Kolom Eddy Herwanto *)
Angin kemarau bertiup memukul atap dan dinding seng pabrik gula (PG) Subang di Jawa Barat. Suaranya berderak-derak. Senyap. Kini tidak tampak lagi timbunan tebu di emplasemen yang siap masuk stasiun penggilingan. Biasanya truk dari perkebunan di Subang, Jawa Barat, datang silih berganti menumpahkan tebu di sana. Bulan Juli 2019 itu merupakan tahun kedua bagi PG Subang berhenti memproduksi gula. Tebu dari perkebunan Subang yang tinggal 3.000 hektar sejak itu digiling ke PG Jatitujuh, sekitar 89 km dari Subang.
PT Rajawali (RW) II yang di masa jaya pernah menaungi 8 (delapan) pabrik gula dengan 6 (enam) di antaranya merupakan warisan Belanda (termasuk sebuah pabrik spirtus dan arak) kini menghadapi mendung cukup pekat. Praktis kini tinggal PG Tersana Baru dan Jatitujuh yang beroperasi. Menurut Dwi Purnomo Putranto, Komisaris Utama Rajawali II, kelompok pabrik RW II (dengan 5 pabrik beroperasi) pernah mencapai puncak produksi hingga lebih dari 80.000 ton gula putih pada 2012.
Namun tahun 2018 lalu produksi tinggal separuhnya. Cerita pilu itu pada tahun tahun berikutnya ditebus dengan kinerja keuangan yang babak belur setelah lingkungan usahanya berubah. Luasan kebun berkurang karena banyak dijarah warga,sebagian sisa kebun PG Subang malangnya dibelah lintasan jalan tol. Puncaknya tahun 2014 RW II rugi Rp294 miliar. Kebijakan penetapan Harga Eceran Tertinggi yang Rp12.500/kg makin menyudutkan RW II yang mesin-mesin pabrik peninggalan Belanda miliknya sudah uzur.
Sadar akan perubahan lingkungan usahanya, BUMN Grup RNI (Rajawali Nusantara Indonesia), induk RW II, berusaha secara bertahap mengubah lini bisnisnya. Hampir semua assets RNI, tanah, gedung, kawasan pabrik, kemudian kebun tebu yang masih dikuasai RW II ditawarkan untuk dikerjasamakan. Bahkan kantor direksi RW II di Cirebon (bangunan 5.000 m2 lebih, tanah 20 hektar) juga ditawarkan. Tapi sulit cari investor karena nilai assetsnya, menurut taksiran perusahaan penilai, mencapai Rp300 miliar.
“… Cerita pilu itu pada tahun tahun berikutnya ditebus dengan kinerja keuangan yang babak belur setelah lingkungan usahanya berubah.”
Kebun PG Subang yang berhampiran dengan bandara Kertajati, jalan tol, dan Pelabuhan Patimban, akan dikembangkan menjadi kawasan industri. Gagasan itu klop dengan rencana Pemprov Jawa Barat yang akan mengembangkan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Segitiga Rebana (Cirebon, Majalengka, Subang, Indramayu, dan Kuningan). Gubernur Jabar Ridwan Kamil punya obsesi menjadikan Industri Juara Jawa Barat.
RNI juga mengajak investor menanamkan modal di lahan yang dikuasai RW II untuk secara bersama membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya dengan daya antara 100 MW s/d 700 MW. Untuk itu disediakan lahan 300 hektar di Pasir Bungur, Subang, sekitar 8 km dari Gardu Induk PLN Sukamandi. RNI juga menawarkan kerjasama untuk mengembangkan sejumlah tanah kosong miliknya di Gempol, Jatiwangi, dan Palimanan. Sebagian berupa tanah kosong sebagian lagi ada bangunan bekas pabrik gula.
Bahkan eks kantor PT Mitra Ogan di Palembang yang menaungi kebun sawit di Sumatera Selatan juga ditawarkan. Calon investor juga diajak kerjasama memanfaatkan kantor perusahaan perdagangan GIEB (usaha patungan RNI dengan sejumlah pengusaha Bali) di Denpasar, Bali. “Tidak ada lagi penjualan assets perusahaan seperti dulu,” kata Komisaris Utama Rajawali II, Dwi Purnomo Putranto.
Usaha melakukan optimalisasi assets itu sudah dilakukan RNI bekerjasama dengan Waskita Karya Property membangun gedung perkantoran 15 lantai dengan biaya Rp600 miliar di atas tanah milik RNI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Timur. Ikhtiar RNI melakukan pemberdayaan banyak assets nya memang tidak mudah, kendati perusahaan itu baru saja mengantungi uang tunai Rp1,36 triliun dari penjualan sahamnya di PT Phapros Tbk kepada PT Kimia Farma.
