Rabu, Desember 25, 2024

Ekspedisi Papua Terang

Must read

Sejalan dengan komitmen PLN dalam upaya meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia hingga mencapai 100% tahun 2020, di tahun 2018 BUMN tersebut berupaya meningkatkan rasio elektrifikasi dua provinsi yang masih rendah, yakni Provinsi Papua dan Papua Barat.

Menurut penjelasan Direktur Human Capital Management (HCM) PLN Muhamad Ali, Kamis (3/10), upaya melistriki “Bumi Cendrawasih” tersebut tidak mudah dilakukan, mengingat sampai bulan Juli 2019 rasio elektrifikasi Provinsi Papua adalah 48,5% dan Papua Barat 91,22%. Dengan jumlah desa total 7.358 (sesuai Permendagri No. 137/2017), masih ada sekitar 1.724 desa yang masih gelap gulita.

Itulah awal mula yang sekaligus menjadi dasar pertimbangan, PT PLN (Persero) Direktorat Bisnis Regional Maluku dan Papua, menetapkan program inisiatif strategis, ”Ekspedisi Papua Terang,” di tahun 2018. Langkah awal yang dilakukan PLN untuk membangun sistem kelistrikan, adalah mengadakan survei kelistrikan, yang menjadi dasar menentukan tahapan atau langkah berikutnya.

Karena itu menurut Ali, sebagai kelanjutan dari Ekspedisi Papua Terang, tahun ini PLN menetapkan “Program 1.000 Renewable Energy for Papua,” yang merupakan kerjasama PT PLN (Persero) Direktorat Bisnis Regional Maluku dan Papua dengan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Universitas Cenderawasih, LAPAN, dan TNI AD.

Photo by Trevor Cole on Unsplash

Testimoni Penerimaan dan Penolakan

Mengutip testimoni Vita Khairunnisa, alumnus Mapala Departemen (Jurusan) Geografi – Universitas Indonesia yang ikut dalam Ekspedisi Papua Terang 2018, dirinya mengaku memperoleh banyak pengalaman selama mengikuti ekspedisi tersebut.

Sejumlah manfaat diperolehnya antara lain berkesempatan melakukan riset sistem informasi geografis untuk pengembangan riset lebih lanjut, khususnya untuk memperoleh data pendukung secara lebih praktis dan efisien.

“Mengingat pelaksanaan riset sangat mahal apabila dilakukan sendiri, maka dengan mengikuti EPT, kami yang di tahun lalu juga tengah menyusun tugas akhir (skripsi), dapat sekaligus melakukan survei dan analisisnya. Memang tugas akhir saya dilakukan di daerah yang berbeda dengan lokasi EPT. Namun karena tema yang saya ambil untuk tugas akhir dengan tujuan EPT, maka dapat dilakukan data kompilasi dan kelengkapannya,” jelas gadis kelahiran tahun 1996 ini.

Berada di Provinsi Papua sekitar satu bulan, Vita belajar banyak hal, seperti bagaimana sikap penerimaan dan penolakan dari masyarakat setempat waktu itu. Walaupun tim EPT datang dengan niat baik ingin melistriki Papua, tetapi penerimaan dari masyarat setempat tidak selalu sama nadanya.

“Misalnya ada satu distrik yang menerima kedatangan mereka secara lebih terbuka, yaitu di daerah pantai. Mengapa demikian, sebab apabila dilihat dari karakternya, mereka termasuk dalam kelompok yang biasa menerima kedatangan warga dan tamu asing, sehingga mereka tidak menampakkan curiga.

“… daerah pegunungan, dengan kontur geografis yang sulit, ternyata juga berpengaruh terhadap sifat dan karakter penduduknya, yang juga tidak mudah menerima perubahan.”

“Bedanya dengan kondisi di daerah pegunungan, dengan kontur geografis yang memang sudah sulit dilewati, ternyata juga berpengaruh terhadap sifat dan karakter penduduknya, yang juga tidak mudah menerima apakah informasi ataupun rencana dan niat baik dari anggota tim EPT untuk membawa terang ke Papua.

