Oleh Katana Suteki
KSAD Jenderal Andika Perkasa menjatuhkan sanksi kepada Kolonel HS dan seorang anggota bernama Sersan Dua Z. Keduanya dihukum karena istri mereka mem-posting soal Wiranto di media sosial.
KSAD menyatakan: “Sehubungan dengan beredarnya postingan di media sosial menyangkut insiden yang dialami oleh Menko Polhukam, maka Angkatan Darat telah mengambil keputusan. Pertama, kepada individu yang juga merupakan istri dari anggota TNI AD, yang pertama berinisial IPDN, dan yang kedua adalah LZ,”. Demikian kata Andika di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Jumat (11/10) kepada detikNews.
Sebagai seorang sarjana hukum, saya merasa prihatin atas hukuman yang dijatuhkan kepada dua anggota TNI tersebut sebagai akibat dari dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kedua isteri anggota TNI tersebut, yakni diduga telah melakukan pelanggaran UU ITE terkait dengan kasus penusukan terhadap Menkopolhukam, Wiranto.
Sesuai pemberitaan di media masa, alasan mencopot jabatan kedua anggota TNI itu telah sesuai dengan UU No 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Saya mencoba mencari tahu pasal mana yang mengatur bahwa apabila seorang istri anggota TNI melakukan pelanggaran hukum maka suaminya turut menanggung kesalahan bahkan harus dihukum double, yaitu dicopot jabatannya, dikurung dalam sel 14 hari serta belum lagi istrinya akan diajukan di peradilan umum.
Kalau saya lihat misi UU Hukum Disiplin Militer adalah Pembinaan. Mengapa bukan aspek ini yang diutamakan melainkan terkesan “pembinasaan”. Saya dapat merasakan kepedihan kedua anggota TNI tersebut karena juga mengalami pencopotan jabatan karena diduga melakukan perbuatan melanggar disiplin pegawai. Unsur pembinaan tidak secara layak dilakukan, langsung diarahkan pada pelanggaran dengan ancaman sanksi disiplin berat. Hingga sekarang karena aspek dugaan mal administrasi keputusan yang saya terima, maka saya masih menggugat Rektor Undip di PTUN Semarang. Pembinaan oleh seorang atasan itu penting, sehingga tidak terburu-buru menjatuhkan hukuman disiplin pegawai.
Kembali pada kasus seorang istri yang diduga melakukan pelanggaran hukum lantas berakibat dicopot dan dihukumnya suami yang anggota TNI, saya kira hukuman itu tidak adil dan cenderung menimbulkan rasa gelisah, resah pada anggota lainnya. Saya rasa memang tidak mungkin semua suami anggota TNI itu bisa mengawasi tindak tanduk perilaku istrinya selam 24 jam. Para istri juga memiliki kelompok atau relasi dengan warga bangsa lain, apalagi sekarang eranya medsos. Jadi mustahil suami anggota TNI dapat memastikan bahwa apa yang dilakukan oleh istrinya selalu dalam koridor hukum. Lalu, adilkah bila seorang anggota TNI dihukum disiplin dan kurungan ketika istrinya diduga melakukan pelanggaran hukum yang juga belum terbukti di depan pengadilan? Adilkah? Inikah yang disebut pidana tanggung renteng padahal tidak ada unsur penyertaan suami TNI pun dalam dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh istrinya.
UU No. 25 Tahun 2014 setahu saya hanya mengatur hukum disiplin yang melibatkan militer atasan dan bawahan. Bawahan yang dimaksud tidak termasuk istri dan anaknya. Jadi, menurut saya sangat janggal bila ada prinsip tanggung renteng dalam penjatuhan hukuman kepada suami terhadap istrinya atau sebaliknya hukuman terhadap suami TNI atas dugaan penggaran hukum yang dilakukan oleh istrinya. Seandainya pun itu diatur dalam UU maka secara tegas saya nyatakan hal itu tidak adil dan cenderung terjadi pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai Bawahan, seorang TNI itu juga manusia yang harus pula dilindungi hak-hak asasinya untuk diperlakukan adil dan tidak sewenang-wenang, misalnya dihukum tanpa kesalahan yang dilakukannya secara langsung.
Once more, hukum disiplin mempunyai misi pembinaan, bukan pembinasaan. Semoga masih ada hati dalam menangani kasus ini sehingga penegakan hukum disiplin militer ini tetap bertumpu dan dijiwai oleh asas-asas berikut ini. Saya rakyat! Saya bersama TNI!
Tabik!