Sabtu, November 23, 2024

Membangun Papua sepenuh hati

Must read

Oleh Jannus TH Siahaan

Tidak sedikit perantau di Papua yang ingin segera kembali ke daerah asalnya. Bagi yang mampu pulang sendiri, dikabarkan sudah lama berangkat kembali ke daerahnya, atau ke tempat lain.

Namun sebagaimana banyak diberitakan, yang tak mampu kembali jumlahnya juga tak sedikit. Bahkan perantau asal Sumatera Barat, sampai 1.000 orang perantau yang berusaha mendesak pemerintah daerah asalnya untuk memulangkan mereka segera.

Dari fenomena ini, setidaknya dapat kita membayangkan seperti apa kenangan buruk yang melekat di benak mereka sehingga memutuskan untuk segera hengkang dari tanah Papua. Kerusuhan, yang hari ini menurut pemerintah pusat, sudah kelar dan mereda, nyatanya masih menyisakan ketakutan bagi sebagian orang di sana.

Oleh karena itu, pemerintah mau tak mau harus segera membereskan karut-marut di Papua. Jangan hanya dengan menuduh pihak lain, negara lain, atau aktor tak tersentuh nan jauh di sana, sebagai dalangnya.

Beberapa pendekatan lama harus dievaluasi, kebijakan-kebijakan basa-basi alias simbolik harus segera dijadikan substantif, agar Papau tak terus-menerus berada di ambang batas emosional nan sensitif. Kerusuhan yang katanya berawal dari perundungan mahasiswa Papua di Jawa Timur, harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah bahwa urusan Papua masih jauh dari kata selesai.

Divestasi Freeport yang sangat digembar-gemborkan, infrastruktur yang katanya sangat masif dibangun di Papua, sampai pada kebijaksanaan para pemimpin yang bersedia untuk merayakan hari besar ini itu di Papua terbukti tak berarti apa-apa.

(ANTARA FOTO/Sevianto Pakiding)

Semestinya pemerintah maklum bahwa sejarah panjang Papua yang tak biasa, memerlukan sentuhan yang sangat komprehensif-substantif, yang tidak selesai dengan cara-cara mudah seperti pembesaran fiskal, pembangunan fisik, atau basa-basi kelas teri. Sentuhannya harus berbeda.

Rakyat Papua yang sering tersakiti, tak bisa dengan cara biasa untuk mengobati rasa sakit tersebut. Apalagi dengan cara-cara lama, berbasa-basi damai di atas tikar, tapi di bawah tikar kondisi tak sama sekali berubah, bibit-bibit kemarahan tak jua dipupuk menjadi kegembiraan.

Kita tentu mahfum, bahwa sedari awal, sejarah Papua memang tak mulus. Penentuan status Papua Barat antara Indonesia dan Belanda sudah menjadi problema sejak lama, tepatnya setelah putusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, dan terus berlarut-larut bahkan hingga terjadi pergantian rezim di tanah air.

Ketika Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Sukarno dan menjabat sebagai Presiden RI ke-2 sejak 12 Maret 1967, ia langsung dihadapkan dengan persoalan ekonomi Indonesia yang merosot. Tak seperti Bung Karno yang cenderung antimodal asing, Pak Harto lebih pragmatis.

Berkebalikan dengan sang proklamator, Soeharto justru memandang modal asing adalah jalan keluar untuk mengurai carut-marutnya perekonomian Indonesia kala itu. Salah satu peluang yang paling terbuka adalah Papua yang sudah dilirik oleh Freeport. Sehingga, saat masih menjabat Ketua Presidium Kabinet Ampera atau sebelum resmi menjadi presiden, Soeharto sudah menerbitkan Undang-Undang No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing pada Januari 1967.

Salah satu kebijakan awal Soeharto yang berdampak panjang, termasuk menyangkut nasib rakyat Papua, adalah kontrak karya kepada Freeport. Soeharto meneken kontrak karya pada 7 April 1967. Untuk mengamankan investasi itu, Soeharto harus menjamin Papua tetap menjadi bagian Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah RI harus mengamankan suara warga Papua melalui Pepera. Sesuai klausul Perjanjian New York yang diawasi oleh PBB, Pepera harus digelar pada 1969. Opsi Pepera cukup pelik: tetap ikut Indonesia atau merdeka. Soeharto kemudian mengutus Letjen Ali Moertopo mengamankan suara rakyat Papua. Ali sudah sejak 1964 ditunjuk sebagai Komandan Operasi Khusus (Opsus) untuk Irian Barat.

Ali Moertopo ikut membantu Roeslan Abdulgani, Duta Besar RI untuk PBB kala itu, dalam mengawal masalah-masalah Irian Barat. Ali Moertopo adalah penasihat pribadi Soeharto selama tahun 1966-1974 dan terlibat banyak operasi rahasia, termasuk Pepera di Irian Jaya (Papua) pada 1969.

