- Fly ash dan bottom ash (faba) bisa dimanfaatkan lagi menjadi produksi industri, atau substitusi bahan baku.
- Indonesia mempunyai peluang memanfaatkan berbagai sumber energi, di luar fosil dan batubara, yakni energi baru dan terbarukan.
Industri manufaktur berperan penting dalam implementasi konsep circular economy atau ekonomi berkelanjutan. Selain akan menjadi tren dunia, konsep tersebut dinilai mempunyai kontribusi besar dalam penerapan pola produksi dan konsumsi berkelanjutan.
Sejalan dengan standar industri hijau yang mampu berperan meningkatkan daya saing sektor manufaktur di masa depan, sesuai implementasi program prioritas pada peta jalan Making Indonesia 4.0, Kepala Pusat Industri Hijau Kementerian Perindustrian Teddy Caster Sianturi dalam satu kesempatan mengemukakan, fly ash dan bottom ash (faba) sebagai limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batubara pada pembangkit tenaga listrik, sebenarnya masih dapat dimanfaatkan lagi menjadi substitusi bahan baku; sebagai substitusi sumber energi; ataupun bahan baku sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Dalam perkembangannya faba dapat diolah menjadi produk lain yang bermanfaat seperti genteng atau produk lain seperti paving block. Masalahnya, prosedur yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terlalu rigid, karena didasarkan kepada Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 tahun 2014 yang memasukkan faba sebagai limbah B3, dan dilakukan dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup,” jelas Teddy.
Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat limbah B3 adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan beracun yang karena sifat atau konsentrasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan atau merusak lingkungan hidup, dan dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Pemerintah sudah beberapa kali menggulirkan sejumlah paket penyederhanaan peraturan dalam bentuk paket kebijakan ekonomi, namun khusus untuk faba masih tetap dikategorikan sebagai limbah B3. Dengan dikategorikan sebagai limbah B3, prosedur yang harus dilalui dirasa sangat sulit oleh pengusaha yang bergerak dalam industri tersebut.
Berbagai dokumen yang harus dilengkapi oleh pengusaha agar dapat memanfaatkan faba, antara lain harus menyertakan salinan izin lingkungan; salinan persetujuan pelaksanaan uji coba pengolahan limbah B3; bukti penyerahan limbah B3 dari penghasil limbah B3 kepada pengolah limbah B3; identitas pemohon; akta pendirian badan hukum; dokumen pelaksanaan hasil uji coba pengolahan limbah B3; dokumen mengenai nama, sumber, karakteristik, dan jumlah limbah B3 yang akan diolah; dokumen mengenai tempat penyimpanan limbah B3 sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 18; dokumen mengenai pengemasan limbah B3 sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dokumen mengenai desain teknologi, metode, proses, dan fasilitas pengolahan limbah B3 sesuai dengan yang tercantum dalam persetujuan pelaksanaan uji coba pengolahan limbah B3; dokumen mengenai nama dan jumlah bahan baku dan/atau bahan penolong berupa limbah B3 untuk campuran pengolahan limbah B3; prosedur pengolahan limbah B3; bukti kepemilikan atas dana penanggulangan pencemaran lingkungan hidup atau kerusakan lingkungan hidup dan dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan hidup; dan dokumen lain sesuai peraturan perundang-undangan dan permohonan izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pemanfaatan.
Mengapa batubara dijadikan alternatif sumber energi? Menurut Teddy, terjadi transformasi kebutuhan energi dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya mengandalkan pada minyak dan gas bumi yang terbukti telah membebani APBN, beralih pada batubara yang cadangannya lebih besar, diperkirakan masih dapat dipergunakan sampai 50 tahun ke depan, dibanding cadangan migas yang hanya akan bertahan sekitar 20 – 30 tahun ke depan, dengan demikian pemanfaatan batubara adalah sebagai local wisdom.
Sejalan dengan hal tersebut, sejumlah industri seperti TPT, petrokimia, semen, dan pupuk, dan berbagai manufaktur lainnya juga mulai mengganti sumber energinya ke batubara. Termasuk juga PT PLN (Persero) banyak membangun PLTU yang energi primernya adalah batubara. Dengan tingginya penggunaan batubara, maka faba yang tidak termanfaatkan, akan menumpuk menjadi berbentuk gunung.
Sementara itu banyak pembangunan infrastruktur yang dapat memanfaatkan FABA sebagai bahan dasar atau campuran, untuk pembangunan jalan dan sebagainya.
“Itu sebabnya, apabila ada arahan, nantinya Kementerian Perindustrian akan berinisiatif mengajukan Peraturan Presiden yang dapat mengakomodasi kepentingan pihak industri. Diharapkan Menteri Koordinator Perekonomian ataupun Menteri Koordinator Maritim dapat mewadahi menteri-menteri terkait. Dengan demikian tujuan pengendalian polusi udara tetap terjaga, tetapi di sisi lain faba juga dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bermanfaat,” papar Teddy.
Mendorong Energi Baru dan Terbarukan
Munculnya berbagai pemberitaan yang menyebutkan posisi Indonesia, khususnya DKI Jakarta, yang tingkat polusinya cukup tinggi, menjadi peluang bagi industri memanfaatkan berbagai sumber energi, di luar fosil dan batubara, yakni energi baru dan terbarukan (EBT).
