Jumat, Desember 6, 2024

Kenapa ‘Bumi Manusia’ harus saya?

Must read

Oleh Hanung Bramantyo

Saya lahir pada 1 Oktober 1975. Ketika di bangku sekolah dasar, saya ingat ada bendera setengah tiang dikibarkan sehari sebelum ulang tahun saya. Guru saya di SD mengatakan bendera itu penanda negara sedang berkabung.

“Kenapa sih setiap saya mau ulang tahun ada bendera setengah tiang? Kenapa negara berkabung?” kata saya kepada Ibu.

Ibu kemudian menjelaskan soal pemberontakan yang dilakukan PKI (Partai Komunis Indonesia) terhadap negara Indonesia yang terjadi pada 30 September 1965 . Tentunya kisah Ibu saya sesuai dengan sudut pandang pemerintah Orde Baru. Bahwa PKI adalah partai terlarang, jahat, tidak beragama. Kafir. Sadis. Dan segudang cap kejelekan terhadapnya.

Di usia yang masih belia, saya hanya mampu merekam satu versi kisah tentang malam 1 Oktober dari Ibu saya. Bagi ibu saya, barangkali penjelasannya sudah cukup membuat saya memahami tentang segala peristiwa yang terjadi seputar tahun 65.

Tapi kenyataannya, justru saya makin penasaran.

Perkenalan saya dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilandasi oleh rasa penasaran tersebut. Setiap mendengar kata komunis, saya selalu tergelitik ingin tahu. Begitupun ketika mendengar kata Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan yang dianggap berideologi kiri saat itu. Saat itu saya menginjak remaja. SMA. Di sekolah Muhammdiyah di Yogyakarta. 

Kebetulan nama Pram muncul karena sejak SMP saya terlibat dalam komunitas teater. Tidak hanya Pram sastrawan yang saya kenal, tapi juga Chairil Anwar, Shakespeare, Anton P Chekov, Samuel Becket, Motinggo Busje, Hamka, Marah Rusli, AA Navis. Bedanya, untuk Pram saya harus membacanya dengan sembunyi-sembunyi. Takut ditangkap aparat.

Perkenalan dengan karya Pram pertama kali justru bukan Bumi Manusia. Tapi Perburuan. Saya menemukan buku itu di suatu toko loak di pusat perbelanjaan di Yogyakarta yang sekarang sudah jadi taman bermain anak-anak. Tentu saja saya membelinya dengan sembunyi-sembunyi.

Semula saya kira Perburuan bercerita tentang orang-orang komunis yang memburu orang-orang Indonesia. Ternyata, tidak ada satupun kata komunis, PKI, kiri, Lekra dan sebagainya di novel itu. Karena penasaran, saya kemudian mencari karya Pram lainnya.

Perkenalan saya dengan Bumi Manusia terjadi secara tidak sengaja. Saya memperoleh buku itu dari kawan satu sanggar dalam bentuk foto kopian yang dijilid dalam bentuk stensilan. Sebelum saya membaca Bumi Manusia, kawan-kawan saya sudah membicarakan tentang kisah cinta antara Minke dan Annelies. Bahkan ada seorang kawan yang saking jatuh cintanya dengan Annelies, sampai membuat puisi untuknya.

Bumi Manusia saya pikir berbicara tentang manusia komunis yang menyiksa 7 jenderal yang kemudian dimasukkan kedalam BUMI (Lubang Buaya). Lagi-lagi saya dibuat keliru oleh asumsi ke-ABG-an saya sendiri.

Seperti saat membaca Perburuan, Bumi Manusia sama-sama berbicara tentang perlawanan terhadap penindasan. Hanya saja di Bumi Manusia menggambarkan perlawanan seorang anak muda, remaja, SMA, yang dipersonifikasikan ke dalam sosok bernama Minke, bukan nama sebenarnya; Di mana nama tersebut diambil dari ejekan teman sekelasnya semasa di ELS (Sekolah Dasar) yang mayoritas berbangsa Belanda, yang berarti MONYET. 

Hanung Bramantyo

Hal-hal yang membuat saya saat itu terpantik untuk menyukai lebih dalam kondisi Indonesia masa kolonial adalah pergulatan pemikiran Minke yang menjadi latar kisah cinta mereka. Pram sangat lihai mengemas itu sehingga kami, anak-anak remaja galau saat itu, benar-benar merasakan amarah kepada kolonial Belanda saat Annelies dan Minke dipisahkan. Padahal tanpa ada adegan peperangan dengan senjata sambal memekik ‘Merdeka!’ yang heroik sebagaimana yang digembar-gemborkan guru sejarah di sekolah.

