Catatan Tagor Siagian
Tahun 1988. Saya baru selesai motret dan wawancara Mas Wendo untuk Majalah Berita Mingguan EDITOR (pecahan TEMPO), tentang fenomena Tabloid MONITOR. Sebelumnya saya sudah banyak baca tentang kiprah beliau di industri media dan banyak nanya ke teman-teman di Majalah HAI, Tabloid Musik CITRA serta MONITOR.
Setelah reporter setelah melakukan wawancara, keluar dari ruangan, saya nyusul di belakangnya. Mas Wendo manggil saya, “Tagor, sini bentar. Saya punya 12 majalah dan tabloid. Kamu mau masuk yg mana?” Kedengarannya sombong, tapi faktanya ketika itu Mas Wendo menjabat Kepala Divisi Majalah & Tabloid di Gramedia. Tanpa pikir panjang saya jawab, “JJ!”.
Mas Wendo dikenal bertangan dingin dl membaca dan mengembangkan bakat orang. Banyak wartawan dan fotografer handal hasil gemblengannya. Tanpa diuji, kita bisa langsung kerja. Tapi surga yang sudah di depan mata, seolah tertutup rapat saat hari pertama saya mau ngantor di JJ. Begitu mau masuk gedung kantor JJ di Palmerah, saya lihat Mas Wendo sedang digiring masuk truk polisi, akibat kasus angket tokoh favorit di MONITOR. Terpaksa saya ikut ujian IQ bareng calon karyawan Hotel Santika, cleaning service dan office boy Gramedia. Sedih mikirin Mas Wendo, campur kesal dan tersinggung karena harus tes IQ, bareng calon OB pula, ngga konsen saya jawab pertanyaan tertulis. Ketika disuruh menggambar, biar cepat kelar ujian, saya gambar pohon ganja. Mau keterima atau ngga, masa bodoh. Eh, ketrima juga tuh!
Sebagai fotografer, Majalah Berita Bergambar JAKARTA JAKARTA (JJ) media paling cocok untuk saya. Tetap meliput peristiwa, karena itu yang paling gue suka, tapi diberi kebebasan menterjemahkannya dalam foto. Siapa yang ngga mau fotonya di-blow up dua halaman dan bisa dimuat 12-15 foto untuk sebuah rubrik.
Dengan Remy Soetansyah (sekarang almarhum), saat menengok Mas Wendo yang ditahan di ruangan kantor Polda Metro Jaya, mau nangis rasanya. Beliau malah becanda, “Sudahlah Gor, saya anggap liburan aja. Jadi ada waktu untuk olahraga.” Ketika meliput persidangannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di Jl Gajah Mada, semua fotografer mengikutinya hingga ruangan tunggu. Sementara mereka diicegat petugas agar tidak masuk, saya menyelinap ke dalam dan motret Mas Wendo. Ternyata di dalam ada Dicky Iskandardinata, tersangka korupsi Bank Duta yang kasusnya sedang ramai juga. Jadilah saya memotret Mas Wendo bareng Dicky, eksklusif untuk JJ. Mas Wendo sempat panik lihat saya di dalam dan menyuruh keluar, takut saya dilabrak petugas. Tapi kemudian beliau tersenyum cengengesan dan angkat jempol melihat ngototnya saya kejar momen. Siapa dulu dong gurunya…
Karena suka ngobrol dan menulis, tidak jarang saya lakukan wawancara juga, bukan hanya motret. Hingga saya minta status berubah jadi reporter di JJ. Mas Wendo mengajarkan pentingnya wartawan bergaul, rendah hati dan luwes dengan siapa saja, karena sumber informasi ada di mana-mana. Bagaimana wawancara seperti ngobrol deng teman, tetap menghargai narasumber tapi tanpa terikat formalitas dan menjilat.
Saya sangat beruntung bisa bekerja di lingkungan yang sarat wartawan handal. Mereka menjadi guru dan sahabat yang memberikan pengalaman paling berharga dalam karier jurnalistik dan hidup saya. Minggu lalu saya kehilangan satu lagi guru dan sahabat, Rudy Badil, legenda olahraga petualangan dan kini Mas Wendo, mantan Pemred JJ, yang meninggal karena stroke, pada Jumat (19/7) pukul 17.50 WIB di usia 70.
Selamat jalan Mas Wendo, berbaringlah dengan tenang, nyaman dan damai. Hidup telah dijalani dengan mantap, deadline terakhir sudah tercapai. Terima kasih banyak untuk bimbingan dan contoh totalitas dalam bekerja. Akan selalu jadi inspirasi dan penyemangat hidup. Salam untuk ayahku Sabam Siagian, Rudy Badil, Julian Sihombing dan Norman Edwin.
Tagor Siagian, wartawan Majalah Jakarta Jakarta, 1988-1997