Rabu, Desember 4, 2024

Kisah bahaya ekstremisme agama

Must read

Setelah wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Tholib akibat tikaman Abdurrahman bin Muljam, ada cerita menarik yang bisa kita ambil hikmah untuk kehidupan sekarang. Al kisah, Abdullah bin Ja’far, ponokan Sayyidina Ali, memanggil Abdurrahman bin Muljam yang tubuhnya terikat pada tiang tahanan.

Abdullah yang memegang pedang, lantas meminta Abdurrahman mengeluarkan lidahnya untuk dipotong. Apa kata Abdurrahman? Ia berteriak, memohon agar lidahnya jangan dipotong.

“Mengapa kamu melolong?” tanya Abdullah bin Ja’far.

“Aku melolong bukan karena takut akan kematian. Tapi aku melolong justru karena takut hidup di dunia ini tanpa dapat lagi menyebut nama Allah,” jawab Abdurrahman bin Muljam.

Petikan kisah ini ditulis oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab Al Tabaqat al Kubro.buku sejarah yang cukup detail menceritakan kisah-kisah para Sahabat Nabi.
.
Abdurrahman bin Muljam Attamimi sejatinya seorang yang rajin beribadah dan juga seorang hafidz Qur’an. Di masa Khalifah Sayyidina Umar, ia dikirim ke Mesir atas permintaan Gubernur Amr ibn Ash, untuk kepentingan mengajar para muallaf di sana. Gubernur Mesir itu bahkan menyediakan rumah khusus untuk memulyakan Abdurrahman karena bacaan Al Qur’annya bagus.

Namun, dengan kejamnya dia membunuh Sayyidina Ali–seorang sahabat terdekat Nabi, menantu, dan juga ayah dari cucu-cucu kesayangan Rasulullah. Ia bahkan membunuh Ali ketika sedang shalat di masjid jami’ Kufah, Iraq.

Segala ibadah yang dilakukan Abdurrahman, sepertinya tidak menuju hati nuraninya. Dia melolong, takut lidahnya dipotong, karena baginya; Tuhan memang baru sebatas di ujung lidahnya. Ketakutannya terhadap Tuhan, berada di ujung lisannya, tapi membunuh seorang manusia, baginya bukanlah sebuah ketakutan akan dosa.

Apa yang dialami Abdurrahman, juga banyak dialami oleh kita dan orang-orang di sekitar kita. Kadang kita terlalu gampang memuntahkan kalimat kecintaan terhadap Tuhan, tapi kadang lemah dalam kemanusiaan.

Banyak di antara kita, kadang dengan bangganya meneriakkan nama Tuhan, takbiiiir…, sembari memaki orang lain. Bahkan juga memukul, mengeroyok, melemparkan batu, molotov, bom.

Batu yang dilempar, ternyata bukan batu yang bersemayam di hatinya, dan bom molotov yang justru semakin membakar amarahnya. Nama Tuhan, sekedar di ujung lidahnya–seperti Abdurrahman bin Muljam Attamimi.

Radikalisme — jangan pernah terlalu menyederhanakan kata ini. Bagi mereka yang terpapar radikalisme, wujud manusia apa pun yang dianggap menghalangi keyakinannya, akan dianggap musuh Tuhannya. “Mereka yg berseberangan harus dilenyapkan!”

Membabat penghalang itu, sama artinya dengan mensterilkan “sampah” di sekeliling Tuhan. Itulah yang dirasakan Abdurrahman bin Muljam. Dan bayangkan, dimatanya–sampah itu bernama Sayyidina Ali, yang menurut Nabi: “sang gerbang ilmu dan ahli sorga”.

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article