Kabinet Reformasi.

Gerakan Mahasiswa 1998 adalah gerakan intelektual dan aktivis. Mengapa? Ini karena sejak lahirnya gerakan ini terdiri dari kelompok studi mahasiswa dan komite aksi di jalanan. Di kampus tempat saya belajar, terdapat Kelompok Studi Trisakti hingga Badan Kajian Strategis Senat Mahasiswa Universitas Trisakti. Dari kelompok seperti inilah situasi sosial politik saat itu didiskusikan, lalu dikembangkan ke dalam komite-komite aksi jalanan.

Di jalanan, mereka terorganisir ke dalam berbagai forum komunikasi seperti Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta, Forum Kota, dan Forum Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (Famred). Bersama komponen aktor reformasi keseluruhan, gerakan 1998 mendobrak sebuah tirani di mana ilmu pengetahuan beserta lembaga-lembaganya dikondisikan sedemikian rupa sebagai alat pembenaran kekuasaan negara selama 32 tahun, dari Aceh hingga ke Papua.

Gerakan 1998 mendobraknya sehingga bisa melahirkan perubahan mendasar dari sendi-sendi kekuasaan, mulai dari konstitusi yang membatasi periode kekuasaan, hingga perundang-undangan dan kelembagaan yang menghormati hak-hak asasi manusia.

Lalu, apakah sekarang ini saatnya mereka, baik sebagai intelektual maupun aktivis, menentukan arah perjuangan untuk masuk ke dalam kekuasaan?

Intelektual-aktivis atau aktivis-intelektual memang sulit dipisahkan dari kekuasaan. Sejarah menunjukkan bahwa intelektual dan aktivis kaum pergerakan memang terpanggil untuk masuk ke dalam kekuasaan: Soekarno, Sjahrir, dan Hatta di Indonesia, hingga Ho Chi Mien di Vietnam atau Castro dan Che Guevara di Amerika Latin. Mereka memasuki kekuasaan di tengah kuatnya kritik terkenal dari intelektual Perancis Julian Benda bahwa pilihan kekuasaan itu bisa menjadi sebuah penghianatan, saat itu Benda tengah mengkritik masuknya intelektual dalam kekuasaan rezim nazi di Jerman.

Betapa pun dilematisnya, kemerdekaan bangsa-bangsa dan negara-negara pasca kolonial yang terbentuk kemudian, mencerminkan bahwa idealisme intelektual tersebut berada dalam ketidakterpisahan dengan praksis kekuasaan. Meski kerap berakhir kontroversial, mereka dikenang sebagai intelektual yang masuk dan menggunakan kekuasaan untuk meraih kemerdekaan beserta cita-cita mulia-nya seperti kemanusiaan dan keadilan sosial.

Perkembangan politik di sebagian tempat lain dalam waktu lain juga memperlihatkan bahwa aktivis dan intelektual sulit dipisahkan dengan kekuasaan. Di Amerika Latin, kita menyaksikan gerakan the new politics pada 1970an, merebut negara, meski bukan dalam arti elektoral. Di Brazil, kita menyaksikan gerakan buruh membawa tokohnya, Lula, berkuasa selama dua periode, meski berakhir problematik.

Di Chile, kaum pergerakan menjadikan korban dan tahanan politik era Pinochet, Michele Bachelette terpilih menjadi presiden Chile dan kini menjadi tokoh terkemuka PBB, termasuk mengantarkan Camilla Vallejo dari aktivis mahasiswa menjadi seorang anggota kongres yang termuda dan terkemuka.

Di Indonesia, literatur-literatur politik juga telah menjelaskan secara gamblang bagaimana intelektual maupun aktivis berjibaku melawan kekuasaan atau masuk dalam kekuasaan. Seorang professor di Oslo, Olle Tornquist, mendokumentasikan bagaimana gerakan sosial pasca Orde Baru telah go politics, masuk ke dalam kekuasaan.

Indonesianis Marcus Mietzner pernah merekam bagaimana masuknya aktivis dan intelektual dalam kekuasaan Parlemen telah berhasil melahirkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebuah puncak gunung es persoalan perempuan yg selama ini hanya dianggap “urusan domestik.”

Pilihan ini seolah hendak menjawab kritik terdahulu dari seorang Profesor di Australia, Edward Aspinall, yang pernah meneliti gerakan oposisi melawan Suharto, bahwa sejak berakhirnya Orde Baru, gerakan sosial Indonesia belum melakukan apa yang disebutnya sebagai tindakan kolektif yang terorganisir.

Meski Aspinall tak sedang mendorong go politics sebagaimana Tornquist, kritiknya merupakan hal penting untuk direnungkan bagi aktivis yang ingin masuk dalam kekuasaan. Sebab belakangan, kritik ini kembali diingatkan oleh intelektual Indonesia yang kini bermukim di Australia, professor Vedi R. Hadiz, bahwa salah satu penyebab kemunduran demokrasi kita adalah lemahnya pengorganisasian gerakan sipil. Dengan demikian, pertanyaannya lalu apakah aktivis dan intelektual 1998 yang ada dalam gerakan sosial harus masuk ke dalam kekuasaan atau tetap memperkuat gerakan pengorganisasian akar rumput? Menjadi pengontrol atas jalannya pemerintahan?

