Kamis, Oktober 10, 2024

Adu manuver, rebut menteri

Must read

Oleh Bahrul Ilmi Yakup  

Pengisian jabatan menteri merupakan kelanjutan, keniscayaan, sekaligus dampak pilpres 2019. Terkait dengan itu, partai politik pengusung, ormas atau para relawan pendukung Presiden dan Wapres terpilih sedang adu manuver untuk merebut jabatan menteri, baik secara terselubung atau terbuka.

Sepertinya, secara vulgar dan tanpa sungkan, parpol pendukung atau pengusung presiden terusmendesak kehendaknya untuk mendapat jatah jabatan menteri, baik kisaran 13, 11, 10, 9 atau jumlah lainnya.

Jauh dalam kegelapan di balik layar, sejatinya adu manuver bukan hanya untuk merebut jabatan menteri atau setingkat menteri, tapi juga merambah posisi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak perusahaannya.

Ironisnya, kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada sidang paripurna masa sidang sekarang nyaris kosong melompong.

Jumlah anggota DPR yang hadir kurang dari 100 orang, dari 560 anggota DPR. Artinya, prosentase kehadiran rapat anggota DPR kurang dari 20%. Kondisi demikian sungguh memalukan sekaligus memiriskan.

Sebab pada pemilu 2019 yang baru usai, konon para calon anggota DPR rela mengeluarkan biaya politik kisaran 3-5 miliar rupiah demi terpilih dan memperoleh kursi DPR.

Fenomena di atas menyajikan realitas dan horizon akan perilaku para politisi kontemporer yang dirundung dua karakter utama. Pertama, politisi hanya sibuk mengejar kekuasaan untuk kepentingan dan keuntungan dirinya sendiri, kalaulah lebih luas sedikit, hanya sibuk merebut dan mempertahankankepentingan keluarga atau kroninya. Kedua, politik kontemporer sangat jauh dari karakter nasionalisme dan patriotisme.

Perilaku politisi kontemporer tidak lebih dari sekadar tindakan transaksional, berdagang dalam topeng politik. Dalam realitas demikian, akan sangat sulit menemukan politisi yang memiliki jiwa nasionalisme apalagi patriotisme.

Oleh karena itu, semboyan nasionalisme dan patriotisme hanyalah sebatas jargon kampanye. Rakyat tidak layak berharap politisi kontemporer akan sunguh-sungguh membela kepentingan negara dan rakyat. Dengan demikian, rakyat jangan kaget kalau kepentingan negara dan rakyat akan makin tergadai dan terbengkalai.

Ilustrasi: Elijah O’Donnell (Unsplash)

Pergeseran Wewenang Prerogatif Presiden

Sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945, menteri adalah pembantu presiden, oleh karena itu menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Dalam rumusan yang agak berbeda, Pasal 3 Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengatur, menteri selaku pimpinan kementerian berada di bawah dan bertanggungjawab kepada presiden.

Secara normatif, tidak ada rumusan aturan hukum yang menyebut pengangkatan dan/atau pemberhentian menteri sebagai hak prerogatif presiden.

Pembentukan dan pemaknaan terma “hak prerogatif presiden”, lebih merupakan elaborasi terhadap kekuasaan presiden sebagai pengambil keputusan akhir (final decision maker) untuk mengangkat dan/atau memberhentikan menteri.

Dalam perspektif kelembagaan, mengangkat atau memberhentikan menteri bukanlah “hak” melainkan wewenang atau kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan. Oleh karena itu, terminologi yang (lebih) tepat sebetulnya bukan “hak prerogatif” melainkan “wewenang prerogatif presiden”.

Sebab, dalam hal ini, presiden bukan sebagai pribadi, melainkan presiden sebagai lembaga negara yang memimpin pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, maka wewenang prerogatif presiden untuk mengangkat dan/atau memberhentikan menteri ternyata tidaklah statis, melainkan mengalami pergeseran, bahkan perubahan.