Membaca sosok Minke seperti membaca diri saya sendiri. Kebetulan saya dari keluarga Ibu Cina dan Bapak Jawa. Sejak kecil saya selalu dipanggil: Sinkek. Atau Cino Loling. Saya pun merasa dekat dengan Minke.

Kisah cinta Minke, juga sangat dekat dengan remaja seumuran saya. Suka sama cewek cantik apalagi keturunan bule. Putih. Dengan rambut coklat. Maklum lah anak-anak seusia saya waktu itu tontonannya film Hollywood. Cewek macam Demi Moore, Drew Barrymore selalu jadi orientasi. Apalagi ketika tidak disetujui bapak dan kakak lelakinya. Rasanya dekat banget. 

Lalu kenapa buku ini dilarang? Apa hanya karena Pramoedya dicap berideologi komunis semata maka segala pemikiran tentang Indonesia dilarang? Begitulah pertanyaan saya saat remaja dulu berkelindan di kepala.

Ketika saya hijrah ke Jakarta untuk kuliah, suhu Politik sedang panas. Orde Baru yang dianggap rezim represif selama 32 tahun mulai rontok. Orang-orang yang dianggap berseberangan dengan Rezim Orde Baru mulai melawan. Saya berada dalam pusara konflik tersebut yang berujung Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya. Suhu politik berubah drastis. Apa yang dulu dilarang mulai bermunculan. Terutama buku-buku yang mengupas seputar peristiwa 65 dari sudut pandang berbeda dari Orba.

Sebagai remaja yang masih penasaran saya langsung melahap segala buku-buku tentang itu. Tanpa ada rasa takut dan kuatir untuk ditangkap.

Saya membaca kembali Bumi Manusia dalam situasi yang berbeda. Tidak dengan stensilan dan sembunyi-sembunyi. Tapi sudah dengan sampul asli terbitan Hasta Mitra. Bahkan saya sempat membuat catatan-catatan atas setiap karakter seolah-olah saya seperti hendak memfilmkan novel tersebut. Saking cintanya dengan kisah dalam novel itu, saya tercetus ide membuat film pendek kisah Sanikem untuk keperluan ujian tengah akhir saya. Di IKJ-Fakultas Film dan Televisi.

Dengan modal nekad saya naik motor pergi ke rumah Pramoedya di Bojong Gede. Saya utarakan maksud saya untuk memfilmkan kisah Nyai tersebut dengan dalih film ini untuk keperluan Pendidikan dan kebudayaan. Bukan untuk keperluan komersil. Berharap sosok Pramoedya yang saya kenal sebagai manusia idealis, berbudaya, layaknya kawan-kawan seniman senior di Yogyakarta, dengan mudah memberikan izin kepada saya dengan terbuka. 

Tapi rupanya beliau dengan tegas mengatakan: “Maaf sekali, bung. Tidak semudah itu. Asal bung tahu, Bumi Manusia itu sudah ditawar oleh Sutradara Hollywood (Oliver Stone) sebesar 60 ribu dolar dan saya bahkan belum memberikan. Sorry kalau saya terlihat seperti tidak mendukung kemajuan anak muda. Tapi inilah hidup saya. Saya hanya bisa menulis. Tulisan-tulisan saya adalah anak-anak Rohani saya yang harus bisa menghidupi keluarga saya baik secara materi maupun Non-Materi.”

Mendengar jawaban pak Pram saya kaget luar biasa. Sebagai anak yang lahir dari keluarga pedagang, saya sangat memahami pola pikir untung, rugi, pinjam meminjam modal, investasi, jual dan beli. Tapi tidak ditempatkan untuk kebudayaan dan seni. 

Saya dididik dalam sebuah komunitas yang meletakkan seni sebagai sebuah pengabdian kepada kemanusiaan yang jauh dari komersialisasi dan kapitalisasi. Saya bahkan pernah dimarahi, dimaki-maki di hadapan anggota sanggar oleh guru teater saya karena memiliki pemikiran seperti ayah saya yang pedagang.