Sebagai induk perusahaan BUMN RNI memiliki banyak bidang bisnis. Saat didirikan raja gula Oei Tiong Ham, pada 1883, bisnisnya terfokus pada industri gula, dan perdagangan. Setelah diambilalih pemerintah, bisnisnya merambah ke industri farmasi (PT Phapros Tbk didirikan 1958). Karena dianggap andal mengelola, RNI diminta mengoper pabrik gula Subang dan Jatitujuh dari PT Perkebunan XIV. Bahkan juga PG Madukismo (Jogja), dan Tolangohula (Gorontalo). Usaha perkebunan teh, sawit, dan karet juga dimasukinya.
Dengan pinjaman Rekening Dana Investasi (RDI), RNI diminta mengambil lahan Markas Besar AURI di Pancoran. Sebagian dana RDI itu juga digunakan untuk modal kerja pabrik gula di lingkungan RW II. RNI juga membangun pabrik kondom dan alat suntik sekali pakai. Saat gula impor dan gula mentah banjir tanpa Bea Masuk, bisnis gula RNI limbung, bahkan belakangan RNI tidak sanggup mengembalikan RDI alias macet. Manajemen ternyata kerepotan mengelola bisnisnya yang sangat beragam.
Sayang tidak semua usahanya itu terintegrasi seperti pabrik penyamakan kulit yang kemudian ditutup, dan juga bisnis properti. Beragamnya bisnis RNI selain akan menyulitkan pengembangan sumber daya manusia juga menyebabkan RNI bukan menjadi pemain utama di suatu bidang usaha. Saat impor gula mentah dibatasi, RNI pernah menjadi pemain utama industri gula. Kini selain PT Jatitujuh dan Tersana Baru, industri gula RNI tinggal bertumpu pada PG Krebet Baru (Malang), Rejo Agung (Madiun), dan Candi Baru (Sidoarjo).
Sebenarnya posisi PG Subang dan Jatitujuh lebih bagus karena masing-masing memiliki lahan HGU cukup luas yang bisa ditanami sendiri sehingga produktivitas rendemennya bisa lebih terjaga. Ini berbeda dengan PG Krebet Baru, Rejo Agung, dan Candi Baru yang mengandalkan pasok tebu dari perkebunan rakyat. Jatitujuh dibangun 1980 dan Subang 1984, relatif baru dibandingkan Tersana Baru, Sindang Laut, atau Karang Suwung warisan Belanda.
Tapi eksistensi Jatitujuh dan Subang terancam karena pemerintah pusat dan daerah tidak cukup melindunginya. Kebun Subang di Manyingsal dibelah tol dan hanya diberi ganti rugi Rp11 miliar. Pemerintah Kabupaten Cirebon bahkan mengubah Tata Ruang (2018-2038) pada 2018 dengan mencadangkan kawasan seluas 10.000 hektar untuk perindusrian. Padahal pada Tata Ruang 2011 sebelumnya (2011-2031) hanya dicadangkan 2.000 hektar. Dalam Tata Ruang baru itu tidak disebut secara eksplisit kawasan 3.000 sebagai perkebunan tebu, melainkan kawasan perkebunan saja. Dalam Tata Ruang lama luas kawasan perkebunan tebu disebut 8.000 hektar.
Di samping itu, RNI juga tersudut dengan penetapan HET Gula Rp.12.500/kg. Padahal di masa lalu, saat harga gula tidak dipatok HET hingga pernah Rp14.000 – Rp15.000, RW II bisa memetik laba Rp70 miliar pada 2012. Ini berkat rendemen rata-rata 8%. “Perusahaan kemudian bisa memberikan jasa produksi (semacam bonus) enam kali gaji,” kata Dwi ketawa yang pernah menjabat direktur RW II (2012-2013).
Namun kisah japrod hingga enam kali itu kini tinggal kenangan manis. Puncak tekanan atas arus kas RW II harus dihadapai saat ribuan ton gula RW II di sejumlah pabriknya disegel Kementrian Perdagangan karena dianggap tidak layak konsumsi. Akibat dari rangkaian tekanan itu pada 2014 RW II menelan kerugian hingga Rp.294 milyar lebih; tahun 2015 masih rugi namun sudah menurun jadi Rp79,5 miliar, tahun berikutnya bisa laba sedikit yakni Rp11 miliar.
Tahun 2017 dan 2018, RW II tidak mempubikasikan laporan keuangannya setelah PG Subang ditutup. “Merah semua,” kata Dwi Purnomo Putranto, Komisaris Utama PT Rajawali II.
Berhasilkah RNI membawa Rajawali II keluar dari zona merah dengan optomalisasi assets nya?