Kolom Eddy Herwanto
Tidak ada kemeriahan menyolok menyambut peringatan Hari Keluarga Nasional XXVI 29 Juni 2019 di kantor BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), Jakarta. Pada hari itu, BKKBN hanya perlu memasang iklan warna setengah halaman di harian Kompas. Iklan dihias dengan foto sepasang sepatu ibu dan ayah serta sepasang sepatu dua anak. Pesannya jelas: “Dua Anak Cukup”.
Rupanya puncak peringatan Harganas baru diselenggarakan 6 Juli di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Sebelumnya pada 1 Juli, Menteri Kesehatan Nila Moeloek melantik dr Hasto Wardoyo SpOG (K) sebagai kepala BKKBN yang baru. Hasto adalah bupati Kulon Progo dua periode (2011-2021) yang dianggap berhasil memajukan ekonomi warganya, dan mendorong UKM di wilayahnya menghasilkan produk lokal (batik, misalnya) masuk panggung nasional. Di BKKBN itu Hasto kini ditugasi menurunkan TFR (total fertility rate) jadi 2,1, artinya dari setiap 1.000 ibu pada tahap reproduksi cukup melahirkan dua anak
Maklum, selama 10 tahun terakhir, berdasarkan Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, 2007, dan 2012, rasio TFR itu stagnan berada pada angka 2,6. Artinya dari setiap 1.000 ibu masih lahir sekurangnya tiga anak. Padahal target RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) rasio TFR berada pada angka 2,1 di tahun 2015. Kondisi ini mungkin disebabkan program Kependudukan dan Keluarga Berencana tidak menjadi prioritas pemerintah kabupaten/kota (Syahmida Syahbuddin Arsyad dan Septi Nurhayati, 2016)
Dugaan itu tampaknya tidak meleset mengingat kini muncul “perlawanan” dari pemerintah Provinsi Bali, misalnya. Gubernur Bali Wayan Koster yang mengeluarkan Instruksi Gubernur Bali No.1545 tentang Sosialisasi Program KB Krama (Orang) Bali. Inti dari instruksi itu adalah anjuran agar warga Bali kembali kepada pedoman keluarga leluhur Bali dengan mempunyai empat anak. Dengan empat anak, maka nama Nyoman (Komang) sebagai anak ketiga dan Ketut sebagai anak keempat akan lahir kembali dari rahimkaumibu Bali.
Sudah lama di kalangan masyarakat Bali, terutama, beredar joke mengenai sukses KB di Bali yang akan menyebabkan hilangnya Nyoman (Komang) dan Ketut dari keluarga Bali karena rata-rata keluarga Bali punya dua anak (anak pertama dinamai Putu atau Wayan, dan anak kedua dinamai Made). Sukses KB di Bali ini tercermin dari rasio TFR di Bali yang 2,1 (SDKI 2017) – di bawah rata-rata nasional 2,4. Dengan TFR 2,1 maka jumlah angka kelahiran sama dengan yang meninggal. Di Bali, mayoritas warganya menjadi peserta KB mandiri, artinya warga bersedia mengeluarkan uang untuk ikut KB.
Kini melalui Program KB Krama (Orang), Bali berusaha mengejar rasio TFR menjadi 3. Usaha menaikkan rasio itu tampaknya tidak akan sulit mengingat 30% warga Bali ada yang sudah memiliki tiga atau empat anak. SDKI 2017 di Bali juga menunjukkan keinginan sebagian warga untuk mempunya anak lebih dari dua orang. Yang perlu diperhatikan adalah memiliki anak dalam jumlah banyak juga akan meningkatkan risiko kesehatan bagi ibu.
Angka Kematian Ibu (AKI) saat persalinan di Bali cukup moderat.Tahun 2016 dari 100.000 ibu melahirkan hampir 79 meninggal dunia. Kasus AKI 2016 itu lebih baik dibandingkan dengan AKI tahun 2012 yang mencapai 96; namun masih lebih buruk dibandingkan AKI 2010 yang hanya 58 ibu. Angka kematian ibu tertinggi terjadi di Kabupaten Buleleng 14 orang (2016), dengan mayoritas (11 orang) berusia antara 20 – 35 tahun. Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) AKI merupakan tolok ukur kualitas pelayanan kesehatan suatu negara (Dr.Putu Doster Mahayasa SpOG, 2016).
“… bertambahnya penduduk juga akan menambah permintaan akan fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, kebutuhan perumahan, dan transportasi publik jika Bali (terutama Denpasar) tidak ingin bertambah macet.”
Program kembali ke empat anak Gubernur Wayan Koster bisa dianggap berhasil jika dengan kelahiran empat anak itu, rasio AKI juga bisa diturunkan – setidaknya mendekati kejadian tahun 2010. Jika terjadi sebaliknya: anak ketiga dan keempat hadir namun nyawa sang ibu melayang, maka Instruksi Gubernur Bali No. 1545 itu perlu ditinjau kembali. Kendati demikian AKI di Bali, masih lebih baik daripada AKI nasional yang mencapai 305 pada 2017. Indonesia sedikit lebih baik dari Laos dengan AKI 357 sebagai juaranya.
Yang perlu diingat bertambahnya penduduk juga akan menambah permintaan akan fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, kebutuhan perumahan, dan transportasi publik jika Bali (terutama Denpasar) tidak ingin bertambah macet. Hal ini pernah diingatkan Gubernur Made Mangku Pastika tahun lalu: Bali dengan 4,2 juta orang sudah cukup berat. Ia meminta agar program KB lebih menyasar pada penduduk miskin di perdesaan dengan anak lebih dua orang. Ia ingin SDM Bali kelak lebih berkualitas dengan keluarga kecil.
Dengan program keluarga kecil dua anak yang berkualitas itu, Gubernur Made Pastika bisa menurunkan angka kesenjangan pendapatan (Gini Ratio) di Bali dari 0,377 ke 0,365. Bulan September 2018, jumlah penduduk miskin di Bali tercatat 168.340 orang turun 3.420 dari periode sebelumnya; namun penduduk miskin di perkotaan justru bertambah.
Bali yang tidak memiliki sumber daya alam, mesin ekonominya memang bertumpu pada industri jasa pariwisata. Kemajuan industri pariwisatanya banyak tergantung pada kompetensi dan kualitas SDM warga Bali. Sisi inilah yang perlu mendapat perhatian pemprov Bali yang mengkampanyekan Krama Bali dengan empat anak. Tidak boleh terjadi program melahirkan Nyoman (Komang, anak ketiga), dan Ketut (anak keempat) berhasil, tapi angka kemiskinan justru melonjak.
Tugas berat kepala BKKN dr Hasto Wardoyo SpOG (K), di samping menekan rasio TFR dari 2,4 ke 2,1, juga menghitung dengan tepat komposisi penduduk Indonesia. Jangan sampai terjadi penduduk lanjut usia lebih banyak, kata Menkes Nilai Moeloek, sehingga menimbulkan persoalan (terutama pada pelayanan kesehatan dan produktivitas). Kabar baik ditunggu pada peringatan Hari Keluarga tahun depan. Selamat bertugas Pak Hasto.