Catatan Jarot Doso
Dua tahun saya bergabung dengan Hizbut Tahrir (HT) Indonesia untuk penelitian partisipatif secara tersamar. Saya katakan tersamar, sebab hingga saya mundur, saya tidak mengaku sedang meneliti.
Saya ikut dibaiat, ikut liqo rutin, ikut kajian-kajiannya, dan disuruh ikut aksi demo. Tapi untuk demo HT, saya selalu menolak ikut dengan pelbagai alasan, karena hal itu akan membuka penyamaran saya di luar.
Kebetulan pada saat yang sama, saya juga bergabung dan melakukan penelitian partisipatif di KAMMI, yang secara aspiratif dekat dengan PKS atau Ikhwanul Muslimin (IM) dan acap terlibat persaingan sengit dengan HT di kampus-kampus. Biasanya haram bagi seorang ikhwan (aktivis) HT sekaligus juga seorang ikhwan IM.
Saya akhirnya terpaksa mengundurkan diri dari HT karena oleh HT saya ditugasi untuk mendakwahi ihwal sesatnya demokrasi kepada dosen pembimbing saya, Prof. Dr. Afan Gaffar, juga kepada Prof. Dr. Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah. Dua hal yang mustahil saya lakukan.
Saya juga ditugasi untuk menyampaikan ceramah dengan tema yang sama di Masjid Kampus UGM, yang tentu saja juga mustahil saya laksanakan karena di dunia nyata saya adalah aktivis pro demokrasi dan meyakini demokrasi sebagai solusi terbaik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Indonesia yang pluralistik.
Dan selama melakukan penelitian itu hingga hari ini, yang saya ketahui, bendera HT itu ya tak ada tulisan Hizbut Tahrir-nya. Yang ada dalam bendera HT adalah tulisan kalimat tauhid atau kalimat syahadat dalam bahasa Arab di atas secarik kain hitam atau putih. Jika kainnya hitam, tulisannya putih, sebaliknya jika kainnya putih tulisannya hitam, begitu saja. Seperti yang berusaha dikibarkan di Hari Santri di Garut dan kemudian dibakar oleh anggota Banser NU.
Itulah bendera HT yang juga mereka klaim sama persis dengan bendera Nabi Muhammad SAW. Klaim yang ditolak oleh banyak ulama karena dalil yang dirujuk HT konon hadis dhoif, atau sabda Nabi yang dari segi periwayatannya dianggap tidak valid (lemah).
Bendera HT hitam putih berkalimat tauhid itu pula yang gambarnya ada di dalam naskah tesis saya, “Ide dan Aksi Politik Hizbut Tahrir, Studi Ihwal Kebangkitan Gerakan Khilafah Islamiyah di Indonesia”. Bagi yang berminat dapat membaca tesis saya di Perpustakaan Pusat UGM Yogyakarta.
Saya kira peneliti HT yang lain pun, semisal Ketua PP Muhammadiyah Dr. Haedar Nashir, yang disertasinya tentang kebangkitan gerakan Islam syariah di Indonesia juga meneliti tentang HT, jika mau jujur juga akan mengakui bahwa bendera yang dibakar di Garut adalah bendera HT.
Saya tidak tahu apa motif Plt Ketum MUI, Prof. Dr. Yunahar Ilyas, yang menyatakan bahwa yang dibakar di Garut adalah bendera tauhid dan bukan bendera HT. Yang jelas, yang saya ketahui, Prof. Yunahar Ilyas meski kini secara resmi menjabat salah satu petinggi PP Muhammadiyah, akan tetapi beliau juga salah satu tokoh penting di Jamaah Tarbiyah yang tak lain adalah jamaah Ikhwanul Muslimin/PKS.
Antara HT dan PKS memang memiliki irisan historis dan ideologis. Hizbut Tahrir merupakan pecahan sayap ekstrem IM yang menolak demokrasi, meski menurut versi HT, mereka bukan pecahan, tapi pendiri IM Hasan al-Banna bersahabat dengan pendiri HT, Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani. Karena tak setuju dengan langkah IM yang menempuh langkah kompromis itu, Taqiyyuddin an-Nabhani mendirikan HT di Al Quds (Yerusalem), yang saat itu masuk wilayah Yordania, pada 1953.
IM, juga PKS, masih tetap menjadikan khilafah sebagai cita-cita utamanya. Namun mereka berusaha memperjuangkannya melalui demokrasi dan menyesuaikan diri dengan situasi politik setempat.
“… sebenarnya tak terlalu mengagetkan jika muncul pendapat Prof. Yunahar Ilyas yang menguntungkan HT dan memojokkan Banser. konteksnya bukan rivalitas antara Muhammadiyah dan NU, tapi lebih IM versus NU.”
Boleh jadi dalam situasi tertentu, antara jaringan IM dan HT yang sama-sama fenomena Islam kota dan Islam transnasional dan acap bersaing di kampus-kampus ini, akan akur atau saling membantu dalam isu tertentu. Saat IM melalui PKS menjadi bagian dari pemerintahan SBY, HT bersikap selalu kritis dan karena itu sulit akur. Namun ketika PKS tergusur menjadi kelompok oposisi, antara HT dan PKS lebih bisa akur, barangkali karena rasa senasib dan memiliki common enemy yang sama: aliansi nasionalis sekuler (PDIP, Nasdem, Golkar, Hanura) dan Islam tradisional (NU, PKB, PPP).
Dalam konteks ini bisa dipahami jika PKS salah satu yang menolak pembubaran HT dan mendukung HT melakukan gugatan hukum. Dilanjut HT yang lazimnya mengharamkan pemilu, mau melibatkan diri dalam agenda Pilkada Jakarta dan ikut memobilisasi dukungan untuk memenangkan calon yang diusung PKS, yaitu Anies – Sandi. Kemudian yang fenomenal adalah kolaborasi Mardani Ali Sera (PKS) dan Ismail Yusanto (Jubir HT) dalam gerakan #2019GantiPresiden. Maka, bagi yang paham peta gerakan Islam, sebenarnya tak terlalu mengagetkan jika muncul pendapat Prof. Yunahar Ilyas yang menguntungkan HT dan memojokkan Banser. Itu konteksnya bukan rivalitas antara Muhammadiyah dan NU, tapi lebih IM versus NU.
Muhammadiyah sendiri melalui statemen Ketum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir cenderung adem, dengan mempercayakan penyelesaian kepada aparat penegak hukum. Muhammadiyah bahkan melarang warganya ikut serta dalam aksi Bela Bendera Tauhid karena rawan dimanipulasi untuk memecah belah bangsa.