Oleh Abdul Manan
Apakah pers Indonesia bisa dikategorikan tidak bebas, bebas, atau justru sudah melewati batas? Ini adalah pertanyaan yang kerap muncul kalau bicara soal pers Indonesia pasca-reformasi 1999. Jawaban atas pertanyaan itu biasanya sangat tergantung kepada siapa yang memberi jawaban. Para praktisi, pengamat, dan konsumen media punya pandangan –kalau bukan indikator—berbeda dalam menilai situasi kebebasan pers kita.
Sebuah penelitian yang dilakukan Dewan Pers pada 2008menyatakan, sebanyak 25,9 persen responden menyatakan pers kita kebablasan. Dengan kata lain, pers kita dianggap bertindak melebihi dari batas kebebasan. Jumlah responden yang punya pendapat seperti itu cukup besar, meski mayoritas responden (63%) menjawab “tidak setuju” dengan penyataan bahwa pers kita sudah kebablasan.
Definisi “kebebasan pers” itu krusial untuk didiskuikan karena usia dari “kebebasan pers” Indonesia sudah 20 tahun. Usia ini mengacu pada lahirnya Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, regulasi yang selama ini menjadi sebagai payung hukum kebebasan pers. Salah satu semangat penting dari undang- udang itu adalah mengoreksi pendahulunya, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982, karena “dinilai sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.”
Ada sejumlah hal yang dianggap tak sesuai perkembangan zaman dari undang-undang tahun 1982 itu, yaitu campur tangan besar pemerintah ke dalam pers melalui lisensi (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), pembentukan Dewan Pers,, serta soal perumusan tentang hak dan fungsi pers. Dalam Undang Undang tahun 1982 itu ditegaskan bahwa hak pers adalah menjalankan fungsi “kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif.”
Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 mengoreksi banyak hal dari pendahulunya itu. Campur tangan pemerintah di bidang pers kurangi –kalau bukan dicabut. Antara lain, tak ada lagi lisensi seperti SIUPP untuk media cetak, adanya Dewan Pers yang independen (tak ada lagi wakil pemerintah di dalamnya). Media juga memiliki fungsi kontrol sosial (tak ada lagi kata “konstruktif”), selain fungsi hiburan, pendidikan dan memberikan informasi.
Untuk bisa menjalankan fungsi sesuai amanat Undang Undang Pers itulah perlu iklim kebebasan atau kemerdekaan pers. Undang-undang memmberikan sejumlah indikator untuk menilai apakah situasinya kondusif bagi terjaganya kemerdekaan pers itu, yaitu melalui (1) tidak adanya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, (2) keleluasaan bagi pers dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Dengan konstruksi itu, jenis tindakan yang bisa dianggap mengancam kemerdekaan atau kebebasan pers adalah semua praktik-praktik penyensoran dan semacamnya, serta semua tindakan yang membuat terhalangnya wartawan dalam menjalankan hak dan fungsinya: mencari informasi, memperoleh dan menyebarluaskan informasi.
Undang Undang Pers memuat soal fungsi pers itu dalam Pasal 6. Rinciannya masing-masing: a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Konstruksi itulah yang mesti dipakai untuk menilai kadar kemerdekaan pers sebuah negara. Sejumlah lembaga pemeringkat kebebasan, seperti Reporter Without Border (RSF), misalnya, membuat tiga kategori indikator untuk menilai kebebasan pers sebuah negara: iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Indikator yang sama, meski dengan penjabaran dan detail yang berbeda, juga dipakai Dewan Pers dalam membuat Indeks Kemerdekaan Pers (IKP).
Beberapa indikator yang dipakai untuk menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara itu antara lain meliputi tiga hal pokok: iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Ini merupakan tiga pendekatan yang dipakai Reporters Without Borders, organisasi pemantau media yang berkantor pusat di Paris, Prancis. Indikator ini pula yang menjadi rujukan bagi Dewan Pers dalam menyusun Indeks Kemerdekaan Pers (IKP).
Dalam “lingkungan hukum”, beberapa indikatornya adalah ini: Apakah ada perlindungan kebebasan pers di Konstitusi? Adakah hukum pidana yang membatasi jurnalis dalam bertugas? Adakah hukuman pencemaran nama baik untuk pejabat atau negara? Apakah pengadilannya independen dan tidak memihak? Apakah ada undang-undang keterbukaan informasi? Apakah badan pengatur media independen dan mandiri? Adakah kebebasan untuk menjadi jurnalis dan mempraktikkan jurnalisme?
Untuk “Lingkungan Politik”, indikator yang diukur antara lain: Apakah isi berita ditentukan oleh pemerintah atau kepentingan partisan tertentu? Apakah akses ke sumber resmi atau tidak resmi dikendalikan? Apakah ada sensor resmi atau tidak resmi? Apakah ada swa-sensor? Apakah jurnalis lokal dan asing dapat meliput berita secara bebas? Apakah wartawan atau outlet media dikenai intimidasi ekstralegal atau kekerasan fisik oleh otoritas negara atau aktor lain?
Dalam “Lingkungan Ekonomi”, indikatornya antara lain: Apakah media dimiliki atau dikendalikan pemerintah? Apakah kepemilikan media transparan? Apakah kepemilikan media sangat terkonsentrasi, dan mempengaruhi keanekaragaman konten? Apakah ada pembatasan dalam produksi dan distribusi karya jurnalistik? Apakah ada biaya tinggi yang terkait dengan pendirian dan pengoperasian outlet media? Apakah ada upaya mengendalikan media melalui alokasi iklan atau subsidi? Apakah jurnalis menerima pembayaran dari sumber swasta atau publik yang desainnya akan memengaruhi konten jurnalistik mereka?