“Namun demikian dapat dipahami, mengapa mereka bersikap demikian. Kenyataan menunjukkan dengan lokasi yang berada di daerah yang banyak terdapat areal pertambangan, maka sebagai penduduk yang berdomisili di sana, praktis mereka tidak mendapatkan manfaat yang setimpal dari potensi sumber daya alam yang ada. Itu sebabnya kerap sebagai penduduk setempat, mereka menaruh rasa curiga terhadap kedatangan orang asing,” paparnya.

Karena itu dari awal kedatangan sudah disampaikan, tim EPT tidak langsung melistriki Papua, melainkan ini adalah awal proses masuknya listrik ke distrik ini. Pernyataan ini perlu dikemukakan, agar tim tidak dikatakan “menipu” penduduk setempat. Jika tidak demikian, pasti akan muncul pertanyaan, ”Kapan listrik akan muncul ke daerah kami?”

Sementara bagi mereka sebagai mahasiswa tim ekspedisi, tidak tahu dengan pasti, kapan program listrik masuk ke sana akan terimplementasi. Dari survei di lapangan, lanjut Vita, berbagai upaya perlu dilakukan, karena ada di satu distrik yang masuknya listrik, masih bisa dilakukan dengan sistem memperpanjang atau menarik kabel listrik, dan itu dipandang lebih efektif, ketimbang harus membangun pembangkit listrik, yang perawatannya belum tentu dipahami dengan baik. Apalagi daerah tersebut, ternyata menolak masuknya energi terbarukan (renewable energy). Namun demikian, daerah tersebut juga masih berpotensi untuk pengembangan turbin angin.

Ada juga daerah atau distrik yang hanya mau menerima masuknya listrik dari PLN, karena mereka pernah menggunakan PLTS, tetapi pasokan listriknya tidak tetap, sehingga mudah mati lampu (tidak ada aliran listrik). Itu sebabnya mereka hanya mau jika yang masuk ke distrik mereka, adalah aliran listrik yang bersumber dari PT PLN (Persero).

Dari hasil kajian dan survei menurut Kepala Divisi Pengembangan Regional Maluku – Papua PT PLN (Persero) Eman Prijono Wasito Adi, ada empat alternatif EBT yang ditawarkan dalam EPT yakni Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro; Tabung Listrik (Talis); Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm); serta PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Untuk Pikohidro menurut Vita, lebih cocok apabila diaplikasikan pada daerah yang memiliki perbedaan ketinggian.

Pembangkit Listrik Tenaga Pikohidro merupakan pembangkit skala sangat kecil yang memanfaatkan energi potensial air untuk menghasilkan listrik berkapasitas hingga 5.000 Watt. Energi potensial air menggerakkan turbin, sedangkan turbin memutar generator, dan generator inilah yang dapat menghasilkan listrik.

Sedangkan Tabung Listrik merupakan alat penyimpanan energi (energy storage) layaknya power bank, yang digunakan untuk melistriki rumah. Cukup dengan plug-and-play, masyarakat di pedalaman Papua sudah dapat memanfaatkan listrik dengan Talis ini untuk kebutuhan penerangan hingga menyalakan televisi. Talis dapat diisi ulang di Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL).

Sementara PLTBm adalah pembangkit listrik skala kecil yang memanfaatkan potensi energi biomassa, seperti bambu, kayu, serat kelapa sawit dan bahan organik kering lainnya. Pembakaran biomassa menghasilkan uap air bertekanan yang memutar turbin, kemudian menggerakkan generator untuk menghasilkan listrik. PLTBm yang dikembangkan oleh PLN Regional Maluku dan Papua berkapasitas 3 – 10 kW.

Seperti yang kita kenal selama ini Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), menjadi alternatif melistriki daerah yang sulit dijangkau oleh transportasi darat. Karena itu dengan mengandalkan sumber energi matahari, maka sangat cocok untuk kawasan terpencil. Energi listrik disalurkan melalui jaringan tegangan rendah atau digunakan sebagai SPEL untuk Talis/Energy Storage (cadangan energi).

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article