Oleh Farid Gaban
Pola konsumsi kita ikut memicu problem dunia seperti kerusakan lingkungan serta perang dan konflik.
Saya suka hidup cara minimalis, simple. Bukan semata ingin berhemat (tak punya uang).
Saya belajar dari kakek: “stuff breeds stuff”. Makin banyak barang yang kita punya, makin banyak barang lainnya yang kita butuhkan untuk merawat, menyimpan dan melengkapinya.
Itu sebabnya kita perlu merenung ketika memberi barang: apakah itu penting untuk hidup kita? Apakah itu barang bisa ditunda, menunggu yang lama benar-benar rusak?
Bukan semata karena ingin berhemat.
Barang-barang memerlukan energi utk membuatnya, menjalankan, menyimpan, mengangkut dan mendaur-ulang. Makin banyak barang, makin banyak energi, makin tinggi jejak karbon (carbon footprint) kita.
Makin besar rumah, makin banyak barang kita perlukan untuk mengisinya: lampu, kulkas, AC, yang semuanya membutuhkan energi.
Dan jika energi itu dari bahan fosil (minyak, batubara), gaya hidup kita adalah gaya hidup berjejak karbon tinggi.
Carbon footprint tinggi memicu pemanasan global, kerusakan lingkungan, dan seterusnya.
Dengan kesadaran lingkungan yang makin tinggi, di Barat kini orang mendefinisikan sukses pembangunan antara lain pada carbon footprint yang rendah.
Itu sebabnya mereka kini memilih sepeda dari mobil, misalnya. Carbon footprint rendah identik dengan modern. Dan sebaliknya, primitif.
Kita mungkin meledek suku-suku tradisional sebagai primitif. Mereka sebenarnya lebih “modern” dari kita yang hidup di kota. Mereka mengamalkan hidup berjejak karbon rendah.
Dalam perjalanan keliling Indonesia beberapa tahun lalu, teman saya Dandhy Dwi Laksono membuat video dokumenter tentang kehidupan suku-suku Baduy (Banten), Dayak (Kalimantan) dan Mahuze (Papua). Hidup mereka sederhana, namun mandiri.
Tapi, cara hidup seperti itulah yang mulai terancam oleh “pembangunanisme”, yang sifatnya cenderung fisik semata dan karenanya cenderung materialistik.
Konsumsi juga berkaitan erat dengan penjajahan (ekonomi). Materialisme, obsesi kita pada barng-barang, juga memicu konflik sosial (keserakahan di satu sisi, ketidakadilan di sisi lain).
Kita perlu belajar dari Mahatma Gandhi. Memakai cawat dan menenun baju sendiri, dia meruntuhkan kolonialisme Inggris, dengan berhenti mengkonsumsi barang buatan Liverpool dan Manchester. Membuat baju sendiri, membuat garam sendiri.
Mungkin kita tak bisa ekstrim seperti Gandhi atau Suku Baduy. Tapi, intinya: hidup sederhana, seperlunya.
Gandhi antara lain belajar dari filosof Amerika Henry David Thoureau: “Kekayaan seseorang adalah jumlah benda-benda yang dia tolak untuk memilikinya, meski bisa.”
Makin sederhana gaya hidup kita, pada dasarnya makin kaya kita.
Intinya menahan diri dari memiliki benda-benda; berpuasa.