Senin, Desember 9, 2024

Batu itu, Pak De!

Must read


Catatan Goenawan Mohamad

Sejak awal saya menduga, pengaduan Prabowo dkk akan tak dibenarkan Mahkamah Konstitusi. Pertama, tak banyak beda antara pengaduan di tahun 2014 dan yang sekarang —kecuali kerusuhannya. Dulu seorang kader PKS mengatakan akan membawa lima truk bukti; ternyata tak muncul sepotongpun. Kini juga sepotong pun tak meyakinkan.

Lagi pula, sejak mula saya yakin akan mutu para hakim MK. Teks keputusan mereka menunjukan tinggi kuaitas keilmuan dan kepakaran para hakim ini —juga integritas mereka. Argumen hukum mereka pantas dijadikan dokumen sejarah dan bahan pendidikan demokrasi.

Seperti pendukung dan pemilih Jokowi-Ma’ruf, saya bersyukur kita melalui proses ini dengan selamat —meskipun bukannya tanpa cacat: ternyata, sportivitas dalam bersaing dan bertanding belum jadi nilai bersama.

Banyak hal akan bisa diselamatkan —bukan hanya uang dan benda, tapi juga kejujuran— andaikata Prabowo segera mengakui hasil pilpres 2019: mengakui kekalahannya.

Kekalahan, bukan binasa. Kita bukan dalam pertarungan ala ”Games of Throne.” Kita juga bukan dalam perjuangan antara sorga dan neraka, antara Partai Tuhan dan Partai Setan, apapun yang dikatakan Amien Rais dan doa Neno Warisman. Kita hanya melalui sebuah persaingan demokratik, di mana kemenangan dan kekalahan relatif dan selamanya terbatas.

Sebab itu senang saya melihat, Pak Jokowi tampak menjalankan petuah orang arif (Ki Hajar Dewantara? Ki Ageng Suryomentaram?), untuk “menang tanpa ngasorake”, menang tanpa merendahkan pihak yang kalah.

Bangsa ini nyaris terbelah, dibakar fanatisme dan indoktrinasi agama, dengan fatwa yang partisan dan fitnah yang deras. Kita tak bisa terus menerus demikian, jika kita sadar bahwa masa depan anak cucu kita akan berantakan bila bangsa ini pecah, dengan saling benci. Egoisme tak pada tempatnya.

Karena, seperti ditulis Chairil Anwar dari puing-puing pertempuran untuk kemerdekaan di tahun 1947, “kerja belum selesai, belum apa-apa”.

Berat sekali tugas Pak Jokowi. Persoalan di Indonesia tidak main-main: semangat “takfiris”, yang dengan mudah mengkafirkan dan memerangi pihak lain, bersembunyi bahkan di sudut-sudut birokrasi dan perguruan tinggi. Kita bisa perkirakan apa akibatnya jika ini dibiarkan dan meledak: tanahair kita akan dirundung konflik, saling curiga, dan mungkin berakhir dengan pertumpahan darah dan penindasan.

Pada saat yang sama, ada problem lain: korupsi yang sudah menjalar selama lebih separuh abad —dan memuncak di masa Suharto— baru pucuknya saja yang dibabat. Tak kurang dari itu: ketimpangan sosial, antara si sangat kaya dan si miskin, antara yang memegang kuasa kata-kata dan yang dibisukan.

Ya, kerja sangat berat. Setelah hampir seabad merdeka, kita sadar kemerdekaan bukan “jembatan emas”. Kemerdekaan adalah jembatan yang mengandung onak dan duri. Sejarah tidak selamanya bisa kita atur hasilnya. Yang kemarin dan kini tercapai selalu bisa (dan memang) terlepas.

Manusia membuat sejarah, (kira-kira begitu kata Marx), tapi tidak sepenuhnya sesuai dengan kehendaknya. Bagi yang tidak suka Marx bisa menyimak Camus, yang memandang sejarah sebagai ikhtiar ala Sisyphus. Manusia ibarat tokoh dongeng Yunani ini, yang harus mendorong batu ke puncak gunung, tapi sesampai di puncak, batu itu menggelinding lagi ke bawah. Dan manusia harus mendorongnya ke atas lagi. Tak henti-henti.

Muram? Camus mengatakan, kita perlu menganggap Sisyphus bahagia: karena ia menerima semua itu dengan —dalam bahasa Islam— tawakal dan tangguh. Harapan tak bisa dipesan; harapan tak pernah dibisikkan dari udara. Harapan hanya bisa ada karena dibangun kerja, kerja, kerja.

Pak Jokowi seorang optimis. Ada cerita bahwa kata “wi” di ujung namanya diberikan seorang Prancis, kenalannya, karena pria kurus yang tak gampang menyerah ini tak pernah ragu bilang “oui”, atau “ya” kepada tiap tantangan.

Tapi optimisme, sebagaimana pesismisme, sebenarnya melihat masa depan dengan terlalu sederhana. Saya memiliih kerja, tanpa gentar, tapi juga tanpa ilusi.

Maka saya ingin bekerja bersama Presiden terpilih, agar Indonesia bergerak ke masa depan yang lebih baik, meskipun tak mungkin sempurna.

Saya selalu ingat: batu itu selalu ada di dekat Sisyphus.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article