Pada tahun 1945, ketika pembentukan kabinet pertama, wewenang prerogatif tersebut bermakna pemilihan personal, pengangkatan atau pemberhentian menteri memang sepenuhnya dipegang oleh presiden. Oleh karena itu, presiden memiliki otonomi penuh untuk menentukan personalia menteri yang akan diangkat atau diberhentikan.

Wewenang prerogatif presiden untuk mengangkat dan/atau memberhentikan menteri mengalami dilatasi, ketika sistem pemerintahan berubah dari presidensial menjadi parlementer selama periode November 1945 sampai dengan 5 Juli 1959.

Wewenang prerogatif tersebut kembali kepada makna semula, ketika periode demokrasi terpimpin 1959-1967, dan selama era pemerintahan presiden Soeharto 1967-1998. Pada era reformasi 1998 sampai sekarang, wewenang prerogatif presiden untuk mengangkat atau memberhentikan menteri sebetulnya mengalami deklanasi.

Sebab, kadar otonomasi presiden untuk memilih, mengangkat atau memberhentikan menteri sesungguhnya telah berkurang secara substansial. Sejak era reformasi 1998 sampai sekarang, Presiden telah melibatkan saran pendapat atau aspirasi wakil presiden, bahkang sekarang lebih melebar lagi, presiden juga mengakomodir aspirasi partai politik dan relawan dalam memilih, mengangkat, atau memberhentikan menteri.

“… setiap kali muncul isu pengangkatan atau pemberhentian menteri, parpol dan ormas pendukung akan sibuk adu manuver untuk meraih atau mempertahankan jabatan menteri, baik secara terbuka maupun terselubung.”

Pola Rekrutmen Menteri

Sejalan dengan pergeseran deklanatifsubstansi wewenang prerogatif presiden untuk memilih, mengangkat atau memberhentikan menteri, pola rekrutmen menteripun mengalami pergeseran.

Sejak era reformasi, wakil presiden, parpol atau ormas pendukung pencalonan presiden semakin leluasa bermanuverdan adu manuver untuk merebut atau mempertahankan jabatan menteri.

Konsekuensinya, setiap kali muncul isu pengangkatan atau pemberhentian menteri, parpol dan ormas pendukung akan sibuk adu manuver untuk meraih atau mempertahankan jabatan menteri, baik secara terbuka maupun terselubung. Sebagaimana pakem umumnya, presiden merekrut menteri berasal dari 2 sumber, yaitu; (1) dari parpol atau ormas pendukung berbasis loyalitas dan sharing power, (2) dari kalangan profesional berbasis meritokrasi dan kompetensi.

Pada era Kabinet Kerja Satu, Presiden Jokowi berupaya menyeimbangkan porsi manteri dari parpol dengan dari kalangan profesional. Porsi tersebut dapat bertahan atau berubah pada era Kabinet Kerja Dua, tergantung dari pertimbangkan politik obyektif presiden.

Fenomena Menteri Kader Parpol

Sejak era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai era pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi), muncul fenomena menarik sekaligus menantang yang disajikan personalia menteri kader parpol. Pada era SBY ada 5 menteri yang tersangkut perkara korupsi, ternyata semuanya berasal dari kader parpol atau setidaknya terafiliasi dengan parpol. Sedangkan pada era Kabinet Kerja I Presiden Jokowi, ada 4 menteri yang tersangkut pusaran perkara korupsi, naasnya semuanya merupakan kader parpol.

Lebih ironis lagi ternyata menteri yang tersangkut pusaran korupsi tersebut ada yang menjabat sebagai ketua parpol. Sebaliknya, tidak ada menteri yang berasal dari kalangan profesional yang tersangkut pusaran korupsi baik pada era SBY maupun era Kabinet Kerja Satu Presiden Jokowi.

Fenomena demikian tentunya akan menambah komprehensifitas masukan kepada Presiden Jokowi dalam memilih menteri untuk Kabinet Kerja II, yang secara prediktif beban kerjanya akan lebih rumit, kompleks, dan berat…

Bahrul Ilmi Yakup – Dosen Magister Hukum Universitas Jayabaya, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi.

Artikel ini telah tayang di sripoku.com dengan judul “Adu Manuver Rebut Menteri”

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article