Untuk menarik hati rakyat Papua, Ali Moertopo menggunakan langkah persuasif. Salah satunya dengan mengirimkan sejumlah besar pasokan barang kebutuhan pokok dan hadiah-hadiah menarik untuk kepala-kepala suku dan masyarakat tanah Papua.

Setelah melalui banyak kajian dan pertimbangan, pemerintah Indonesia memutuskan bahwa Pepera akan dilaksanakan dengan sistem musyawarah, bukan voting (pemungutan suara) alias one man one vote sebagaimana yang diamanatkan oleh PBB. Kala itu, Indonesia menganggap one man one vote tidak cocok untuk Papua.

Orang Papua dianggap masih terbelakang, belum siap buat referendum, Indonesia ingin pakai sistem musyawarah. Atas keputusan itu, pendekatan persuasif yang sebelumnya diterapkan pun bisa sekaligus dibarengi dengan tekanan.

Orang-orang Papua yang akan memberikan suara dalam Pepera 1969 dengan sistem musyawarah juga ditentukan oleh pejabat Indonesia. Pelaksanaannya pun dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia.

Laporan resmi PBB, Annex1 Paragraf 189-200, menyebutkan bahwa pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu, kelompok besar tentara Indonesia hadir. Menurut beberapa reportase kala itu, para wakil warga Papua yang hadir di Pepera adalah mereka yang kerap menerima bantuan.

Dalam proses itu, Ali Moertopo ditugaskan untuk memastikan agar pemungutan suara dihadiri oleh orang Irian yang pro-integrasi. Hasilnya tentu sudah diduga. Pada Agustus tahun itu, hasil Pepera menunjukkan Irian ingin bergabung dengan Indonesia.

Atas kisah yang kurang terlalu jernih itu, akhirnya dilahirkan opini oleh kelompok pro kemerdekaan Papua bahwa, seolah-olah Papua memiliki hak yang mirip dengan Timor Timur, dengan menganjurkan agar referendum yang sama juga diberikan kepada Papua.

Padahal menurut para pakar hukum internasional Indonesia, pandangan tersebut keliru alias dianggap tidak paham hukum internasional, sehingga tidak bisa membedakan status Papua dan Timor Timur.

Di mata hukum internasional, Timor Timur adalah non-self governing territory yang terdaftar dalam daftar Komite 24 PBB, yang berarti berhak atas penentuan nasib sendiri. Adapun Papua tidak pernah masuk list PBB karena statusnya sudah menjadi bagian dari NKRI sejak 1945, dan sudah melaksanakan hak penentuan nasib sendiri.

Jika Papua masih diberikan hak menentukan nasib sendiri, ini ibaratnya Papua dilahirkan dua kali.

Tuntutan pengulangan referendum akan bertentangan dengan prinsip utama dalam hukum internasional dan Piagam PBB, yaitu teritorial integrity dan uti possidetis juris. Yang pertama, pelaksanaan self determination di Papua melalui Pepera telah sesuai dengan prinsip prinsip hukum internasional dan Piagam PBB. Kedua, masyarakat Papua telah melakukan self determination oleh karena itu status Papua sekarang adalah bagian NKRI.

Tuntutan-tuntutan untuk melakukan pengulangan referendum bertentangan dengan hukum internasional dengan pertimbangan bahwa prinsip self determination dalam konteks dekolonisasi hanya dapat dilakukan satu kali dan tidak bisa berulang ulang.

Jadi rakyat Papua tidak bisa lagi menuntut referendum karena bukan lagi dalam konteks kolonialisme atau non governing territory. Masyarakat Papua juga tidak memiliki dasar untuk menuntut pengulangan referendum berdasarkan pelanggaran HAM atau pelanggaran hak politik, ekonomi dan sosial mereka karena Indonesia telah memberikan hak-hak dasar tersebut, khususnya dengan memberikan Otonomi Khusus melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan penuh bagi Papua dan Papua Barat untuk mengelola secara langsung kedua wilayah tersebut.

“… ada kelompok massa yang pro kemerdekaan, yang bergerak dengan diawali isu antirasialisme yang kemudian diarahkan ke isu kemerdekaan.”

Resolusi Majelis Umum PBB 2524 (XXIV) yang mensahkan PEPERA 1969 merupakan keputusan final dari PBB dan tidak bisa dipertentangkan lagi untuk merubah Resolusi tersebut. Keputusan ini diterima secara mayoritas oleh anggota PBB.

