Oleh Mohamad Cholid
“Giving yourself a purpose adds clarity to all actions and decisions that follow.” – Marshall Goldsmith.
Lelaki berusia 40-an tahun itu berjalan terhuyung lalu merebahkan diri ke tanah, kebetulan tidak jauh dari rumahnya. Sukirjo, lelaki itu, dadanya tertembus peluru dan darah sudah membasahi baju. Salah seorang anak lelakinya mencoba memapah Sukirjo agar bisa berjalan sampai rumah mereka. Tapi Sukirjo menolak, “Wis ora opo-opo, le. Iki kanggo negoro.” (“Sudah nak, tidak apa-apa. Ini demi negara.”). Lalu Sukirjo wafat di tepi jalan, tidak jauh dari Solo (Jawa Tengah).
Di masa perang kemerdekaan itu, Indonesia belum eksis dan diakui dunia. Tapi Sukirjo rela menebus gagasan tentang negara Indonesia dengan nyawanya. Orang-orang seperti Sukirjo (bukan nama sebenarnya) ada di banyak tempat, di bagian Jawa yang lain, atau di luar Jawa. Para pemuda, generasi setengah baya, sebagiannya bahkan sudah berusia lanjut, serentak mengerahkan segala daya menjemput Indonesia – sebuah bayangan tentang kemerdekaan, wilayah yang bebas dari kolonialisme – bahkan dengan nyawa mereka.
Bung Karno dan para founding fathers lainnya, di antaranya Panglima Soedirman, Bung Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, serta sejumlah tokoh lain dengan caranya sendiri-sendiri telah berhasil menanamkan ke hati rakyat di pelbagai wilayah kepulauan Nusantara tentang pentingnya berdaulat. Manjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tentu saja sebelum mereka ada sederet sosok penting lainnya, di antaranya yang bersepakat dalam Soempah Pemoeda.
Bisa dikatakan, gagasan tentang Indonesia “telah berhasil mereka jual” kepada para stakeholders. Para pemangku kepentingan, di antara mereka mungkin ada saudara kita, kakek teman, keluarga tetangga, telah menebus Indonesia yang masih berupa gagasan dengan sangat gigih — termasuk dengan nyawa mereka. Unreasonable? Irasional?
Soekarno, insinyur yang terbiasa berpikir terstruktur, dan Mohammad Hatta, sarjana ekonomi Erasmus University Rotterdam yang dikenal berpikir dan bertindak sangat tertib, ternyata bersedia rendah hati mengubah perilaku kepemimpinan masing-masing pada jam-jam menjelang proklamasi.
Keduanya menyesuaikan perspektif para pemuda (Soekarni, Wikana dkk) — yang “menculik” mereka ke Rengasdengklok, Karawang, lalu mendesak mereka — untuk memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia menurut irama bangsa sendiri; bukan menurut protokol Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), yang dibentuk dengan campur tangan Jepang.
Desakan para pemuda kepada Soekarno – Hatta dan sikap rendah hati kedua founding fathers untuk bersepakat dalam soal waktu proklamasi, dapat dianggap irasional. Karena bertentangan dengan tahapan yang sudah dimatangkan PPKI.
Tapi langkah mereka jadi bukti, pada situasi tertentu “tindakan irasional” ternyata diperlukan dan bisa mengubah sejarah: Indonesia merdeka karena upaya bangsanya, tidak diatur oleh Jepang.
Perilaku kepemimpinan irasional, bahkan rentan (vulnerable), dan berhasil melahirkan kegemilangan sejarah, juga dikerjakan J.F Kennedy. Pada 25 Mei 1961, di hadapan joint session Congress, JFK mengajak bangsa Amerika mendaratkan manusia di Bulan dan pulang dengan selamat, sebelum dasawarsa itu berakhir.
Saat itu posisi politik JFK tengah mengalami dilema, antara lain akibat kegagalan invasi di Teluk Babi, Kuba. Bahkan NASA pun belum punya program spesifik dan terukur untuk ke Bulan. Sejarah membuktikan, hasil penelitian dan pengembangan teknologi seiring dengan upaya-upaya mendaratkan awak Apollo di Bulan telah menghasilkan banyak manfaat dan ikut mendorong pertumbuhan ekonomi AS. Tercatat ada 6.300 penemuan baru yang kemudian melengkapi kehidupan masyarakat, seperti microchip dan detektor asap.
Menurut ukuran umum, Nelson Mandela juga dapat dianggap irasional. Ia tokoh pergerakan yang dipenjara oleh penguasa selama 27 tahun. Saat sudah dibebaskan dan memenangi pemilu multirasial, Mandela, selaku Presiden Afrika Selatan pertama berkulit hitam, tidak mengobarkan dendam kepada pemerintahan kulit putih yang memenjarakannya. Pemerintahan koalisi yang dipimpin Mandela melahirkan konstitusi baru, membentuk Komisi Rekonsialiasi dan Kebenaran.
“… Leadership adalah kompetensi membangun energi positif untuk mempengaruhi orang-orang melakukan transformasi demi meraih kehidupan yang lebih baik.”
Mandela berhasil memerdekakan diri dari kebencian. “Membenci itu ibarat minum racun sambil berharap itu dapat membunuh musuhmu,” katanya. Mentalitas sebagai korban tidak dapat menghapus kepedihan masa lalu. Mandela memilih membangun masa depan dan ia sukses memimpin negaranya, serta memberikan positive impact kepada dunia.
Leadership adalah kompetensi membangun energi positif agar orang-orang di sekitar kita mampu melakukan transformasi atau berhasil melewati berbagai ujian, fisik dan mental, demi meraih kehidupan yang lebih baik.
Untuk itu kadang diperlukan tindakan-tindakan yang bisa dianggap irasional. Namun karena memiliki life purpose yang gamblang, langkah tersebut dapat memberikan inspirasi dan motivasi membawa kita ke masa depan. Tujuan hidup bersama secara lebih mulia bisa merupakan sumber energi perubahan.
Itu bedanya dengan manajemen, yang semuanya berdasarkan pertimbangan rasional. Seperti perencanaan, budgeting, organizing, problem solving, melakukan hal-hal yang sudah diketahui dengan cara lebih baik, secara konstan memberikan hasil yang handal dan terukur.
Untuk mengelola bisnis hari ini, kata John P. Kotter, “Leadership is the central force mobilizing people to create something that did not previously exist.” John P. Kotter adalah the Konosuke Matsushita Professor of Leadership, Emeritus, Harvard Business School. Keberhasilan organisasi bisnis, nonprofit, dan pemerintahan meraih sukses di Abad 21 ini, ditentukan oleh kesanggupan para eksekutifnya mengelola keseimbangan fungsi manajemen dan leadership. Diperlukan upaya-upaya unreasonable.
Ketertiban berpikir dan tindakan-tindakan yang terstruktur memang diperlukan dalam setiap institusi. Namun kita juga dapat belajar dari kenyataan, tindakan irasional – seperti dilakukan Sukirjo di Solo dan sederet pejuang kemerdekaan lainnya — ternyata bisa membantu kita menyeberangi takdir. Untuk merengkuh sukses yang bahkan juga irasional atau tidak terbayangkan sebelumnya.
Tergantung pada kesungguhan Anda mengembangkan tiga kebajikan ini: courage (keluar dari ilusi kenyamanan), humility (sikap rendah hati), dan discipline (konsisten follow up selalu mengukur ulang diri sendiri).
Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.
- Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
- Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
- Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman