Minggu, November 17, 2024

Gus Dur dan ‘HMI Connection’

Must read

Oleh Muhidin M. Dahlan

Dear HMI Connection,

Saya tahu, ini awal tahun yang menyesakkan dada. Terutama, sejak kemunculan buku sejarawan muda cum jurnalis soal tumbang-menumbangkan Presiden Gus Dur pada medio 2001.

Mestinya, membaca jejak kronik sekitar politik kasak-kusuk masa itu, tidak perlu heran. Saat itu, mayoritas usaha menumbangkan Gus Dur adalah sebuah kerja politik yang membanggakan.

Bukan apa-apa, hampir mayoritas energi di parlemen dan partai politik bersekutu dalam eksperimen politik “memakzulkan presiden di jalan parlementaria”. Pun bila ada yang tak sekubu dan terjepit di tengah raksasa, ya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Keren, kan? The great history, kan? Sebab, tiga presiden sebelumnya, tumbang lewat jalan darah politik jalanan yang kacau-balau.

Tunggu. Kalau begitu, bukan hanya “HMI Connection”, dong! Akui saja, enggak usah ngeles ke sana kemari. Bahwa pemakzulan itu dimotori oleh, ah, istilah ini lagi, kubu “HMI Connection”.

Itu istilah yang diberikan Presiden Gus Dur bagi orang-orang yang dia deteksi merongrong kursi kekuasaannya.

Tentu saja, HMI (muda) dan HMI (tua) dongkol dengan sebutan itu. Namun, kedongkolan itu menemukan momentumnya saat Gus Dur makin senang memecat menteri-menterinya dan mengumbar pernyataan yang bikin luka hati. Hatinya politikus.

Dua menteri dari HMI Connection yang dipecatnya adalah Jusuf Kalla dari pos Kementerian Perindustrian.

“Saya difitnah Gus Dur,” tegas Jusuf Kalla yang kemudian dijadikan TEMPO sebagai judul wawancara di edisi 7 Mei 2000.

Suara Kalla yang menahankan amarah itu tentu saja membikin organisasi yang ikut dibidaninya di tahun 70-an, Dewan Masjid Indonesia (DMI), turut bergetar dalam senyap.

“Banteng Connection” juga ikut-ikutan kena luka dalam saat Gus Dur memecat Laksamana Sukardi dari kursi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bikin Megawati, induk dari “Banteng Connection”, meneteskan air mata.

Puncaknya, saat Wiranto dilepeh dari Menko Politik dan Keamanan. Lengkap!

Ini yang disebut sekutu yang terluka. Tanpa tentara, HMI Connection mau apa dalam soal pemakzulan?

Strategi permainan politik Gus Dur berantakan di titik ini. Dirinya tak menduga, betapa Wiranto punya pamor yang ajaib, sosok yang sarat “pengalaman lapangan” di gelanggang 1998.

Terbukti, saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit 23 Juli pembubaran parlemen, respons tentara dingin saja. Lalu, lepas.

 HMI Connection se-Indonesia Raya,

Cerita-cerita seperti itu adalah narasi biasa dalam kronik politik milenium 2000 hingga 2001. Di kalangan HMI, baik muda (HMI) maupun tua (KAHMI), berhadapan vis a vis dengan Gus Dur bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gus Dur menyakiti hati mereka bukan juga sesuatu yang ujug-ujug.

Saya ingatkan lagi judul sampul dari majalah Panji Masyarakat No.790 Tahun XXXV, 20-29 Dzulqa’dah 1414 H atau 1-10 Mei 1994: “Gus Dur Tuding KAHMI”.

Dituding apa?

“Korps alumni HMI itu terlibat kolusi. Kalau kolusi pengusaha dan birokrasi, seperti yang terungkap dalam kasus Eddy Tansil, besarnya belum seberapa. Itu sudah jadi rahasia umum,” tuding Gus Dur.

Rahasia, tapi, kok, umum. Hmm.. mencurigakan.

Gus Dur memainkan lagi gaya politiknya yang disebut “politik layang-layang”. Untuk mengetahui arah angin yang tak terlihat itu dan seberapa kuat hembusannya, naikkan layang-layangmu.

KAHMI marah besar dengan pernyataan itu. “Pengadilan” atas ucapan layang-layang ala Gus Dur itu pun digelar.

Bahkan, pihak keluarga dari Jombang turut ikut mendinginkan suasana itu. Nurcholish Madjid berdarah politik Masjumi, Partai NU, tetapi menjadi intelektual terkemuka di tubuh HMI adalah yang paling sibuk menjadi penengah. Kronologis soal ini bisa Anda temukan di salah satu edisi majalah TIRAS yang terbit pertama kali pada Januari 1995.

