Kritik terhadap teknologi tidak serta-merta mencerminkan sikap anti-teknologi.
Saya ingin ketawa kalau mendengar komentar yang ditujukan kepada pengkritik obsesi berlebihan pada teknologi dan penerapannya. Ada yang merendahkan kritik tadi sebagai sikap jumud menolak kemajuan; maunya hidup di zaman batu, katanya. Ada pula yang menyamakannya dengan dinosaurus, hewan antik yang ogah menerima kenyataan, dan bakal punah dilindas perubahan teknologi yang niscaya.
Kritik terhadap teknologi tidak serta-merta mencerminkan sikap anti-teknologi.
Menyebut teknologi informasi cuma sekadar alat (misalnya dalam konteks penunjukan Bos Gojek Nadiem Makarim, sebagai menteri pendidikan), saya sebenarnya tidak anti-teknologi.
Saya cuma kuatir dengan kecenderungan melebih-lebihkan (over-hype) khasiat teknologi informasi dalam pendidikan maupun kehidupan manusia seutuhnya. Apalagi jika itu cuma puja-puji tentang keunggulan bisnis startup digital, unicorn dan decacorn, seperti yang sering kita dengar dari “pakar perubahan” Prof. Rhenald Kasali.
Berkebalikan dari anti, saya menyambut baik kehadiran teknologi informasi, khususnya di lingkungan jurnalistik, media dan penerbitan.
Memakai desktop-computer Macintosh generasi paling awal, saya salah satu pembuat website internet pertama di Indonesia, pada 1995, ketika fajar revolusi teknologi informasi baru saja menyingsing.
(Saya tidak mengklaim bahwa “yang pertama” itu artinya “yang terbaik”, atau “paling berhasil”. Pada kenyataannya, malah saya menemui banyak kegagalan baik dalam hidup, bisnis maupun pekerjaan).
Sampai sekarang, saya masih menikmati belajar aspek teknis coding aplikasi internet. Belajar PHP Script, blockchain, dan HTML 5, di sela-sela kesibukan bertani di desa lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah, tempat orang masih membajak sawah dengan kerbau.
Yang kita butuhkan adalah keseimbangan menakar lebih proporsional peran teknologi dalam kehidupan kita, khususnya dalam kebijakan publik berbangsa dan bernegara.
Menteri Nadiem Makarim mengklaim bisa “mengetahui masa depan lebih baik”, tahu tentang apa yang kita butuhkan di tengah badai perubahan, dalam dunia bisnis, lapangan kerja maupun pendidikan.
Tapi, saya sudah membaca “ramalan masa depan” jauh lebih mendasar, dengan basis riset mendalam, dari Alvin Toffler lewat bukunya: Future Shock (1970), The Third Wave (1980) dan Powershift (1990).
Toffler, yang meninggal pada 2006, tidak sempat menyaksikan bagaimana Revolusi Industri 4.0 kini dipromosikan orang secara latah seperti layaknya menjajakan daun gelombang cinta.
Toffer membahas revolusi infromasi baik segi positif maupun negatifnya. Banyak ramalan dia cukup relevan untuk kondisi sekarang dan bersifat menyeluruh. Prediksi Toffler mencakup beragam aspek dari budaya, politik, militer, demokrasi, bisnis hingga pendidikan.
Tentang pendidikan, Toffler mengutip seorang psikolog bernama Herbert Gerjuoy: “Kebodohan (illiterate) di masa depan bukanlah orang yang tidak bisa membaca; tapi orang yang gagal mendidik diri-sendiri, yang tidak mampu belajar bagaimana cara belajar.”
Tujuan pendidikan hakiki bukanlah mencetak orang pintar atau siap kerja, tapi membekali serta merangsang kemandirian, agar seseorang mampu dan punya gairah untuk belajar terus-menerus.
Steve Jobs, pendiri Apple (Macintosh), mewarisi watak mandiri itu, dan dahaga terus-menerus untuk belajar. Salah satu kutipan paling terkenal darinya: “Stay hungry. Stay foolish”. (Senantiasa lapar; senantiasa merasa bodoh).
Tak hanya sukses berbisnis, Jobs adalah seorang visioner. Membangun usaha dari sebuah garasi bersama Steve Wozniak, Jobs mendorong demokratisasi informasi dan ilmu-pengetahuan lewat komputer-meja dan jinjing Macintosh yang diproduksinya.
Di masa sebelumnya, komputer hanya bisa dimiliki oleh perusahaan besar dan kaya, sebagian karena sangat mahal dan ukurannya sebesar kamar tidur (IBM mainframe).
Saya mengagumi Steve Jobs, meski kekaguman itu belakangan agak berkurang karena komputer Macintosh ternyata tetap cenderung elitis. Lebih dari itu, sama seperti Windows milik Bill Gates (Microsoft), sistem operasi Apple bersifat proprietary, alias tertutup kepemilikannya, digembok dengan hak paten ketat yang mencegah orang berbagi.
Saya lebih kagum pada Linus Torvalds, tokoh di balik Linux, sistem operasi opensource yang bersifat terbuka, cuma-cuma dan jauh lebih demokratis. Torvalds juga visioner-humanis, bukan sekadar pembuat piranti lunak (programmer).
Torvalds memberi pengantar buku The Hacker Ethic (2001) yang ditulis Pekka Himanen, rekan senegaranya, Finlandia, salah satu negeri dengan konsep pendidikan paling baik di dunia. Himanen dikenal sebagai “filosof teknologi informasi”.
Torvalds dan Himanen menekankan bahwa opensource seperti Linux bukanlah sekadar teknologi melainkan model cara hidup dan pergaulan antar-manusia yang lebih sehat dan manusiawi.
Watak opensource adalah kolaborasi egaliter yang dilandasi solidaritas kemanusiaan.
Linux dikembangkan oleh ratuaan ribu pengoprek (hackers) dari seluruh dunia, dengan latar belakang agama dan bangsa berbeda, tidak mengenal satu sama lain, dengan motif pertama-tama untuk kesenangan ketimbang mencari uang.
“Menulis program komputer (coding) adalah seperti menulis puisi,” kata Torvalds.
Bagi Himanen, istilah pengoprek (hacker) tak hanya berlaku di dunia komputer. Siapa saja adalah pengoprek jika melakukan kegiatan kolaboratif untuk pertama-tama memenuhi hasrat kebahagiaan, saling belajar satu sama lain, serta dilandasi kesediaan berbagi dan solidaritas kemanusiaan.
Pengoprek, menurut Himanen, berlaku untuk profesi atau disiplin apapun: seniman, budayawan, jurnalis, dokter, urban planner, ahli sosiologi, antropologi, geologi, biologi ataupun ekonom.
Himanen menyebut komunitas opensource sebagai masyarakat paska-kapitalis (post-capitalist society), yang membebaskan manusia dari budak materi, kerja melulu dan uang.
Komunitas seperti itu merupakan manifestasi pergaulan antar-manusia yang lebih selaras dengan semangat abad informasi.
Judul lengkap buku Himanen sesuai dengan pesan itu: The Hacker Ethic and the Spirit of the Information Age.
Jika kapitalisme mendorong persaingan yang menimbulkan ketegangan dalam diri maupun antar-manusia, semangat paska-kapitalis menyemai solidaritas, kerjasama dan kegembiraan.
Menyetujui prinsip-prinsip itu, meski tidak bisa sempurna mengamalkannya, saya tidak kecil hati disamakan dengan dinosaurus.