Dengan sejumlah indikator itu, kita bisa melakukan penilaian sendiri atas kondisi pers Indonesia dengan kacamata yang jauh lebih obyektif. Tentu saja sebagian besar indikator itu tak terlihat secara terang benderang oleh mata publik. Ada sebagian dari praktik itu hanya bisa diketahui oleh orang dalam media, tapi tak sedikit yang bisa diketahui melalui karya jurnalistiknya. Dengan sejumlah indikator itulah sebuah negara diperingkatkan indeksnya, termasuk Indonesia.
RSF soal Indeks Kemerdekaan Pers Indonesia 2008-2018
Dalam pemeringkatan RSF, indeks kemerdekaan pers Indonesia tak cukup menggembirakan. Dalam satu dekade ini, peringkat terbaik kita adalah pada 2009 saat berada di peringkat 101. Setelah itu peringkat Indonesia tidak pernah di bawah 110, alias berada di peringkat negara yang kondisi kebebasan persnya tidak cukup baik secara internasional.
Namun di Asia Tenggara, peringkat Indonesia memang masih lebih baik dari lainnya. Indonesia biasanya hanya kalah dari Timor Leste dalam indeks. Namun di tahun 2019 ini, peringkat Indonesia tidak hanya berada di belakang eks provinsi ke-27 Indonesia itu, tapi juga dari Malaysia. Peringkat kemerdekaan pers negeri jiran itu membaik setelah terjadi pergantian pemerintahan dari Barisan Nasional ke Pakatan Harapan pasca Pemilu Mei 2018 lalu.
Secara reflektif kita bisa melihat apa penyebab peringkat Indonesia tidak membaik. Konstitusi kita memberi perlindungan tidak cukup kuat soal kebebasan pers. Perlindungan itu ada di Undang Undang Pers, yang itu pun masih mendapatkan banyak catatan. Terutama karena masih sangat umum pengaturannya, termasuk soal perlindungan hukum terhadap wartawan. Di sisi yang lain, kita juga masih memiliki sejumlah undang-undang yang bisa mempidanakan wartawan, seperti Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Undang Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dalam aspek “Lingkungan Politik”, ada sejumlah indikator yang juga krusial dalam kasus Indonesia. Salah satunya adalah soal “intimidasi ekstralegal atau kekerasan fisik oleh otoritas negara atau aktor lain.” Dalam monitoring yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), kasus kekerasan terhadap jurnalismasih tergolong tinggi di Indonesia dan patut dinilai ikut memberi kontribusi ancaman signifikan bagi iklim kebebasan pers.
Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis 2008-2017
Dalam aspek “Lingkungan Ekonomi”, indikatornya cukup banyak. Salah satu yang cukup menonjol dan menarik perhatian di Indonesia adalah soal konsentrasi kepemilikan media yang tergolong tinggi. Seperti dalam konsensus umum soal media, konsentrasi besar kepemilikan media kepada hanya segelintir orang saja itu berbahaya bagi keberagaman konten. Selain soal kepemilikan, juga pemberian uang, atau tradisi amplop, dari sumber swasta atau publik yang desainnya akan memengaruhi konten jurnalistiknya.
Dari sejumlah indikator itu, tentu kita berdebat soal mana yang dianggap paling berbahaya bagi kebebasan pers di Indonesia. Masing-masing tentu punya preferensi, juga perspektif, berbeda tentang apa yang disebut sebagai ancaman utama. Namun, apapun jenis ancaman itu, pada akhirnya itu akan berdampak pada kemampuan jurnalis dan pers dalam menjalankan fungsi yang diamanatkan oleh Undang Undang Pers.
“… dengan kebebasan pers maka jurnalis bisa menghasilkan dan mempublikasikan informasi yang benar, sehingga bisa memandu publik mengambil sikap dan mendorong pemerintah membuat kebijakan.”
Iklim yang buruk mungkin tak berarti membuat pers tak berfungsi sama sekali. Bisa jadi ia berfungsi dengan baik dalam hal-hal lain, misalnya, “menginformasikan”, “mendidik”, atau malah semata “menghibur” saja. Dengan situasi seperti itu, ia akan kehilangan kemampuannya untuk menjalankan fungsi sebagai “kontrol sosial”, fungsi paling utama media dan yang juga membuatnya dikenal sebagai pilar keempat demokrasi –selain eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pemahaman soal ancaman terhadap kebebasan pers ini tidak boleh hanya menjadi pengetahuan komunitas pers. Salah satunya adalah dengan memberikan pemahaman bahwa penerima manfaat terbesar dari kebebasan pers itu justru bukan wartawan, melainkan publik. Hanya dengan kebebasan pers maka jurnalis bisa menghasilkan dan mempublikasikan informasi yang benar sehingga bisa memandu publik mengambil sikap dan mendorong pemerintah membuat kebijakan yang sesuai kebutuhan dan tantangan aktual di tengah masyarakat.
Namun tantangan terbesar lainnya adalah bagaimana meyakinkan publik bahwa jurnalis dan pers menjalankan fungsinya dengan baik. Banyaknya media yang tak mematuhi Kode Etik Jurnalistik, apapun penyebabnya, tentu itu juga mempengaruhi keyakinan publik terhadap pers. Termasuk mempengaruhi dukungan atau penentangan publik terhadap upaya berbagai pihak untuk melakukan pembatasan atau mengurangi “kebebasan relatif” yang sudah dinikmati pers Indonesia sejak 1999 lalu.
Abdul Manan – Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Disampaikan dalam Konferensi Regional dan Konferensi Nasional Aliansi Jurnalis Indonesia, Jakarta, 6 Agustus 2019