Bangsa Arab mengikuti sistem politik-pemerintahan Islam? Ini salah satu kesalahpahaman yang meluas, termasuk di Indonesia. Apa lagi bentuk kesalahpahaman lainnya mengenai bangsa Arab? Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.
Saya perhatikan ada banyak masyarakat di Indonesia, baik Muslim maupun non-Muslim, yang tidak paham, salah paham atau gagal paham terhadap “Bangsa Arab” yang konon merupakan kelompok “ethnolinguistik” terbesar kedua di dunia setelah Bangsa Tionghoa. Akibatnya, banyak sekali persepsi-persepsi atas “Bangsa Arab” yang tidak akurat sehingga pada gilirannya menimbulkan penilaian yang kurang valid dan sikap atau tindakan yang berlebihan terhadap mereka.
Kesalahpahaman pertama adalah menganggap bangsa Arab itu sebagai “bangsa Muslim”. Meskipun mayoritas Bangsa Arab adalah Muslim tetapi faktanya banyak sekali yang bukan Muslim, dalam pengertian tidak memeluk Islam sebagai “agama resmi” mereka. Arab Kristen adalah kelompok non-Muslim Arab yang paling dominan. Pada umumnya mereka mengikuti tradisi Gereja-Gereja Timur (Eastern Churches) seperti Gereja Ortodoks Yunani atau Gereja Katolik Yunani. Mekipun banyak juga dari mereka yang mengikuti gereja-gereja Protestan. Selain itu, Bangsa Arab juga ada yang menjadi pengikut Gereja Maronite (terbesar di Libanon), Gereja Koptik (berpusat di Mesir), dan Gereja Ortodoks Suriah (di Suriah).
Ada juga komunitas Arab yang mengikuti memeluk Judaisme (Yahudi), Druze dan Baha’i. Bahkan dalam perkembangan terakhir, banyak masyarakat Arab yang mengikuti ateisme dan agnotisisme (simak studi Ralph M Coury dalam buku Sceptics of Islam: Revisionist Religion, Agnoticism, and Disbelief in the Modern Arab World).
Bangsa Arab jauh dari kesan tunggal dan monolitik
Sebagai Muslim pun, Bangsa Arab jauh dari kesan tunggal dan monolitik. Selain Arab Sunni yang merupakan populasi dominan, Arab Syiah juga banyak sekali (di Irak, Saudi, Libanon, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dlsb.), kemudian disusul Arab Ibadi yang berpusat di Oman, negara tetangga Saudi. Karena sebagai sesama Bangsa Arab, baik Muslim maupun non-Muslim Arab telah berbagi bahasa, tradisi dan budaya yang sama, meskipun tentu saja ada banyak varian dan keunikan lokal di antara Bangsa Arab itu sendiri, baik karena faktor kesejarahan dan “geo-kultural” yang berlainan maupun akibat persinggungan dengan berbagai tradisi, budaya dan masyarakat non-Arab.
Kesalahan berikutnya memandang bangsa Arab itu sama dengan Arab Saudi. Dengan kata lain, Arab Saudi dijadikan sebagai baromater atau tolok ukur untuk menilai Bangsa Arab secara umum. Tentu saja persepsi ini sama sekali tidak akurat karena bangsa Arab bukan hanya di Saudi saja tetapi juga tersebar di berbagai negara. Menurut catatan Charter of the Arab League, ada sekitar 22 “Negara Arab” di Timur Tengah yang menggunakan Bahasa Arab sebagai “bahasa resmi/nasional”.
Selain Arab Saudi, negara-negara Arab lain adalah Aljazair, Bahrain, Comoros, Djibouti, Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Libanon, Libya, Mauritania, Maroko, Oman, Palestina, Qatar, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Yaman. Dari segi populasi, yang terbesar adalah Mesir kemudian disusul berturut-turut: Sudan, Aljazair, Maroko, dan Irak. Saudi dan Yaman memiliki jumlah penduduk yang kurang lebih sama. Penting juga untuk dicatat tentang “Arab Diaspora” yang tersebar di berbagai negara di dunia ini: dari Eropa dan Amerika Utara sampai Asia Tengah dan Asia Tenggara. Jadi, melihat dunia Arab dari “jendela Saudi” tentu saja tidak valid dan tidak pas.
Selanjutnya, memandang Arab sebagai bangsa monolitik atau homogen yang mempraktekkan tradisi dan budaya yang seragam sebuah kesalahan fatal. Sebagaimana suku-bangsa lain di dunia ini, Bangsa Arab juga bangsa heterogen dalam segala aspek kehidupan bahkan bukan hanya soal adat-istiadat, tradisi dan budaya mereka saja tetapi sampai pada masalah teologi-keagamaan, pandangan kepolitikan, sistem pemerintahan, sistem perekonomian, dlsb.