Pulang dari Bojong Gede, saya tidak bisa tidur. Tapi dari pengalaman itu, saya menemukan pijakan dan pemahaman baru atas pilihan saya. Kebetulan seni, khususnya film sudah jadi pilihan saya. 

Film, dalam risalah sejarah dunia yang saya pelajari di sekolah adalah sebuah kultur yang lahir dari perkawinan antara Seni dan Teknologi. Antara bisnis dan artistik sebagaimana digambarkan dengan sangat nyata oleh Hollywood, Bollywood, China, dan saat ini Korea dengan K-Pop nya.

Sepulang dari bertemu Bung Pram saya kembali membaca Bumi Manusia sekaligus membuat sebuah sketsa tentang biaya produksi yang dibutuhkan ketika Novel ini beralih medium menjadi sebuah Film. 

Saya memperoleh gambaran angka kasar bahwa untuk membuat film Bumi Manusia dibutuhkan biaya sebesar minimal 20 miliar. Di tahun 2000, angka 20 miliar adalah angka fantastis untuk sebuah produksi Film. Mengingat di tahun yang sama kawan-kawan senior IKJ seperti Mira Lesmana, Riri Riza, Rizal Mantovani sedang memproduksi Film Kuldesak dengan bujet kisaran Rp1,5 miliar yang diperoleh secara indie. Mas Garin Nugroho memproduksi Bulan Tertusuk Ilalang dengan kisaran bujet Rp3,5 miliar. 

Sejak saat itulah saya mulai mengubur keinginan memfilmkan Bumi Manusia

Saya tinggalkan Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh, Darsam, Khomers, Maghda Peters, si pengecut Suurhoff, si bangsat Herman dan Robert Mellema jauh dari imajinasi saya. Saya mulai berkelana dengan film-film saya sendiri, mengadopsi prinsip kreatif yang dikatakan Bung Pram. Karya saya adalah anak-anak rohani saya yang akan menghidupi saya dan keluarga saya. 

Kira-kira empat tahun berselang, saat saya mulai berkiprah di dunia serial televisi baik dengan TV swasta maupun Rumah Produksi yang memproduksi sinetron dan serial mini-series yang mewarnai televisi Indonesia, Leo Sutanto (Bos Sinemart pictures ) menelpon saya, mengatakan bahwa novel Bumi Manusia sudah dibeli Bersama Hatoek Soebroto (Bos PT Elang Perkasa Film). 

Hati saya melonjak. Kebetulan saat itu saya selesai membuat film Jomblo produksi Sinemart dan Brownies yang mampu menyabet penghargaan sutradara terbaik FFI 2005.

Alih-alih mengajak, Pak Leo saat itu malah bertanya ke saya: “Menurut Hanung siapa sutradara yang pas untuk memfilmkan Bumi Manusia?” 

Hampir saja mulut saya mengatakan ‘Saya yang pantas, pak Leo’. Tetapi tiba-tiba saya menyadari kapasitas dan posisi saya saat itu di mata industri Film Indonesia. Akhirnya justru yang keluar dari mulut saya… ‘Riri Riza atau Garin Nugroho saja pak. Hanya dua orang besar itu yang pantas untuk menyutradarai Bumi Manusia. Selain itu tidak ada.’

Sejak saat itu saya hanya bisa berharap apa yang saya bayangkan ketika membaca Bumi Manusia bisa digambarkan dengan baik oleh guru dan senior saya.

Tahun 2008, saat Ayat-Ayat Cinta meledak di pasaran dan dianggap film drama dengan genre religi pertama yang mampu survive secara komersial di pasaran, Pak Hatoek Subroto (Bos Elang Perkasa Film) menelepon saya. Dia meminta bertemu saya. Kali ini Pak Hatoek datang bersama seorang sineas senior Indonesia, seorang aktor sekaligus produser dan sutradara: bang Deddy Mizwar.

Mereka berdua bertemu saya untuk menawari saya menyutradarai Bumi Manusia. Di balik rasa senang saya, ada pertanyaan besar yang mengganjal, kenapa novel ini akhirnya jatuh ke tangan saya? Bagaimana dengan Garin Nugroho? Riri Riza? Bukankah mereka yang seharusnya memfilmkan?

Tapi pertanyaan itu sampai hari ini tidak saya dapatkan.

