Rabu, Oktober 16, 2024

GBHN bukan politik pencitraan

Must read

Kolom Bahrul Ilmi Yakup

Menjelang pelantikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024 yang akan memulai masa bakti bulan Oktober yang akan datang dan Sidang Umum pertama, bergulir kencang gagasan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai kerangka dasar pembangunan nasional.

Gagasan tersebut selayaknya diapresiasi serta dikaji secara komprehensif agar benar dan tepat serta memberi manfaat untuk kemakmuran rakyat, bukan sekedar cetusan politik pencitraan yang justru akan makin merusak sistem ketatanegaraan yang selama era reformasi telah gagal melakukan konsolidasi. Sistem ketatanegaraan telah gagal mengalami konsolidasi oleh karena para politisi hanya sibuk mengedepankan kepentingan politik aktual dan praktis, sekadar untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, seraya mengabaikan kepentingan negara dan rakyat.

GBHN bukan gagasan orisinal pendiri negara

Dalam sistem ketetatanegaraan Indonesia, sesungguhnya GBHN bukan merupakan gagasan orisinal founding farthers, melainkan muncul dalam praktik penyelenggaraan pememerintahan. GBHN tidak dikenal selama periode sistem presidensial berdasarkan UUD 1945 periode awal tahun 1945-1950, semasa sistem parlementer berdasarkan Konstitusi RIS 1949-1950, maupun sistem parlementer berdasarkan UUDS 1950-1959. Gagasan GBHN baru muncul pada tahun 1959 seiring lahirnya Dektrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945.

GBHN Pertama ditetapkan melalui Ketetapan MPRS (TAP MPRS) No.II Tahun 1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 yang merupakan tindak lanjut dari TAP MPRS No. I Tahun 1960 tentang Manifesto Politik sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara.

Manifesto Politik yang disampaikan Presiden Soekarno Pada Pidato tanggal 17 Agustus 1959 denganjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita” yang pada pokoknya hendak membangun Indonesia dalam tripola, yaitu (1) Pembangunan fisik yang meletakkan dasar industrialisasi dengan industri dasar dan berat yang dikuasasi oleh negara. (2) Pembangunan rohaniah menegakkan kembali kepribadian dan kebudayaan Indonesia, (3). Pembangunan ekonomi terpimpin dan gotong royong dimulai dengan melakukan landreform (reformasi agraria) yang kemudian diatur dengan UU No.5 Tahun 1960. Tripola tersebut sering juga dijelaskan dengan semboyan berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.

Ilustrasi: Markus Spiske (Unsplash)

Tripola pembangunan nasional yang digagasan Presiden Soekarno sebagai rincian kedaulatan negara yang kemudian menjadi pola pokok pembangunan nasional, dalam pelaksanaannya tidak terwujud secara baik dan konsisten oleh karena pemerintahan berikutnya memelintir pola pembangunan nasional dari berkerangka kedaulatan negara menjadi berkerangka liberalisme pasar bebas, dan dalam bidang politik memberangus kerangka mekanisme musyawarah mufakat menjadi demokrasi liberal yang transaksional, seperti yang dipraktikan saat ini.

Problem Hukum GBHN

Dalam praktik kenegaraan selama ini, GBHN diatur dalam TAP MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang memegang dan melaksanakan kedaulatan rakyat. MPR diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara oleh karena MPR diasumsikan sebagai majelis permusyawaratan para cendekia dan negarawan yang mumpuni dalam konstruksi negara integralistik dalam gagasan Soepomo sebagai rangkuman dari pola hukum dan adat nusantara. Oleh karena itu, MPR diberi wewenang membuat GBHN serta menugaskan Presiden sebagai mandataris MPR untuk melaksanakannya.

Pascaamandemen, UUD1945 tidak lagi menisbahkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan hanya berkedudukan sebagai lembaga negara. Pada dimensi ini, muncul persoalan ketatanegaraan, Apa jenis aturan hukum yang akan menjadi wadah pengaturan GBHN yang akan dibentuk?

Apabila GBHN hendak diatur oleh TAP MPR seperti pada era orde lama dan orde baru, maka reborning GBHN akan berimplikasi pada amendemen Pasal 2 dan 3 UUD 1945, tentang kelembagaan dan wewenang MPR. Perubahan kelembagaan dan wewenang MPR merupakan isu serius dan meluas sehingga harus dicermati dan direncakan secara komprehensif dan holistik oleh karena berpotensi mengubah kembali pola dasar sistem ketatanegaraan Indonesia.

Oleh karena pengaturan GBHN dalam bentuk TAP MPR dapat mengembalikan kedudukan Presiden sebagai mandataris MPR, sehingga MPR berwenang mengangkat dan memberhentikan Presiden, atau setidaknya Presiden harus menyampaikan pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN kepada MPR. Hal demikian, dapat berimplikasi pada perubahan wewenang Presiden yang diatur Pasal 4 ayat (1), sistem pemilihan dan pengangkatan Presiden yang diatur Pasal 6A UUD 1945, dan pemberhentian Presiden yang diatur Pasal 7A dan 7B UUD 1945.

Sebaliknya, bila GBHN hendak diatur oleh UU, maka yang manjadi masalah adalah apa signifikansi perbedaan GBHN dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur oleh UU No.25 Tahun 2004, kemudian ditindaklanjuti dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Pendek? Persoalannya mungkin pada lingkup pengaturan dan durabilitas UU. Isu hukum demikian sejatinya cukup dilakukan dengan merevisi dan menyempurnakan materi muatan UU No.25 Tahun 2004.

Dengan demikian, reborning GBHN sejatinya bukan merupakan isu ketatanegaraan yang sederhana, apalagi sampai disimplifikasi dengan asumsi sesat yang menyatakan menghidupkan GBHN cukup dengan mengamandemen norma satu Pasal dari UUD 1945. Reborning GBHN akan berimplikasi pada beberapa pasal UUD 1945 yang mengatur pola dasar kekuasaan negara, khususnya yang mengatur kedudukan dan kekuasaan MPR dan Presiden.

Oleh karena itu, reborning GBHN tidak layak dilakukan secara instan dan asal jadi seperti amandemen UUD 1945 sebelumnya. Reborning GBHN harus dimulai dengan kajian posisi konstituional GBHN dalam sistem ketatanegaraan Indonesia oleh tim ahli atau lembaga yang bekerja serius untuk itu. Quo vadis reborning GBHN?

Bahrul Ilmi Yakup, Dosen Magister Hukum Universitas Jayabaya, Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article