Sebab disinyalir salah satu penyebab buruknya kualitas udara di Jakarta, adalah berasal dari asap kendaraan bermotor, serta pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat di Jakarta dan sekitarnya.
Melalui perencanaan yang tertuang dalam peta jalan pemanfaatan batubara, seperti tercantum dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), perlu perencanaan penggunaan batubara dalam kurun waktu yang sudah pasti. Di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pada artikel M. Hamidi Rahmat yang disadur pada laman Sekretariat Kabinet, menunjukkan sampai saat ini Indonesia masih mengandalkan energi fosil dengan berkontribusi 95%.
Sementara itu EBT yang tidak akan habis, baru mampu berkontribusi sebesar 5% dalam bauran energi nasional. Namun demikian, dalam RUEN telah ditetapkan, Pemerintah akan terus meningkatkan pemanfaatan EBT. Jika pada tahun 2015, kontribusi EBT baru mencapai 5%, maka pada 2025 ditargetkan menjadi lebih dari 23%, dan naik lagi menjadi lebih dari 31% pada 2050.
Sedangkan kontribusi gas relatif stabil, berkisar sekitar 23%. Kontribusi batubara akan meningkat dari 25% pada 2015 menjadi lebih dari 30% pada 2025, tetapi setelah itu dikurangi sehingga menjadi sekitar 25% pada 2050. Khusus untuk minyak bumi telah ditargetkan untuk dikurangi peranannya setiap tahun. Jika pada 2015 kontribusinya mencapai 46%, maka angka tersebut akan turun menjadi kurang dari 25% pada 2025, dan terus menurun sehingga menjadi kurang dari 20% pada 2050.
Itu sebabnya pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional yang berasal dari energi panas bumi, sinar matahari, angin, air terjun, dan arus laut belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Kemenperin juga mendukung penggunaan energi bioenergy, dan juga mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang akan beroperasi di 12 daerah. Dasar hukumnya ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 3 tahun 2018.
PLTU dan PLTGU Muara Karang dan Priok Berada di Utara Jakarta
Executive Vice President (EVP) Corporate Communication PT PLN (Persero) I Made Suprateka menanggapi soal polusi tersebut, bahwa bukan PLTU yang menjadi salah satu pencemar buruknya kualitas udara di DKI Jakarta akhir-akhir ini, mengingat lokasi PLTU dan PLTGU Muara Karang dan juga PLTGU Priok terletak di bagian utara Jakarta. Demikian pula PLTU Batubara Lontar ada di Provinsi Banten.
“… Dari batubara yang dikonsumsi, maksimal hanya 20% yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Sementara dari 20% PLTU tersebut, hanya 2% yang berpotensi menghasilkan polusi.”
Perihal radius sebaran dampak emisi PLTU batubara SOX atau NOX terjauh adalah 30 km, dengan asumsi adanya emisi gas buangnya terdekat Batubara Lontar Banten, yang jaraknya 70 km dari pusat kota Jakarta.
Saat ini menurut Made, sejumlah PLTU yang pembangunannya dilakukan baik oleh PT PLN (Persero) ataupun oleh para perusahaan sebagai IPP (Independent Power Producer), kebanyakan sudah menggunakan teknologi berbasis Super Ultra Critical Represitator, di mana debu yang keluar ditangkap dan dapat diendapkan, sehingga dapat dicegah penyebarannya.
Dengan demikian tidak ada lagi sebaran debu, karena volumenya sangat minim (hanya 2%) dari produksi energi batubara dari operasional PLTU. Dari batubara yang dikonsumsi, maksimal hanya 20% yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Sementara dari 20% PLTU tersebut, hanya 2% yang berpotensi menghasilkan polusi.
“Saat ini sudah berkembang teknologi penangkap debu (Super Ultra Critical Represitator). Hal tersebut dapat disaksikan juga pada Shanghai Energy Power Plant, di mana pembangkit listrik di Shanghai tersebut, tingkat kebersihannya setara atau sama dengan rumah sakit. Ada pun suplai kebutuhan listrik di Indonesia kebanyakan berasal dari PLTU, mengingat belum dapat terpenuhinya kebutuhan energi di lokasi tersebut yang berasal dari EBT,” jelas Made.
Bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), indeks standar kualitas udara yang dipergunakan secara resmi di Indonesia saat ini adalah Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU), sesuai Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP 45/MENLH/1997 Tentang Indeks Standar Pencemar Udara.
Indeks standar pencemar udara adalah angka yang tidak mempunyai satuan, yang menggambarkan kondisi kualitas udara ambien di lokasi dan waktu tertentu, didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya. Indeks standar pencemar udara ditetapkan dengan cara mengubah kadar pencemar udara yang terukur menjadi suatu angka yang tidak berdimensi.
Data indeks standar pencemar udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantauan kualitas udara ambien otomatis. Sedangkan parameter indeks standar pencemar udara meliputi partikulat (PM10); karbondioksida (CO); sulfur dioksida (SO2); nitrogen dioksida (NO2); serta ozon (O3). Adapun perhitungan dan pelaporan serta informasi indeks standar pencemar udara ditetapkan oleh Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, yakni berdasar Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 107 Tahun 1997 Tanggal 21 November 1997.