Kepada Hatoek dan Dedy Mizwar saya sampaikan bahwa untuk membuat Bumi Manusia membutuhkan bujet Rp20 miliar. Setelah itu tidak ada lagi kabar kelanjutan proses Film Bumi Manusia. Padahal saya sudah membentuk tim riset untuk menunjang proses pembuatan skenario. 

Lama sekali saya menantikan kepastian pembuatan film itu, tapi kemudian pada saat saya sedang melakukan syuting film Sang Pencerah, saya secara tak sengaja bertemu dengan Mas Riri Riza yang saat itu rupanya sedang melakukan hunting film barunya. 

Ketika saya tanya sedang berencana membuat film apa? Dijawabnya bahwa saat ini dia sedang menyiapkan Bumi Manusia.

Saya kaget. Rupanya tanpa sepengetahuan saya, Bumi Manusia sudah dialihkan ke sutradara lain. Tapi saya tidak merasa kecewa sedikitpun. Toh sejak awal memang kalau bukan Garin Nugroho ya Riri Riza yang pantas. Akhirnya, saya kembali mengikhlaskan novel tersebut.

Karena itu, ketika bertahun-tahun kemudian saya mendengar berita Falcon Pictures yang digawangi produser bertangan dingin HB Naveen memperoleh hak memfilmkan Bumi Manusia, saya tidak punya harapan apapun. 

Saya sudah ikhlas. Saya sudah dengan sepenuh hati merelakan pergi jauh dari angan-angan saya. Bahkan ketika Pak Naveen menelepon saya untuk menawari beberapa proyek film: Jomblo ReboothBenyamin Biang Kerok, remake film Korea Miracle On The Cell No.7 dan Harimau-Harimau karya novel Mochtar Loebis, tak sekalipun saya bertanya tentang Bumi Manusia. Saya sudah ikhlas.

Tapi, justru di saat saya sudah tidak memikirkan lagi Bumi Manusia, Pak Naveen menelepon saya dan memberikan novel Bumi Manusia kepada saya. Saya hanya bisa menatap Novel yang sudah berganti rupa itu. Kali ini lebih tebal karena di cetak lebih kecil dari ukuran versi Hasta Mitra. Cover perpaduan warna hijau dan kuning lengkap dengan tulisan bergaya kekinian: Bumi Manusia.

“Mas Hanung bersedia menyutradarai Novel ini?” tanya Pak Naveen.

“Kenapa novel ini ada di tangan bapak sekarang? Apakah bapak memintanya ke keluarga pak Pram? Karena saya dengar novel ini jadi rebutan banyak PH” tanya saya.

“Saya tidak menyangka Bu Astuti (Puteri Pramoedya) memberikannya kepada saya. Awalnya. Kami datang hendak membeli novel Perburuan dan Gadis Pantai untuk sutradara Richard Oh. Tapi Bu Astuti memberikan kepada saya. Saya anggap ini sebuah anugerah. Saya tidak mau menyia-nyiakan,” Pak Naveen menjelaskan.

“Anda mau apa dengan Bumi Manusia pak?” tanya saya balik.

“Saya mau novel seindah dan sepenting ini dinikmati oleh anak-anak muda jaman sekarang. Agar mereka tidak lupa ada sosok sepenting Pramoedya yang pernah dimiliki negeri ini.”

Ingatan saya terlempar ke masa ketika saya pertama kali mengenal nama Pramoedya Ananta Toer. Saat saya masih remaja. Masih ABG yang penasaran dengan pertanyaan kenapa novel ini dilarang? Yang kemudian anak muda yang penasaran ini tiba-tiba tersadar saat usai mengakhiri halaman terakhir, bahwa penindasan itu rupanya nyata. Dekat. Sedekat kita berada di rumah bersama saudara kita. Kawan kita. Sekolah kita. Bahkan hingga sekarang. Hari ini. Di era millenial di mana kekuasaan kolonial sudah tidak lagi menyoal Belanda maupun pribumi, penindasan antar manusia, antar ras, antar suku, agama masih saja terjadi dalam wujud dan bentuk yang berbeda.

Tanpa pikir panjang saya menjawab tawaran pak HB Naveen: Iya. Saya bersedia.

Minke dan Segala Derita yang Menyertainya

Saya sadar. Saya bukan sutradara terbaik, jenius, intelek sebagaimana kritikus, budayawan dan sejarawan yang dengan lantang mengkritik karya-karya saya sebelumnya. Faktanya HB Naveen menyerahkan kepercayaan kepada saya. Bukan kepada yang lain. Saya sempat bertanya kepada diri saya. Kenapa sekarang? Kenapa tidak dulu? Kenapa Pram harus menolak saya terlebih dahulu yang mana pada akhirnya toh novel ini jatuh ke tangan saya?

