Rabu, Desember 4, 2024

Pemimpin bisnis atau pejabat publik, ayo mawas diri!

Must read

Oeh Mohamad Cholid (Practicing Certified Executive and Leadership Coach)

Be the change that you want to see in the world,” Mahatma Gandhi.

Cerita tentang Mahatma Gandhi ini selalu penting untuk kita ingat – sebagian di antara Anda barangkali juga sudah mendengarnya. Gandhi, yang oleh bangsanya sering dijadikan tumpuan harapan solusi untuk banyak urusan, suatu hari didatangi seorang ibu dengan membawa anaknya.

Ibu tersebut mengatakan ke Gandhi, “Mohon bantuan sembuhkan anak saya dari ketagihan makan permen.”

Gandhi memberikan respon: “Kembali ke sini enam bulan lagi, ya.”

Enam bulan kemudian si ibu dan anaknya datang lagi menemui Gandhi. Sambil melihat tajam ke anak tersebut, Gandhi berkata ringkas, “Stop makan permen.”

Ibu anak tersebut terperangah dan langsung bertanya, “Kenapa untuk mengatakan seperti itu saja perlu waktu enam bulan ya Mahatma?”

“Saya sendiri harus berhenti makan permen dulu, sebelum menasihati orang lain stop makan permen,” jawab Gandhi.

Anda tentu paham maksud Mahatma Gandhi: setiap pemimpin yang berniat melakukan perubahan dalam organisasi dan kata-katanya layak didengarkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang dipimpinnya, sepatutnya memberi teladan. Lakukan perubahan diri dulu, baru mengajak orang lain berubah.

Menjadi role model bagi para pemangku kepentingan, stakeholders, orang-orang yang hidup dalam orbit pengaruh kepemimpinan kita –utamanya tim, rekan kerja (peers), termasuk anggota keluarga– sesungguhnya praktis saja. Benahi perilaku kepemimpinan kita dulu – di antaranya terkait hal mendasar seperti cara berkomunikasi dan pendelegasian– agar lebih efektif, lantas kerjakan apa yang kita ucapkan.

Kalau Anda menginginkan perubahan dalam organisasi, mulailah dari diri Anda sendiri. “Be the change you want to see in the world,” kata Mahatma Gandhi.

Menghadapi realitas perubahan yang masif dan cepat hari-hari ini, prinsip kerja sederhana yang sepantasnya dilakukan adalah: Anda mesti jadi pengendali perubahan (driver of the change) atau akan dilanda perubahan.

You have to decide, you want to be a creator of history or just a postscript in that history,” kata Mark Thompson dalam sesi C-Suite Master Class bersama Marshall Goldsmith belum lama ini. Sebagai coach para CEO dan tokoh bisnis kelas dunia, di antaranya Richard Branson, tentunya Mark tahu betul betapa berat proses internalisasi perubahan diri para eksekutif–apalagi mereka yang sudah sukses. 

Roman Hraft (Unsplash)

Faktanya, masih banyak kalangan eksekutif yang gagah dalam pernyataan untuk berubah, tapi belum melakukannya dengan seksama, apalagi secara efektif.

Berdasarkan pengalaman, evaluasi, dan pendalaman yang terus kami kerjakan di institusi pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) lebih dari 25 tahun, para eksekutif sukses banyak yang mengalami kesulitan untuk jadi lebih efektif lagi memimpin. Mereka umumnya terganjal oleh tiga perkara (berakar pada diri masing-masing)–ganjalan ini berada di sisi lain dari koin yang sama dengan penentu kesuksesan mereka.

Pertama, keyakinan sangat kuat “Aku Sukses lho” (“I am Successful”). Nilai positifnya: percaya diri luar biasa, berani mengerahkan kemampuan menjadi pemenang dalam kehidupan. Sisi negatifnya: melebih-lebihkan (over-rate) kinerja diri sendiri; sulit menerima feedback yang tidak sesuai dengan gambaran diri; cenderung menyepelekan opini pihak lain yang tidak sesuai dengan level dirinya.

Pada kondisi ektrem, eksekutif seperti itu hanya mau mendengarkan diri sendiri,  dengan kata lain arogan. Perilaku seperti ini akan menyebabkan diri mereka tidak mau menerima perspektif pihak lain untuk perubahan agar menjadi lebih baik lagi.

