Dibandingkan dengan 32 provinsi lain yang ada di Indonesia, rasio elektrifikasi di Papua dan Papua Barat sangat tertinggal. Tengok saja, sampai dengan Agustus 2019 rasio elektrifikasi di kedua provinsi itu baru mencapai 57,93%. Rinciannya RE di Papua sebanyak 48,3 % dan Papua Barat 91,50%. Bandingkan dengan tingkat RE nasional PLN yang mencapai 98,86%.
PLN sendiri berencana mengakhiri kegelapan malam di Papua dengan melistriki 1.724 desa di sana. Dengan demikian, target besarnya pada akhir 2020 rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,9%.
Untuk mewujudkan rencana besar tersebut, langkah awal yang diperlukan adalah merancang survey untuk memetakan system kelistrikan yang tepat untuk pedesaan Papua yang memiliki bentang alam yang sangat beragam. Akhirnya, salah satu langkah ambisius yang ditempuh adalah dengan menggandeng kelompok mahasiswa pencinta alam (Mapala) dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Cendrawasih, LAPAN dan TNI AD. Berbagai institusi tersebut dipersatukan ke dalam tim Ekspedisi Papua Terang (EPT).
Program survey EPT pada akhirnya dilangsungkan pada Agustus sampai September 2018 dengan tujuan memetakan sistem kelistrikan yang tepat untuk setiap desa di Papua berdasarkan jumlah penduduk dan potensi energy terbarukan di setiap desa. “Survei ini sekaligus menjadi penentu apakah PLN akan membangun pembangkit listrik terbarukan atau menyambungkan desa tersebut dengan jaringan listrik PLN yang sudah ada,” ujar Executive Vice President Pengembangan Regional Maluku-Papua PT PLN, Eman Prijono Wasito Adi..
Terobosan PLN dengan menggandeng kelompok Mapala serta bekerja sama dengan LAPAN dan TNI AD rupanya berbuah gemilang. Dari target survey 415 desa, tim EPT mampu memetakan sistem kelistrikan yang akan dibangun di 841 desa di Papua dan Papua Barat.
Kisah Putera Papua Pertama Kali Menjejak Pedalaman
Hasil gemilang itu tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tim survey harus menempuh perjalanan panjang menggunakan pesawat terbang, mobil dan diakhiri dengan jalan kaki berjam-jam melalui hutan lebat, gunung tinggi, sungai dalam dan ngarai nan terjal. Salah satunya seperti yang dialami Simson Donyadone, mahasiswa program D3 Teknik Elektro Universitas Cendrawasih, Jayapura. Simson tercatat sebagai relawan Tim Ekspedisi Papua Terang batch kedua pada September 2018.
Uniknya, meski lahir dan besar di tanah Papua, tepatnya di Dupapre, Jayapura, namun Simson sendiri ternyata belum pernah menjejakkan kaki ke kawasan pedalaman Papua. Karena itu mahasiswa 19 tahun itu mengaku bersyukur dapat mengikuti Ekspedisi Papua Terang pada September 2018 lalu. “Saya baru melihat pedalaman Papua ya saat itu. Sebelumnya saya lebih banyak tinggal di kotanya, di Jayapura,” ujar Simson.
Ketika mengikuti EPT, Simson menjadi satu-satunya mahasiswa dalam timnya yang terdiri 5 orang. Tiga rekannya merupakan karyawan PLN dan seorang lagi anggota TNI AD. Tim Simson ditugaskan menyurvei kawasan Kabupaten Tanamera, sebuah kawasan yang berada cukup jauh dari pusat kota Jayapura. Bayangkan saja, untuk menuju Tanamera dirinya diterbangkan dari Jayapura ke Merauke selama sejam. Untuk selanjutnya kembali terbang selama 45 menit dengan pesawat yang lebih kecil ke Kabupaten Tanamera. Selanjutnya tim Simson masih harus mengendarai mobil selama 5 jam untuk menuju Kabupaten Tanamera. Selesai? Ternyata tidak. Dari Kabupaten Tanamera dirinya dan empat sejawatnya harus berjalan kaki sejauh 8-10 kilometer berjam-jam menempuh hutan lebat, bukit, dan daerah pegunungan yang terjal.
Karena medan yang luar biasa berat, timnya hanya dapat menyurvei 5 desa dalam waktu seminggu bertugas. Selain factor medan, masalah akurasi titik lokasi desa pun jadi persoalan. Bekal peta digital yang dikoneksikan ke perangkat Global Positioning System sekalipun ternyata di lapangan tidak selalu akurat. Terdapat sejumlah lokasi yang diperkirakan terdapat pedesaan namun ternyata hanya hutan belantara. “Jadi lokasinya simpang siur. Kita coba bolak-balik tidak ketemu, hanya hutan. Jadi kami laporkan apa adanya bahwa ada beberapa lokasi yang dianggap ada desa namun kenyataannya tidak bisa ditemukan,” jelas Simson.
Ada pula sejumlah desa yang batal dikunjungi atas saran anggota TNI AD yang mengawal karena dianggap sangat rawan dari sisi keamanan. “Jadi memang tantangan terberatnya, rute, yang kemudian berdampak pada bahan makanan yang kita bawa. Awalnya bekal makanan disiapkan untuk 5 hari, ternyata jadi 7 hari. Jadi yang dicukup-cukupkan saja,” urai Simson.