Hanya Tuhan yang bisa menjawab.

Sejak awal saya katakan bahwa Bumi Manusia adalah novel yang saya cintai dan kagumi. Lewat Novel ini saya jadi mengerti bahwa peristiwa malam 1 Oktober di tahun 1965 bukan sebuah peristiwa hitam putih sebagaimana yang diceritakan ibu. Tapi sebuah peristiwa tragedi kemanusiaan yang tidak hanya mengorbankan tujuh jenderal di Lubang Buaya. Tapi juga ribuan bahkan ratusan ribu manusia yang dibantai dan dipenjara tanpa proses peradilan. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer.

Ketika novel ini difilmkan, oleh siapapun, saya orang pertama yang akan berharap apa yang tergambar di layar harus sesuai dengan yang saya imajinasikan. Kalau perlu berikut kepedihan sang penulis yang turut menyertainya. Jadi, sebelum film ini berhadapan dengan para penggemar di bioskop, film ini akan berhadapan dengan diri saya sendiri. 

Saya melawan saya.

Agar saya berjarak, saya meminta Salman Aristo, penulis Ayat-Ayat CintaLaskar Pelangi dan Sang Penari; Juga seorang sutradara atas film Jakarta Maghrib dan Suatu Hari Nanti, untuk menuliskan skenario Bumi Manusia.

Aris mentransformasi Bumi Manusia ke dalam skrip menjadi 200 halaman dengan 129 scene dengan fokus penceritaan pada Minke.

Pada saat saya membacanya, sejujurnya saya merasakan banyak momen yang hilang dalam novel. Tentang siapa Jean Marais, sahabat sekaligus guru Minke soal hidup. Lalu Robert Suurhoff si pengecut Indo, bocah Sanikem yang dijual bapaknya, Babah Ah tjong dan Maiko si pembunuh Herman Mellema.

“Kenapa semua itu hilang ya, Ris?” tanya saya

“Mau berapa jam film kita? Apa yang gue tulis ini kalau difilmkan bisa jadi empat jam,” jawab Aris

Saya memutar otak. Saya bisa merasakan bagaimana reaksi pecinta novel Bumi Manusia di bioskop? Mereka akan kehilangan. 

Kemudian saya mengusulkan ke pak HB Naveen agar film Bumi Manusia menjadi 2 bagian. Bumi Manusia part 1, Bumi Manusia part 2. Sebagai produser yang pengalaman membuat film sekuel seperti Warkop DKI Reborn 1 dan 2, Pak Naveen tidak setuju. Bumi Manusia harus menjadi mahakarya.

“Akan banyak scene yang hilang dan disederhanakan,” kata saya menyanggah pendapat beliau.

‘”Itu konsekuensi alih medium dari teks ke film. Saya pikir semua akan menyadari itu. Yang terpenting dari semua ini kita tidak boleh menghilangkan spirit besarnya. Yaitu bagaimana sebagai bangsa yang tertindas kita tetap berupaya menjadi manusia modern dan setara dengan bangsa lain. Kalau film ini disambut penonton sebagaimana Warkop dan Dilan 1990, maka kita bisa membuat spin off-nya. Kisah Jean Marais sebagai mantan legium Belanda berasal dari Perancis bisa kita filmkan. Juga kisah Sanikem, Maiko si Geisha, Suurhoff. Bumi Manusia bisa menjadi universe seperti Star Wars, Marvel maupun DC. Kita harus membuat film ini laris di pasaran.”

Melihat alasan itu, akhirnya skenario diputuskan untuk dieksekusi.

Ratusan pasang kostum mulai dibuat oleh Retno Ratih Damayanti (Sang PencerahSoekarnoCokroaminotoKartini). Lahan seluas 2,5 hektar mulai dibangun di kota Surabaya dan Buitenzorg oleh Alan Sebastian (Art Director Sang PencerahSugijaCokroaminotoSoekarno dan Kartini). Puluhan properti disiapkan termasuk kereta kuda Nyai Ontosoroh. Ratusan pemain termasuk pemain Belanda kita casting. Tidak hanya di Jakarta dan Yogyakarta. Juga di Bali hingga Amsterdam. Seluruh kerabat kerja produksi Film berusaha memenuhi ekspektasi pembaca Novel. Ekspektasi saya. Fans dari novel Bumi Manusia.

