Oleh Goenawan Mohamad
Ketika Baradita Katoppo meninggal mendadak dalam usia muda, tahun 2014, saya, yang mengenalnya sejak ia kanak-kanak, kaget, sedih, kehilangan — merasa bahwa kematiannya terlalu menyentak, terlalu pagi, terlalu tak adil. Saya tulis sebuah sajak:
“… di sini, dekat kau dan aku,
kematian selalu menjemput,
bersama asap
di sudut rumah menjelang sore,
dan kabur ke udara”
Kemarin ayah Bara, Aristides Katoppo, sahabat saya, meninggal. Ia tidak dalam usia muda, 79 tahun, tapi tetap tiba-tiba. Kembali saya merasakan bagaimana kematian selalu menjemput begitu saja, seakan-akan “bersama asap/di sudut rumah menjelang sore…”.
Begitu mudah.
Tides pergi menyusul Bara, mendadak, dan Bara menyusul Wira, yang meninggal lebih dulu. Saya bayangkan betapa terpukulnya Tides waktu itu ditinggalkan dua dari tiga anaknya. Tapi mungkin kini mereka bersama, di sebuah wilayah yang tak pernah kita temukan dalam peta, “The undiscover’d country from whose bourn/No traveller returns”, untuk memakai kata-kata Hamlet dalam lakon Shakespeare.
Saya tak pernah merasa ada usia yang berlanjut tiap kali bertemu Tides; kami sebaya. Ia selalu senyum. Matanya jernih dengan pandangan cerdik, tapi bersahabat. Saya tak pernah mendengar ia mengeluh. Tertawanya mudah.
Kami berkenalan lebih setengah abad yang lalu. Kami berdua mendapat undangan untuk mengunjungi Amerika, sebagai reporter: Tides dari “Sinar Harapan”, saya dari “Harian Kami”. Itu tahun 1968, ketika AS dalam Perang Vietnam yang banyak ditentang itu. Masa yang penting. Kami berdua meliput Konvensi Partai Demokrat di Chicago yang digerudug protes anti-perang — sebuah kejadian bersejarah bagi orang Amerika. Kami juga berada di Amerika bagian Barat ketika apa yang disebut “counter culture” — pambangkangan generasi muda terhadap gaya hidup orang tua mereka — mulai reda, tapi dengan jejak yang panjang. Saya ingat bersama Tides berjalan di San Fransisco, melewati distrik Haight-Ashbury, tempat para hippie hidup — meskipun waktu itu tinggal sisa-sisanya, sebab tak banyak lagi anak-anak muda gondrong yang memilih bergelandangan. Tapi masih terasa bau ganja di sudut-sudut, dan masih tampak baju dan kedai dengan warna-warni psikedelik.
Tides menikmati udara yang enak di sekitar the Golden Gate, tapi tak tertarik untuk mengamati dan menulis itu. Saya mulai tahu ia memang tak tertarik dengan hal-hal yang menandai perubahan sosial dan kebudayaan itu. Ia, pada awal dan akhirnya, seorang reporter — jurnalis yang mencatat dan menyampaikan fakta dan peristiwa. Terutama reporter politik. Ia memang bergaul dan bersahabat dengan intelektual seperti Arief Budiman, tapi Tides berbeda; teori tak menarik hatinya. Tidak juga sastra dan kesenian lain.
Yang menyenangkan pada Tides, ia mengikuti teman-temannya yang pikirannya lebih rumit dengan sabar (terkadang, saya duga, sedikit geli). Yang murah hati pada Tides, ia — sebagaimana layaknya seorang reporter — skeptis, tapi sama sekali tidak sinis. Ia tak pernah memandang orang lain dengan menghakimi. Ia bisa mempercayai kemungkinan manusia — juga yang ia tahu tak 100% jujur — sebagai oknum yang bisa baik. Tides memandang dunia sekitarnya dengan santai, tak agresif, tanpa keangkuhan. Saya kira itu yang membuatnya selalu tampak tenang dan ramah.
Persahabatan kami, dimulai sejak kepergian bersama ke AS itu, awet. Pertalian itu juga meliputi keluarga kami; itu sebabnya saya ikut merasa kehilangan ketika Bara meninggal.
Tentu saya tak bisa mengklaim ia akrab dengan saya. Kami sering berada di lingkaran yang berbeda Tides pencinta alam — mendaki gunung dan menjelajah wilayah — saya lebih suka di kamar. Dalam kunjungan ke Amerika tahun 1968 itu, ia pergi malam-malam mendaki gigir Rocky Mountain, sementara saya duduk di bar dengan seorang Filipina yang membosankan. Tides seorang yang mudah dan suka bergaul; di waktu senggangnya ia selalu mengajak teman-teman, (naik gunung ramai-ramai), sedang saya lebih sering latihan lari maraton sendirian, main tenis sendirian. Tides mudah menemui dan ditemui orang lain, saya kikuk.
Ia lebih cocok dengan almarhum Soe Hok-gie yang punya watak yang mirip — sahabat yang ia temani dalam mendaki Gunung Merapi dan mendapat kecelakaan yang menewaskan dirinya, di tahun 1969.
Beda Tides dengan Hok-gie: ia bukan seorang puritan dalam kesenangan hidup. “Hok-gie,” katanya suatu ketika, “tak akan beristirahat untuk makan dan minum sebelum sampai puncak, saya akan lebih suka duduk berteduh dan menikmati bekal”.
Tapi Tides, seperti Hok-gie, tak pernah menyukai benda-benda gemerlap. Tak pernah main mata dengan perempuan. Tak pernah menginginkan privilese. Ketika kolega kantornya di “Sinar Harapan” mengendarai Mercedes Benz, Tides memilih mobil yang kriterianya hanya: kokoh dan bisa dinaiki banyak teman.
Kini saya kira ia senang menyusul Hok-gie. Menyusul Bara dan Wira. Saya yakin ia tenang ketika maut menjemput, sebagaimana ia tak pernah panik, heboh, tersedu-sedan atau berteriak-terak ketika mengalami banyak hal dahsyat dalam hidupnya.