Senin, November 18, 2024

Disrupsi di dapur kita

Must read

Kolom Eddy Herwanto

Tanya isteri atau Ibu Anda, apakah waktu menyiapkan masakan buat keluarga sekarang lebih mudah dan cepat? Di mana peralatan cobek dan anaknya (muntu), atau penggilingan untuk membuat bumbu sayuran sekarang disimpan? Apakah papan parut kelapa masih dipakai?

Mayoritas isteri atau Ibu pasti akan menjawab, memasak kini lebih cepat dan praktis. Lada, ketumbar, gula merah, cabe, bawang putih atau bawang merah tidak perlu digiling atau diulek (ditumbuk) lagi. Jika mau masak sayur lodeh, tumisan, sayur asem, rawon, gulai dengan pelbagai rasa, sop, atau cap cay, semua sudah tersedia dalam kemasan sachet – seperti halnya kopi susu plus coklat dan gula. Lada atau ketumbar halus juga disediakan di dalam sachet.

Harganya bervariasi antara Rp2.000 hingga Rp12.000 tergantung di mana kita membelinya: pasar, supermarket, atau warung sayur mayur tetangga. Semua bumbu itu sudah disediakan industri kecil rumah tangga sampai industri skala besar seperti Indofood, Miwon, Sasa yang juga sudah melihat celah itu. Dulu warung-warung kecil secara mandiri suka mengemas lada atau ketumbar dalam kemasan plastik rencengan yang berisi beberapa butir dengan HET (harga eceran tertinggi) di warung-warung tidak lebih dari Rp500.

“… Disrupsi di dapur, selain memakan korban yang tak ingin berubah, juga melahirkan orang kreatif.”

Sekarang lada dan ketumbar dalam kemasan plastik itu lenyap digusur lada dan ketumbar yang sudah halus dalam kemasan sachet. Tak perlu nguleg lada untuk bikin sop. Sachet berisi bumbu lada tinggal dirobek dan masukkan ke sayuran. Lada halus ini juga bisa dipakai menyantap telur ayam setengah matang untuk sarapan.

Disrupsi di dapur, selain memakan korban yang tak ingin berubah, juga melahirkan orang kreatif. Bayangkan bawang merah atau putih juga sudah tersedia dalam bentuk yang sudah dirajang, bahkan penjual bakso keliling lebih suka memakai bawang goreng kemasan yang dibeli di pasar. Kita tak perlu lagi mengupas dan mengiris bawang merah dengan air mata bercucuran seperti air mancur. Mesin pemotong bawangnya pasti buatan orang kampung.

Juga mesin perancah kelapa untuk menghasilkan santan. Memarut kelapa dengan risiko tangan kita robek-robek sudah lama ditinggalkan. Pergi ke pasar saja atau warung tetangga, tinggal pilih: mau santan hasil perasan kelapa, atau kelapa parut saja. Enaknya kita bisa beli sesuka kita. Tidak harus beli kelapa dengan batoknya lagi. Tak terasa kelapa parut orang pasar ini mendesak keberadan santan kelapa dalam kemasan dengan pengawet.

Kunyit, jinten, atau jahe? Semua tersedia dalam bentuk yang sudah digiling. Kita tidak perlu lagi menumbuk kunyit yang bisa membuat celemek kita loreng-loreng seperti kulit macan tutul. Tapi jika kita minta bumbu gulai, atau rendang, hasil racikan antara lapak yang satu dengan yang lain pasti berbeda. Minta bumbu gulai dari lapak Mang Endang pasti beda racikan dan rasanya dengan racikan Uda Sabri Chaniago. Pastikan menyebut bumbu gulai untuk daging (sapi atau kambing) atau ikan tenggiri atau kakap merah (nyam…nyam…).

Bila lupa memesan, Uda Sabri otomatis akan membuat racikan gulai daging seperti kebiasaan masakan warung Padang. Padahal di tas kresek kita sudah mengantongi kepala ikan kakap merah plus kelapa parut. Alaamaak… gulai kepala kakap diberi bumbu gulai daging kambing atau sapi rasanya nanti bisa rame di lidah orang rumah.

Dengan segala kemudahan itu, kita taruh di mana cobek dan muntunya? Sialnya, kepraktisan itu juga menular ke tukang sate ayam yang lebih senang menghaluskan kacang untuk membuat bumbu dengan blender. Rasanya lain dengan bumbu sate yang digiling dengan batu kemudian dimasak di dalam kuali tanah memakai kayu bakar. Bumbu kacang sedikit kasar, dan berminyak.

Cara tradisional membuat bumbu kacang dengan batu giling itu memang lebih lama, dan membuat tangan bisa kram atau semutan. Selain itu, tukang sate tetangga tidak lagi memberikan sambal tumbuk dengan irisan bawang merah. Membungkusnya pun dengan kertas coklat, bukan lagi dengan daun pisang klutuk. Lebih higenis memang, tapi menghilangkan kekhasan sate Madura, apalagi tusukannya sudah diganti dengan bambu hasil produksi mesin – bukan lagi lidi kelapa hasil kerajinan tangan. Duh…

Bukan tak mungkin sate ayam (tanpa tusukan) juga bakal dijual di dalam sachet. #Hik…

Orang pasar juga makin kreatif. Agar bisa mendapat nilai tambah besar, mereka mengemas pelbagai bahan sayur asem, sop, cap cay, atau lodeh dalam bungkusan plastik – bukan dalam sachet. Sayur kemasan dijual di banyak warung kampung di periferi Jakarta dengan HET Rp5.000/bungkus. Mau masak gudeg atau lodeh nangka warung juga menyediakan nangka atau rebung yang sudah dirajang. Nangka tidak lagi dijual glondongan.

Gambar oleh Tấn Hùng Lê dari Pixabay 

Dengan mengemas sayuran dalam plastik, angka reject sayuran bisa dikurangi. Soalnya sejumlah penjual yang nakal, suka menyertakan juga sayuran seperti daun sawi, pakcoy, atau daun bawang ke dalam kemasan. Beban reject akhirnya dipindahkan ke pundak pembeli.

Namun kemasan bumbu dalam sachet itu, seperti halnya kopi susu coklat atau jahe bahkan shampo dan sabun cair, justru menambah jumlah dan variasi limbah rumah tangga yang sulit diurai di alam bebas. Sejumlah pekerja seni kreatif memecahkan problem itu dengan merangkai sachet itu untuk membuat tas. Namun karena produksi bumbu atau minuman dalam sachet lebih besar, maka usaha mendaurulang kemasan itu kalah cepat.

Tidak terasa memang masakan dari dapur kita akan terasa seperti sayur lodeh atau asem versi Indofood, Sasa, atau Miwon. Rendang atau gulai rasa Kobe atau Finna. Ada penyeragaman rasa, hilang kebhinekaan rasa seperti masakan Ibu atau isteri atau si mbakyu sebagai asisten rumah tangga. Coba rasakan sayur lodeh atau opor ayam masakan isteri di tanggal muda sesaat setelah kita menerima gaji dengan masakannya di tanggal tua. 

Beda kan?

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article