Dari segala kerumitan, kompleksitas produksi, saya, Salman Aristo, produser HB Naveen dan Frederica telah sepakat bahwa film ini berangkat dari sudut pandang Minke. Si anak remaja pribumi murid HBS, anak bupati. Sosok yang membuat saya ketika remaja selalu bercita-cita menjadi dirinya. Pintar. Pembangkang sekaligus pecinta perempuan.

Casting pun mulai dibuka. Siapakah aktor Indonesia usia 19 tahun, memiliki kemampuan empat bahasa: Inggris, Perancis, Bahasa Indonesia, Belanda, sekaligus pembaca karya Shakespeare, Multatuli, mengenal konsep pemikiran Asosiasi Snouck Hurgonje, mengenal kisah Roman Sampek Eng Tai dan Sin Djie Kwie? 

Jawabannya … Tidak ada!

Kami mengundang aktor remaja usia 19 tahun yang biasa main sinetron dan film-film remaja Indonesia. Dari semuanya, jangankan tahu siapa Multatuli, bahkan Bumi Manusia dan Pramoedya Ananta Toer sendiri mereka tidak pernah tahu!

Satu-satunya aktor yang kami temui di Indonesia, yang juga pembaca Shakespeare, Multatuli dan berkemampuan bahasa asing secara bagus dan pernah berlakon di film-film garapan HBO, peraih Piala Citra sebagai Aktor Terbaik lebih dari dua kali hanyalah Reza Rahadian. Dalam kiprahnya, Reza bahkan pernah memainkan sosok Minke dalam sebuah pementasan Bunga Penutup Abad. Seorang pemain watak yang tak diragukan lagi kemampuan aktingnya. Tapi sayangnya Reza bukan anak muda usia 19 tahun. 

Setelah dua bulan mencari, kami menemukan dua nama anak muda yang kami anggap punya kapasitas menjadi Minke. Dia adalah Emir Mahira dan Iqbaal Ramadhan. Kedua remaja itu bersekolah di luar negeri. Emir di Amerika, Iqbaal di Kanada. Keduanya bukan lahir dari sanggar teater atau sekolah teater sebagaimana Reza Rahadian. Meski demikian, keduanya pernah bermain film layar lebar yang Box Office di Indonesia. Emir Mahira bermain di film Garuda di Dadaku produksi SBO Films. Iqbaal Ramadhan bermain di Dilan 1990 produksi Falcon Pictures. Keduanya memiliki umur dan raut wajah yang sama.

Pertemuan pertama dengan Iqbaal Ramadhan terjadi ketika Dilan 1990 sukses di pasaran. Sebagai anak muda yang sudah memiliki fans 6 juta penonton, Iqbaal datang dengan gayanya yang penuh percaya diri. Saya sangat mengenal lagak aktor-aktor muda dengan banyak fans macam Iqbaal. Seorang yang sudah merasa puas diri. Paling jago akting. Meski kemampuan sebenarnya masih jauh dari semua itu.

Ketika saya tanya pertama kali tentang Bumi Manusia, saya terkejut dengan jawabannya.

“Saya tidak hanya baca Bumi Manusia, Om. Tapi meresensinya dalam bahasa Inggris” jawab Iqbaal percaya diri.

“Kok bisa?” tanya saya mendesak

“Guru saya di Kanada meminta seluruh murid di kelasnya untuk memilih satu karya sastra dunia untuk diresensi. Saya memilih Bumi Manusia.”

“Kenapa?”

“Sebenarnya ada banyak novel sih yang diberikan Mama dan Papa ke saya. Seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Siti Nurbaya, Salah Asuhan. Tapi saya memilih Bumi Manusia.”

“Kenapa?”

Saya terus mendesak. Sejujurnya saya ingin memperoleh jawaban yang esensial, di mana jawaban tersebut mampu membuat hati saya bangga. Membuat saya bisa percaya bahwa dari ribuan aktor muda Indonesia ada seorang yang sangat mengenal Pramoedya lengkap dengan segala deritanya. Hampir saja saya memeluk pemuda di hadapan saya itu dan menangis terharu atas segala kecerdasannya jika dia mampu memberikan jawaban se-intelek itu.

