Oleh Rudi S. Kamri
Kemaren sore saya sudah membuat draft tulisan yang pada intinya saya memberikan apresiasi atas jiwa sportivitas seorang Prabowo. Dengan mempertimbangkan bahwa hasil keputusan MK bersifat final & binding, saya membayangkan pasca Ketua MK mengetuk palu tanda ditolaknya gugatan BPN, dari istana Kertanegara Prabowo secara gentleman akan mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat atas kemenangan Jokowi-MA seperti layaknya etika kontestasi Pilpres dimanapun di dunia. Realitanya?
Ternyata harapan saya terlalu tinggi untuk seorang Prabowo. Dia confirm secara sah dan meyakinkan menunjukkan BUKAN seorang yang punya jiwa kenegarawanan dan sportivitas. Boro-boro dia mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat kepada Jokowi-MA. Dia malah menyampaikan pidato dengan narasi yang sangat ambigu. Di satu sisi menghormati keputusan MK tapi tetap akan berkonsultasi dengan penasehat hukumnya untuk mencari hukum lagi. Duh! Respek saya langsung anjlok ke titik nadir. Tulisan saya langsung saya sobek-sobek dan saya buang ke laut.
Sangat mengenaskan bahwa Capres sebuah negara besar seperti Indonesia mempunyai kualitas yang begitu cemen. Apakah tidak ada orang di sekitarnya yang memberi masukan bahwa jalur sengketa di MK itu adalah upaya konstitusional terakhir dan tidak ada celah seujung biji mata semut pun untuk melakukan upaya hukum lagi?
Prabowo telah kehilangan momentum emas untuk dicatat dalam sejarah sebagai seorang tokoh yang punya jiwa kenegarawanan dan sportifitas yang tinggi. Seandainya Prabowo kemarin malam secara rendah hati langsung mengakui kekalahan dan mengucapkan selamat kepada Jokowi-MA serta menghimbau kepada para pengikutnya untuk taat kepada konstitusi, dia akan mendapatkan apresiasi dari pihak manapun.
Tapi dengan narasi pidato yang ambigu seperti semalam, Prabowo hanya akan tercatat sebagai seorang yang “selalu kalah” dalam tiga kali kontestasi Pilpres yang diikutinya. Dan dari rekam jejak digital yang saya dapatkan, di ketiga kontestasi Pilpres 2009 (sebagai cawapres), 2014 dan 2019 dia selalu tidak pernah menunjukkan jiwa kesatria yang sportif secara spontan. Dia selalu “ngeyel” merasa menang dan kemudian membuat drama panjang ketidaklegowoan meskipun ujungnya dia tetap menyerah kalah.
Sikap yang ditunjukkan oleh Prabowo bukan pembelajaran yang baik bagi perkembangan demokrasi di negeri ini. Sifat “ego-chauvinistic” yang merasa paling benar, paling hebat, paling didukung rakyat membuat dia tidak pernah bisa menerima realita bahwa kenyataannya mayoritas rakyat Indonesia tidak pernah menghendaki Prabowo menjadi pemimpin di negeri ini. Kenyataan ini bisa dimaknai bahwa Tuhan pun tidak pernah merestui Prabowo mendapatkan amanah rakyat untuk menjadi pemimpin Indonesia.
Drama panjang Pilpres sudah berakhir. Apapun sikap Prabowo nanti tidak akan punya dampak sekecil apapun terhadap kemenangan secara konstitusional Jokowi dan KH Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wapres Indonesia tahun 2019 – 2024.
Dari drama yang melelahkan ini setidaknya ada hikmah kecil yang bisa diambil kita jadi punya kosa kata baru :
- Orang yang suka ngeyel tanpa didukung data disebut: “Bambang banget”
- Orang yang tidak sportif dan sok merasa menang disebut: “Prabowo banget”
Dan ini juga akan dicatat dalam sejarah merupakan penanda akhir kisah perjuangan yang selalu gagal dalam kehidupan seorang Prabowo. Karena hampir mustahil pada usia 73 tahun di 2024 nanti masih ada cukong atau bandar yang berani gambling mau investasi mendukung Prabowo untuk maju nyapres lagi. Jadi kesimpulannya Prabowo sudah habis.
Karena sudah habis, maka ini juga merupakan tulisan terakhir saya tentang Prabowo.
Pak Prabowo, you and me ….end!
Tutup tirainya….