Untung saja masyarakat yang ditemui di berbagai desa menyambut hangat kehadiran tim EPT. “Kami sampaikan apa adanya bahwa kami di sini bukan melistriki, hanya menyurvei yang selanjutnya hasilnya kami serahkan ke PLN,” urai Simson. Hal itu pun rupanya disambut gembira penduduk desa karena mengetahui PLN menyurvei desa mereka sebagai langkah awal untuk melistriki desanya.
Adapun berdasarkan hasil survey yang dilakukan, tercatat kelima desa yang dikunjungi lebih cocok dipasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). “Alasannya mereka berada di dataran tinggi terbuka. Curah hujan normal. Memang ada desa yang memiliki sumber sungai yang baik. Tapi jarak sungai ke desa sejauh 2 kilometer. Jadi sangat jauh tidak layak dipasang pembangkit tenaga air,” jelas Simson.
Dirinya pun memiliki catatan khusus atas penduduk Papua yang tinggal di pedalaman. Salah satunya kondisi pelayanan kesehatan yang sangat sulit. “Contohnya, untuk bisa menjangkau puskesmas terdekat harus naik perahu selama 2,5 jam. Itu pun dengan catatan kondisi airnya baik. Jadi kalau ditanya apa prioritas yang dibutuhkan masyarakat, ya layanan kesehatan,” papar Simson.
Kondisi masyarakat pedalaman yang penuh tantangan rupanya membuat perubahan pada diri Simson. Dirinya mengaku kini menjadi lebih bersyukur dengan kondisinya. “Jika selama ini kita banyak mengeluhkan kondisi yang sulit, ternyata belum apa-apa dibanding saudara kita di pedalaman. Jadi saya menjadi lebih bersyukur dan jarang mengeluh,” aku Simson.
Perjuangan Simson dan kawan-kawan memang tidak sia-sia. Berkat perjuangan tim EPT seperti Simson kini terkumpul data akurat metode yang dianggap tepat untuk melistriki ratusan desa di Papua dan Papua Barat. Rincian jumlahnya, 39 desa direncanakan menggunakan teknologi tabung listrik (Talis), 41 desa menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Piko Hidro (PLTPH), 179 desa rencananya akan disambungkan ke system jaringan listrik (grid) PLN yang telah ada, 286 desa akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Biomassa (PLTBm), serta selebihnya 297 desa akan diterangi dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Biomassa (PLTBm).
Piko Hidro di Kwaedamban
Data tersebut pun telah ditindaklanjuti dengan pemancangan program “1000 Renewable Energy untuk Papua.” Program inilah yang mengeksekusi hasil survei EPT. Dan desa pertama yang dilistriki adalah Kampung Kwaedamban, Distrik Bormeo, Pegunungan Bintang pada pertengahan Oktober 2018. Meski berlokasi di pedalaman Pegunungan Bintang, namun kampung ini memiliki prasyarat yang tepat untuk dialiri listrik dengan pembangkit Piko Hidro. Di antaranya, potensi aliran air bagus, kondisi keamanan kondusif, dan seluruh masyarakat mendukung serta membantu program pembangunannya.
Piko Hidro sendiri merupakan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas sangat kecil, yakni 1-100 KWH. Jauh di bawah cara kerjanya, air yang telah dibendung dialirkan ke dalam bak penampung yang berisi turbin sehingga aliran air akan memutar turbin tersebut. Selanjutnya turbin akan memutar generator yang pada akhirnya menghasilkan listrik.
“… Piko Hidro hanya butuh ketinggian air 1-3 meter dan debit 30 liter per detik. Jadi cocok digunakan di daerah terpencil.”
Kepala Divisi Konstruksi Regional Maluku dan Papua PT PLN (Persero) Robert Aprianto Purba menjelaskan, keunggulan teknologi PLTPH adalah cocok digunakan di daerah terpencil. “Piko Hidro hanya butuh ketinggian air 1-3 meter dan debit 30 liter per detik. Jadi cocok digunakan di daerah terpencil,” jelas Robert.
Selain itu biaya investasinya pun tergolong murah sekitar Rp 30 juta per unit dengan biaya pemeliharaan yang minimum dan tidak memerlukan biaya bahan bakar. “Piko Hidro ini pun mudah dirakit dan dioperasikan serta bisa beroperasi selama 24 jam sesuai dengan debit air. Teknologi ini membuatnya cocok untuk diterapkan di daerah terpencil yang memiliki debit air yang sesuai,” urai Robert.
Berkat PLTPH berdaya 1 KWH yang memanfaatkan aliran air sungai Wapra itu, maka 37 rumah di Kwaedamban kini bisa menikmati terang di waktu malam. “Itulah manfaat dari survei Ekspedisi Papua Terang, memetakan sumber pembangkit yang cocok untuk setiap desa di Papua. Dengan demikian pembangkit yang kami bangun bisa sesuai dengan karakteristik alam setempat sehingga diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang,” pungkas Robert.