Ketika sekali lagi saya tanya untuk kesekian kalinya, “Kenapa kamu memilih Bumi Manusia dan bukan novel lainnya?”

Iqbaal si Dilan itu menjawab dengan ringan: “Judulnya lucu sih Om.”

Alih-alih memeluknya dengan bangga, saya justru ingin menampar wajah tengil sambil menyumpahinya dengan kalimat: “Hei, kid! Bisa-bisanya lo bilang lucu! Emang lo pikir ini novel cupu apa? Lo enggak tau ya kalau Bumi Manusia ini ditulis di pembuangan? Di Pulau Buru. Oleh seorang penulis yang selama 10 tahun dipenjara tanpa proses peradilan dan separuh hidupnya menjalani hari-hari dalam stigma masyarakat dan negara sebagai penghianat bangsa. Kok lo bisa-bisanya dengan gampang mengatakan lucu untuk sebuah karya yang ditulis secara berdarah-darah, hingga ada orang yang dipenjara 8 tahun hanya karena menjual bukunya?”

Tapi rupanya seluruh sumpah serapah saya kepadanya harus batal saya lontarkan karena saya teringat akan umur anak muda ini yang masih sangat belia. 19 tahun. Umur yang ketika saya membaca Bumi Manusia pertama kalinya di masa SMA, dia belum lahir di muka bumi.

Lalu apa hak saya membebani anak sebelia ini dengan segala penderitaan yang pernah melatari proses kreatif Bumi Manusia? Dosa apakah dia? Salahkah ketika anak-anak muda seusia Iqbaal mengenal Bumi Manusia dan Pramoedya dengan caranya yang riang, fun, sambil selfie, lalu meng-upload dalam Insta-Story dengan segala atribut emotikon di dalamnya?

Mendadak saya jadi berpikir.

Siapakah sebenarnya Minke? Adakah sosok aslinya?

Dalam pengakuan Pram pada suatu wawancara, dia mengatakan bahwa Minke adalah Tirto Adhi Soerjo. Tapi dia juga mengatakan dalam wawancara yang berbeda bahwa sosok Tirto hanyalah sebagai sebuah acuan saja. Sejatinya Minke hanyalah tokoh fiksi tak ubahnya Forest Gump

Terbukti dalam Jejak Langkah, Pram tidak menyebut siapakah Dokter Jawa. Atau gadis Jepara. Padahal kita sebenarnya bisa menebak bahwa mereka adalah Dr. Wahidin dan R.A Kartini.

Jangan-jangan Pram, melalui sosok Minke, justru sedang menciptakan tokoh fiktif yang bertujuan merangsang anak-anak muda seperti saya agar menjadi sosok yang melebihi dirinya sendiri?

Kalau Minke adalah tokoh rekaan Pram yang too good to be true, lalu bagaimana saya harus menghadirkan ke dalam layar? Apakah Iqbaal Ramadhan sebagai representasi anak muda milenial, aktor muda yang digandrungi anak-anak muda jaman now, pembaca sekaligus meresensi Bumi Manusia dalam bahasa Inggris di sekolah yang memposisikan dia sebagai murid minoritas di Kanada, tidak cukup sebagai representasi Minke jaman sekarang?

Sejujurnya untuk mengatakan iya… saya membutuhkan waktu yang lama. Saya melihat lagi anak saya sendiri, Barmastya Bhumi yang juga baru lulus SMA. Sambil turut merayakan perpisahannya dengan kawan-kawan seusianya, saya melakukan tanya jawab dengan teman-teman Bhumi tentang cita-cita, tentang penindasan, bahkan tentang cinta. 

Rata-rata tidak ada yang bisa menjawab sebagaimana Minke menjawab di novel Bumi Manusia.

Dari sana saya kemudian mengingat kembali saat pertama kali kita membaca Bumi Manusia di usia Iqbaal dan Bhumi. Adakah Minke di sekeliling kita? Atau jangan-jangan yang ada hanyalah anak-anak muda yang ingin menjadi Minke. Ah, barangkali saya terlampau skeptis dengan anak-anak muda jaman now. Well, saya ubah pertanyaan.

Saya percaya bahwa ada Minke di antara kita. Tapi apakah mereka seorang aktor seperti Reza Rahadian? Kalau memang ada anak muda jenius sekaligus aktor, adakah dia seorang populer seperti Iqbaal Ramadhan? Ah, dari seorang Minke saya akhirnya menyadari betapa masih kerdilnya industri film kita, yang terbukti mencari sosok Minke saja sangatlah sulit. Benarkah itu?

Pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar bahkan ketika hari-hari saya dan Iqbaal menjalankan latihan bersama. Berproses bersama menjadi Minke baik di studio latihan maupun di lokasi syuting.

“Apa yang harus saya lakukan Om?” tanya Iqbaal kepada saya

“Baca ini.”

Saya berikan buku Multatuli. Juga beberapa catatan pemikiran Snouck. Saya ingin dia memahami, siapa Snouck? Apa fungsinya dia bagi Minke?

Sambil istirahat di ruang latihan, saya kisahkan padanya apa itu Babad Tanah Jawi. Bagaimana orang-orang Jawa seperti saya percaya sekali dengan mitos kemenangan dan kekuasaan.

“Menjadi orang Jawa tidak sesederhana berbicara medok! Kamu harus berpikir sebagaimana orang Jawa berpikir”

Dan Iqbaal Ramadhan mulai berbahasa Jawa dengan saya dan para kru yang berasal dari Jawa. Di hari-hari latihan Iqbaal menunjukkan antusiasme. Berupaya menjadi Minke. Atau lebih tepatnya menjadi sosok sesuai ekspektasi saya.

“Hati Minke itu berdarah, Bal! Ayo tinggalkan semua kemudahan-kemudahanmu di rumah. Masak sendiri. Cuci sendiri piring bekas makananmu. Ngepel! Cuci baju! Rasakan jadi budak di rumahmu sendiri.”

Iqbaal menjalani itu. Tanpa keluh kesah. Tanpa perlawanan. Ketika di lokasi syuting, alih-alih mendapatkan ruang tunggu selayaknya seorang bintang, Iqbaal rela berada di ruang yang panas. Hanya untuk mendapatkan perasaan yang tertekan. 

Sosok pemuda yang awalnya petentang-petenteng itu sudah menjadi manusia yang berbeda. Apakah dia Minke yang saya bayangkan? Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi sejauh mata melihat, dia sudah berusaha melampau dirinya sendiri. Sesuatu yang (mungkin) dikehendaki Pram kepada anak muda ketika membaca Minke.

Saat adegan berpisah dengan Ann, Iqbaal kebingungan. Dia mondar-mandir dengan gelisah. Anak muda mana yang pernah mengalami peristiwa yang dialami Minke dan Annelies? Sejenius apapun remaja saat ini, tidak akan pernah mengalami tragika yang dialami Minke.

“Saya susah merasakan sakit, Om. Saya tidak pernah mengalaminya,” kata Iqbaal.

Saya hanya terdiam. Saya benar-benar tersadar bahwa aktor di hadapan saya ini adalah seorang anak muda. Sekalipun novel Bumi Manusia sudah dia bedah sedalam mungkin dengan bahasa yang bukan bahasa ibunya, tetap saja dia masih anak umur 19 tahun. Jiwanya tak punya rujukan. Butuh asupan. Tapi apa?

“Tolong pukul saya, Om,” kata Iqbaal yang membuat saya kaget luar biasa. “Pukul saya!”

PLAK! Saya pukul lengannya. Di tempat yang tentunya tak membuatnya cedera. 

“Lagi, Om!” pintanya.

PLAK!

“Lagi!”

PLAK!

Saya mulai tidak tega.

“Lagi, Om!”

PLAAKK! PLAAAK!! PLAAKKKK!!!

Iqbaal menahan air mata. “Lagi, Om!”

Ini yang terakhir. Satu pukulan keras mengenai lengannya. BUAAKK!!

Terdengar suara Iqbaal mengejan. Menahan sakit.

And Camera Roll!!! Action!

Sederet kalimat keluar di balik tangisnya yang pecah.

“Kita sudah kalah, Ma! Kalah!”

Kalimat itu mengakhiri film Bumi Manusia yang sedang dia mainkan. Apakah dia berhasil menjadi Minke yang saya inginkan? 

Iqbaal Ramadhan…. sudah berusaha menjadi yang terbaik buat dirinya. Jika masih ada yang belum puas, mari tanyakan kepada sang pencipta.

Wahai bung Pram, apakah Iqbaal sudah menjadi sosok yang kau ciptakan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya? 

Previous Article
Next Article
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article