Kepemimpinan semacam itu sangat merugikan organisasi dan diri sendiri. Seorang CEO perusahaan yang masuk kategori Fortune 100 mengingatkan, “Success can lead to arrogance. When we become arrogant we quit listening. When we quit listening we stop changing. In today’s rapidly moving world, if we quit changing, we will ultimately fall.”  Bukankah fakta ini banyak contohnya di sekitar Anda?

“… keyakinan-keyakinan kita telah menjadi energi keberhasilan, bisa pula menyebabkan leadership blind spot, utamanya dalam menyikapi perubahan yang sangat cepat di semua sektor hari-hari ini.”

Kedua, dorongan “Aku memilih Sukses” (“I choose to Succeed”). Perilaku positif dari kalangan eksekutif yang memang telah sukses sampai ke posisi senior sekarang ini adalah: memiliki determinasi kuat; do what they do because of personal commitment; tindakannya memperlihatkan ownership kuat.

Segi negatifnya: bertahyul atas pilihan-pilihan tindakannya; kebutuhannya untuk mengontrol semua urusan menutup peluang perubahan; dalam hati dan pikirannya tumbuh anggapan bahwa perubahan akan menyebabkan dia “bukan dirinya lagi.”

Perlu diingat, keyakinan-keyakinan kita selama ini yang telah menjadi energi keberhasilan, bisa pula menyebabkan leadership blind spot, utamanya dalam menyikapi perubahan yang sangat cepat di semua sektor hari-hari ini.

Ketiga, keyakinan “Aku akan Sukses” (“I will Succeed”). Perkara pertama,“I am Successful”, terkait dengan masa silam. Keyakinan kedua, “I choose to Succeed”, adalah urusan sekarang. Sedangkan yang ketiga, “I will Succeed”, berurusan dengan masa depan, keyakinan ini memperlihatkan optimisme.

Hal positif dari “Aku akan Sukses”: tidak percaya kekuatan eksternal menentukan takdir mereka; optimisme yang tidak terpatahkan; selalu persisten bahkan saat menghadapi kesulitan apa pun. Negatifnya: over-commitment menimbulkan bahaya; selalu mau menang at all cost, bisa kebablasan (misalnya melanggar etika dan GCG); sangat sulit menerima realitas ketika gagal.

Tentu saja ketiga keyakinan tersebut di atas merupakan anugerah Tuhan, yang terbukti telah membantu kesuksesan kita. Namun, ternyata dapat pula menimbulkan perkara buruk kalau kita belum mampu mengelolanya dengan baik.

Ini terjadi di lingkungan organisasi bisnis, nonprofit, juga di lingkungan pemerintahan. Lihat saja banyak pejabat publik “keblinger” dengan sukses masa lalu, menolak hukum alam perlunya perubahan, mabuk jabatan, lantas kejeblos.

Sebagaimana menyangkut kebendaan dan perkara-perkara lain di dunia, setiap anugerah Tuhan sesungguhnya juga merupakan ujian bagi kita. Bisakah kita lulus dengan baik?

Pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC) membantu kita, termasuk Anda, tetap “eling lan waspodo” (selalu mawas diri), bersedia berubah meningkatkan kompetensi agar memimpin lebih efektif. Dari sukses sekarang menjadi lebih hebat lagi.

Untuk itu perlu keberanian mengubah paradigma, selalu menguji asumsi-asumsi kita, rendah hati menerima masukan dan perspektif baru dalam kepemimpinan, dan disiplin follow up evaluasi diri – plus action.

Are you willing to change as a leader, ikut memberi warna sejarah suatu kaum?

Bukankah di dunia ini tidak ada yang kebal terhadap perubahan? Di posisi apa pun kita, supervisor, general manager, VP, sampai CEO di organisasi bisnis (dan nonprofit) atau Kepala Desa, Bupati, sampai Presiden dalam pengelolaan negara, perubahan dan continuous improvement merupakan hukum alam. Sebagaimana kita ketahui, orang yang membangkang, arogan menolak berubah meningkatkan kompetensi, dalam pengembangan organisasi lazim disebut dead wood.

Mohamad Cholid adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

  • Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching
  • Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment
  • Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article