Semua laki-laki Arab itu bergamis
Oleh karena itu, menganggap semua laki-laki Arab itu bergamis atau berbusana jubah misalnya jelas keliru karena faktanya budaya pakaian casual ala Barat sudah berkembang luas di kawasan Arab. Jubah pun memiliki desain dan corak yang warna-warni. Pula, menganggap semua orang Arab itu berjenggot juga keliru besar karena faktanya banyak sekali yang kelimis. Begitu pula, keliru besar jika memandang perempuan Arab itu selalu mengenakan cadar (seperti niqab, burqa, khimar, dlsb). Karena faktanya, banyak sekali kaum perempuan Arab yang tidak bercadar. Di antara “negara-negara Arab”, hanya Saudi saja yang cukup ketat dalam hal tata butaan terrasuk pemakaian cadar karena negara-kerajaan ini dipengaruhi oleh Mazhab Hanbali yang terkenal tekstualis-konservatif. Meski begitu, di Saudi pun, khususnya di kota-kota besar, karena faktor perkembangan zaman yang begitu pesat, kita akan dengan mudah menjumpai kaum perempuan yang tidak mengenakan cadar.
Kesalahpahaman berikutnya memandang Bangsa Arab mengikuti sistem politik-pemerintahan Islam. Padahal, negara-negara Arab mengikuti sistem politik-pemerintahan yang beraneka ragam. Ada yang mengikuti sistem monarkhi seperti Saudi, Bahrain, Kuwait, Yordania, Maroko, Oman, dlsb. Sebagai negara-kerajaan pun mereka berlainan: ada yang mengikuti sistem kesultanan (seperti Oman), monarkhi konstitusional (seperti Kuwait), keamiran (Qatar), kerajaan federal (seperti Uni Emirat Arab), dan seterusnya. Selain itu, negara-negara Arab juga banyak yang mengikuti sistem Republik seperti Mesir, Yaman, Sudan, Libanon, Aljazair, Suriah, Irak, dlsb. Menariknya, negara-negara Arab menolak sistem politik-pemerintahan model khilafah yang oleh sebagaian umat Islam di Indonesia justru didengung-dengungkan.
Selanjutnya, ada pula yang mengaggap negara-negara Arab itu kaya-raya karena sumber minyak. Padahal banyak sekali yang miskin. Negara-negara Arab yang cukup makmur dan kaya itu hanya kawasan Arab Teluk saja seperti Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Oman. Selebihnya, negara-negara Arab itu (seperti saya sebutkan di atas) sangat miskin bahkan jauh lebih miskin dari Indonesia.
Sebuah “entitas etholinguistik”, bukan “entitas keagamaan”
Ada juga yang memandang Arab itu identik dengan suku Baduin yang memiliki pola hidup berpindah-pindah dari satu padang pasir ke padang pasir berikutnya (dalam antropologi disebut nomad atau pastoralis. Padahal, banyak masyarakat Arab kontemporer yang meninggalkan pola-hidup nomadik dan menetap di kota-kota.
Pula, banyak yang memandang Bangsa Arab itu bangsa kolot dan konservatif yang mengikuti gaya hidup yang kuno-ketat-normatif. Persepsi ini jelas keliru besar. Banyak masyarakat Arab yang bergaya hidup dan berpola pikir maju, modern, dan visioner.
Itulah beberapa pandangan yang keliru terhadap Bangsa Arab. Arab adalah sebuah “entitas etholinguistik”, bukan “entitas keagamaan”. Sebagai sebuah entitas entholinguistik, Bangsa Arab, sebagaimana bangsa-bangsa lain di jagat raya ini, juga sangat plural dan kompleks: dari aspek keagamaan dan kebudayaan sampai sistem perekonomian dan politik-pemerintahan. Tidak ada sangkut-pautnya antara “Arab” dan “Islam” misalnya. Sayang, masalah pluralitas dan kompleksitas Bangsa Arab ini kurang ditangkap dan dipahami dengan baik oleh masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, sehingga terjadi distorsi informasi dan aksi disana-sini.
Melihat keragaman dan kerumitan Bangsa Arab ini, maka dengan demikian jelaslah bahwa jika ada sekelompok umat Islam di Indonesia yang seolah-olah meniru gaya “orang Arab” dalam berpenampilan (dengan berjubah, berjenggot atau bercadar, misalnya), sebenarnya yang mereka tiru adalah “Arab imajiner” atau “Bangsa Arab” seperti dalam “alam imajinasi” sekelompok Islam itu, bukan Bangsa Arab di alam nyata. Semoga bermanfaat.
Sumanto Al Qurtuby – Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
Sumber: DW.com