Minggu, Oktober 13, 2024

Air mata, mata air

Must read


Oleh Yudi Latif

KADO PENGHUJUNG TAHUN

Air mata itu bermakna jamak. “Adalah kecerdikan buaya untuk melelehkan air mata sebelum memangsa,” tulis Francis Bacon. Adapun Perjanjian Lama menyebutkan, “Dalam kelimpahan kearifan banyak kesedihan, dan siapa yang bertambah ilmunya bertambah keharuannya.”

Air mata tak selalu merembeskan kecengengan infantil; bisa juga memantulkan kekuatan batin dari kedalaman penghayatan. Bukankah para revolusioner seperti Martin Luther King, Soekarno, Che Guevara dan Nelson Mandela terkenal mudah terharu?

Jika air mata kecengengan menempatkan nestapa diri sebagai biang keharuan, air mata kekuatan menempatkan nestapa orang lain sebagai penggugah keharuan. Air mata keharuan memijarkan air mata kekuatan ketika air mata itu mencurahkan kedalaman penghayatan pada penderitaan orang lain.

Pada titik ini, air mata menjadi mata air yang mengalirkan energi hidup bagi yang lain. Ketulusan binar cinta pada yang lain pada akhirnya akan berbalas air mata cinta di hati yang lain. Dalam suatu Dialog Pastoral dikatakan, “Love’s flames will shine in every tear.” (Binar cinta akan berkilau pada tiap tetes air mata).

Lantas, masih tersisakah tetes air mata yang dapat meleleh di pipi para pemimpin kita? Adakah itu sekadar air mata buaya untuk mengelabui rakyat sebagai mangsa potensialnya, ataukah airmata kearifan karena penghayatan yang dalam atas penderitaan rakyat?

Yang pasti, adanya kesenjangan yang lebar antara ekspresi keharuan para pemimpin dengan ekspresi keadilan dalam pelayanan publiknya membuat tetes air mata mereka belum sanggup meneteskan air mata rakyatnya. Tidak seperti empati keharuan Presiden Chile, Sebastian Piñera, dalam penyelamatan para petambang, yang membuat jutaan orang meneteskan air mata.

Alih-alih meneteskan air mata rakyatnya, yang mengemuka di negeri ini adalah gelombang amarah dan sinisme arus bawah karena janji-janji yang tak kunjung ditepati.

Selama era reformasi, kabinet yang dihasilkan adalah kabinet yang lebih mengedepankan kepentingan partai (penguasa partai) ketimbang memenuhi amanat hati-nurani rakyat. Akibatnya, keharuan para pemimpin politik kita tidak bersambung dengan kepedulian pemerintahan; ekspresi kata tak bersambung dengan ekspresi perbuatan.

Mata-hati pemerintahan terbutakan oleh kepentingan sempit perseorangan dan golongan yang lambat-laut membuatnya menjadi mati hati. Dalam mati hati, air mata yang menetes bisa sekadar air mata buaya untuk mengelabui kesan sebelum pemerintahan “memangsa” rakyat sendiri oleh kerakusan, ketidakadilan, dan ketidakpedulian elit oligarkis.

“Jika engkau memiliki air mata, bersiaplah untuk menangis saat ini,” ujar Julius Caesar. Namun bagi para pemimpin, sebaik-baiknya air mata adalah yang menjelma menjadi mata air belas kasih bagi penderitaan rakyatnya. Bagi mereka, sebaik-baiknya air mata adalah yang terpancar tulus dari relung hati dan membekas di hati rakyatnya yang membalasnya dengan air mata cinta. Marilah menangis dengan hati demi memberi negeri hujan kebahagiaan!

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article