Gambar oleh Brian Merrill dari Pixabay

Gelombang resesi demokrasi

Yang pasti, mereka harus benar-benar membangun tindakan kolektif. Terlebih karena saat ini dunia tengah menyaksikan gelombang resesi demokrasi. Sebuah resesi di mana retorika-retorika yang membelah telah memunculkan pemimpin-pemimpin yang anti-hak asasi kaum minoritas, antara lain Duterte di Filipina, Modi di India, Orban di Hungaria, hingga Trump di Amerika. Dari sini, sebagian aktivis 1998 membayangkan diri untuk melawan elite-elite populis sayap kanan tersebut. Mungkinkah dengan masuk dalam kekuasaan?

Refleksi paling mutakhir bahwa intelektual dan kekuasaan sulit untuk dipisahkan, telah disampaikan oleh Cornelis Lay. Ia meyakini bahwa keduanya sulit untuk dipisahkan. Ada yang masuk lalu frustasi dan ke luar. Ada lagi yang masuk lalu terlena dan larut dalam nikmatnya fasilitas kekuasaan. Ada pula yang menolak dan terus mencurigai kekuasaan. Keterlibatan intelektual dengan kekuasaan, masih menurutnya, harus dilihat sebagai hal biasa, sejauh ia diarahkan untuk mengabdi kepada cita-cita pembebasan dan pemuliaan kemanusiaan. Cornelis mengutip pernyataan Soekarno bahwa ‘teori adalah tiada guna, tiada wujud, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal’.

Saya setuju dengan Cornelis, bahwa ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada kemampuannya bersuara lantang mengkritik kekuasaan. Namun, katanya, justru di saat intelektual dapat bersahabat dan menjadi bagian dari kekuasaan sambil tetap menjaga rasionalitas dan karakter intelektual: berpikir bebas dan bertindak bijak bagi kemanusiaan. Cornelis menyebutnya sebagai jalan ketiga, tapi mungkinkah relasi keduanya sesederhana itu?

Di catatan singkat ini, pertanyaan dasarnya bukan lagi apakah intelektual-aktivis perlu atau tidak masuk dalam kekuasaan. Tetapi mengapa dan bagaimana mereka masuk dan ke luar kekuasaan? Apakah masuk dan ke luarnya itu dilakukan demi kemanusiaan, demi memperjuangkan keadilan untuk korban-korban tragedi kemanusiaan? Apakah keluar masuknya intelektual dalam kekuasaan itu dilakukan dengan cara-cara yang menghormati harkat dan martabat kemanusiaan?

“… Jika masuknya mereka dalam kekuasaan itu hanya untuk berkuasa, maka relasi keduanya bukan tidak mungkin untuk dipisahkan, tapi memang harus dipisahkan.”

Gerakan 1998 memang bisa disebut sebagai gerakan intelektual-aktivis dan aktivis-intelektual. Tetapi itu semua tidak ada arti sama sekali jika mereka tidak berani tegas memprotes ketidakadilan dan menyuarakan kebenaran, dengan segala risiko yang dapat dihadapinya. Kehilangan jabatan. Dan nyawa. Jika masuknya mereka dalam kekuasaan itu hanya untuk berkuasa, tidak untuk mengabdi pada kemanusiaan, maka relasi keduanya bukan tidak mungkin untuk dipisahkan, tapi memang harus dipisahkan.

Agar terjadi disensus (discourse) politik. Agar terjadi pengujian atas pandangan dan praksis politik yang berbeda. Agar disensus itu menghasilkan terang untuk menuju pengabdian pada kemanusiaan.

Pertemuan hari ini harus menjadi tanda bahwa kaum pergerakan 1998 ke luar dari sarangnya masing-masing untuk kembali mengingat philosophical ground dari gerakan 1998, yaitu menyuarakan kebenaran dan keadilan. Jika ada yang masuk dalam kekuasaan, maka ia harus memperjuangkan agar kebenaran dan keadilan menjadi suatu kenyataan. Jika masuk pemerintahan, maka perjuangkanlah agar Kabinet yang terbentuk adalah Kabinet Keadilan, Kabinet Kebenaran, Kabinet Kemanusiaan, atau Kabinet Reformasi.

Meski pun hal itu bisa jadi bahaya apabila dilihat semata pada kekuasaan pemerintah, dan apalagi jika semua ingin masuk dalam kekuasaan. Harus tetap ada yang bertahan di gerakan sosial, menemani korban, mengontrol jalannya pemerintahan, serta memproduktifkan segala disensus menuju pengabdian pada kemanusiaan. Sebab dengan begitulah kita akan diingatkan pada nilai-nilai yang diwariskan dari pertumpahan darah para pahlawan mahasiswa 1998.

  • Usman Hamid adalah Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia. Tulisan ini diolah dari paparan dalam diskusi halal bihalal aktivis 1998 di Hotel Sahid, Minggu, 16 Juni 2019, yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri kabinet.
  • Tulisan ini bersifat pendapat pribadi dan tak mencerminkan kebijakan editorial Anadolu Agency.

Sumber: Anadolu Agency

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article