Rakyat Bergerak: Mengajukan Klaim atas Ruang Publik
21 tahun lalu, kekuasaan rezim militer Soeharto telah runtuh setelah 32 tahun berkuasa. Peristiwa tersebut menandakan ada semangat memperjuangkan kembali demokrasi untuk rakyat. Dalam gerakan tersebut, setidaknya terdapat beberapa poin penting yang menjadi landasan perjuangan reformasi. Pertama, narasi besar developmentalism rezim militer Soeharto yang telah berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan.
Selanjutnya, ada semangat membebaskan masyarakat dari cengkraman ketidakpastian hukum, menghapuskan korupsi, penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran. Melalui latar belakang tersebut, gerakan reformasi menuntut lembaga penyalur pendapat masyarakat harus berperan serta menampung aspirasi pendapat masyarakat luas yang lebih partisipatif.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa negara adalah sebuah arena yang harus direbut. Negara tak pernah utuh- terpadu dan state bukanlah entitas yang homogen. State adalah arena pertarungan kelas yang bisa tarik- menarik, dan juga dikuasai kelas tertentu. Di Indonesia, memperlihatkan bahwa peta politik-ekonomi tidak ada perubahan secara radikal pasca reformasi.
Di Indonesia, pasca reformasi, peta politik-ekonomi negara justru didominasi oleh borjuasi lokal. Hari ini oligarki membajak demokrasi salah satunya melalui pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik dan media. Melalui pemahaman ini, konsep oligarki pada akhirnya juga berperan dalam proses perusakan lingkungan yang pada konteks Indonesia beberapa waktu terakhir termanifestasikan dalam kerusakan lahan. Sebab, undang-undang yang akan menguntungkan oligark digunakan untuk melakukan pertahanan kekuasaan (baik pertahanan kekayaan maupun pendapatan).
Hal ini penting untuk kita sadari, bahwa kadang kepentingan para oligark tersembunyi dalam pasal-pasal yang ada. Pardoks yang terjadi justru demokrasi mati melalui saluran demokrasi itu sendiri. Contoh nyata dominasi oligarki saat ini bisa dilihat dari berbagai kejadian akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019 menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain itu, supremasi hukum sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif. Pasal-pasal ini meliputi aturan mengenai makar, kehormatan presiden, tindak pidana korupsi, hukum yang hidup di masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat.
Tidak berhenti sampai sana, saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif. Hadirnya RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan dipaksakan. Sedangkan di sisi lain, terdapat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sempat menjadi bola panas menjelang pemilu, hingga saat ini justru belum mendapat kepastian pembahasan lebih lanjut. Di lain sisi, kebebasan demokrasi juga semakin diberangus melalui RKUHP dan juga praktek-praktek kriminalisasi aktivis di berbagai sektor.
Maka dari itu, atas kondisi tersebut, kami yang tergabun dalam Aliansi Rakyat Bergerak menyatakan sikap:
1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. 3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja. 5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria.
6. Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
23 September 2019