Sejarah perkembangan PBB sejak berdiri sampai sekarang, belum pernah terjadi suatu Resolusi Majelis Umum PBB yang telah diputuskan dan disahkan, kemudian diubah atau dipertimbangkan kembali. Kelompok pro kemerdekaan sejatinnya satu bagian dari beberapa kelompok pergerakan masyarakat ada di Papua.

Berdasarkan hasil analisis Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), terdapat beberapa kelompok yang menumpangi protes warga asli Papua dengan isu politik identitas. Bahkan, corak yang dimainkan nyaris mirip dengan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019. Mereka memainkan isunya masing-masing.

Pertama, ada kelompok massa yang pro kemerdekaan Papua. Kelompok ini bergerak dengan diawali isu antirasialisme yang kemudian diarahkan ke isu kemerdekaan. Kedua, kelompok milisi barisan merah putih dengan semangat Pro-NKRI.

Yang ketiga, kelompok nusantara yang sebagian besarnya pendatang dengan isu perekonomiannya. Dan keempat, kelompok yang tak teridentifikasi. Mereka mendadak ikut-ikutan.

Jadi sangat jelas bahwa konfigurasi sosial ekonomi politik di Papua masih kompleks seperti dulu.

Jika ada sedikit saja bibit konflik yang ditanam, maka semuanya akan meledak, persis seperti yang belum lama ini terjadi. Untuk itu, pemerintah harus tegas bersikap. Dari sisi pertahanan, dari dulu sampai sekarang, pemerintah gagal menghadirkan suasana kondusif di Papua.

Ada saja berita penembakan, gangguan keamanan, dan sejenisnya. Pemerintah terkesan gagal menghadirkan dirinya di sektor pertahanan dan keamanan, yang membuat legitimasi dan reputasi Indonesia semakin buruk di sana. Dari dulu sampai sekarang, di satu sisi, ruang komunikasi antara pemerintah dam pihak yang dianggap pemberontak tak pernah terjadi.

Di sisi lain, pemerintah yang telah menetapkan status “pemberontak” kepada pihak yang dituduh mengacau juga gagal melucuti kemampuan pemberontakan mereka. Jadi jangan disalahkan jika ada saja pihak yang mengenduskan tuduhan bahwa instabilitas di Papua sengaja dibiarkan seperti itu.

Dari sisi ekonomi, pemerintah memberikan terapi atas Papua layaknya daerah lain. Infrastruktur, infrastruktur, dan infrastruktur. Sementara kemiskinan Papua masih tinggi, penganggurannya pun tak berbeda, juga sama dengan tingkat ketimpangan.

Di saat yang sama, masyarakat Papua terus menyaksikan kekayaan alamnya dikeruk habis-habisan, hutan-hutannya ditebang, lahan mereka dipreteli, dan uangnya entah ke mana. Dengan kondisi itu, perlu evaluasi kebijakan ekonomi dan fiskal untuk Papua, agar keberadaan negara Indonesia bisa mereka rasakan manfaatnya. Bagi hasil pajak wajib diteruskan, namun dana otsus perlu disempurnakan penyalurannya, agar tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit lokal.

Aktivitas-aktivitas ekonomi bisnis harus melibatkan masyarakat setempat, jika SDM nya belum memadai, maka wajid diupayakan agar segera memadai. Demikian juga dari sisi sosial budaya dan pengembangan mentalitas. Pemerintah harus lebih agresif ketimbang organisasi nirlaba atau gereja. Alokasi fiskal untuk pembangunan sosial dan pengembangan budaya harus ditetapkan secara proporsional.

Tidak saja terkait dengan pelestarian budaya, tapi juga pengembangan budaya yang membaurkan kearifan lokal dan kepentingan ideologi nasional. Aturan-aturan terkait social order di sana harus dijabarkan secara manusiawi, tidak saja atas pertimbangan ekonomi, tapi juga atas pertimbangan keberlanjutan kebudayaan Papua. Dan, terakhir soal pembangunan SDM di Papua.

Hal ini bukan hanya soal memperbanyak beasiswa atau menghimbau kampus-kampus di luar Papua untuk memberikan alokasi ruang untuk anak-anak Papua, tapi jauh lebih luas dari itu. Panggil semua pakar SDM, pakar budaya, tanyakan bagaimana pembangunan SDM yang sebaiknya dilakukan di Papua, dari hulu hingga hilir. Kemudian, rumuskan sebuah kebijakan pembangunan SDM Papua yang komprehensif, partisipatif, dan barbasiskan kebutuhan Papua di hari ini dan di masa depan, bukan berdasarkan kebutuhan politik pemerintah atau pihak-pihak tertentu.

Jannus TH SiahaanDoktor Sosiologi Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Membangun Papua Sepenuh Hati. (Editor: Laksono Hari Wiwoho)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article