Kemarahan itu tentu saja buntut dari pernyataan-pernyataan Gus Dur yang membikin akronim “ICMI” masuk lagi dalam headline media massa dan cover story majalah-majalah berita pada 1994.

Gus Dur, pinjam kata-katanya sendiri, “sudah menjadi rahasia umum” menjadi salah satu penantang utama kehadiran Ikatan Cendekia Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin B.J. Habibie pada pekan pertama Desember 1990 di Kota Malang, Jawa Timur.

Dari himpunan 58 kliping, baik editorial, reportase jurnalistik, artikel, soal ICMI (sebelum, selama, dan sesudah muktamar bertajuk Simposium Nasional Cendekiawan Muslim di Universitas Brawijaya), nama Gus Dur sebagai salah satu cendekiawan tersohor dan pernyataannya media darling sama sekali tidak ada.

Memang, kalau menantang ICMI, mengapa HMI tersinggung?

Di laporan EDITOR No. 14 bertarikh 15 Desember 1990 yang berjudul “Yang Bergerak di Belakang Layar” disebut nama Imaduddin Abdulrahim. Sosok di belakang “makmurnya” Masjid Salman ITB Bandung itu adalah pentolan Pelajar Islam Indonesia (PII) dan HMI.

“Walaupun saya HMI, saya melayani anak-anak PMII,” katanya suatu hari. Artinya, anggota KAHMI yang mengayomi mahasiswa dari PMII. Oleh EDITOR, ia disebut berada di belakang pendirian ICMI.

Gambar oleh Cristi Yor dari Pixabay

Untuk nama, pentolan KAHMI juga yang memberi. Saya kutip secara verbatim wawancara Nurcholish Madjid di majalah SINAR edisi 19 September 1994 berjudul “Orang Islam Masih Suka Retorika”:

“Saya bukan masuk lalu menjadi anggota ICMI, saya yang bikin ICMI. Nama ICMI itu dari saya. Makalah yang dibaca Habibie di depan Pak Harto, kemudian Pak Harto spontan mendukung, itu kan saya yang bikin—meskipun memang tidak pakai nama. Judulnya ‘Pikiran-Pikiran Dasar tentang Perlunya Dibentuk Ikatan Sarjana Muslim Indonesia (ISMI)’. Tapi, oleh Habibie diubah menjadi ICMI, karena kalau sarjana itu terlalu formal, hanya mereka yang punya gelar akademik saja”.

Gus Dur menjauh dari ICMI. Barangkali, dia tahu “HMI Connection” cukup dalam keterlibatannya di tubuh organisasi cendekia yang punya jasa besar “menghajikan” Soeharto.

Apalagi, Amien Rais juga ada di sana di kursi Dewan Pakar. Dua sosok ini seperti air dan minyak dalam politik harian umat. “Baik Amien Rais maupun Gus Dur sama-sama temperamentalis,” kata Nurcholish Madjid.

Amien Rais, misalnya, menjadi muazin paling vokal dengan langkah kaki Gus Dur ke Israel.

Dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)? Gus Dur meremehkan betul kekuatan Buya Ismail Hasan Metareum yang juga bagian dari “HMI Connection” di tubuh PPP.

Pada 1994, dua muktamar besar digelar. Satu, Muktamar PPP. Dua, Muktamar NU. Di muktamar yang pertama, Ismail Hasan Metareum menang. Yang kedua, Gus Dur terpilih kembali.

Dua orang ini kerap bersitegang. Apalagi, di kepala orang-orang PPP, Gus Dur ini tukang gembos. Ini komentar pedasnya saat ditanya wartawan penting enggak PPP buat NU. “Enggak penting. Buat orang-orang yang ingin, ya, penting. Ngadepin Buya saja, gampang!”

HMI Connection yang gundah dan kini harus bersikap biasa-biasa saja,

Berkaca dari hubungan yang tidak pernah harmonis seperti itu, kok, tiba-tiba “HMI Connection” yang ada dalam kubu yang menamakan diri “Poros Tengah” lalu menjagokan Gus Dur sebagai presiden untuk menjegal jalan Megawati sebagai pemilik partai pemenang Pemilu 1999 memang sesuatu yang sangat mengagetkan.

Sialnya, Gus Dur mau menerima politik bawah tangan seperti itu. Sampai di sini, posisikan Gus Dur sebagai politisi. Saat ada kesempatan, ambil. Titik.

Dalam dark joke Gus Dur, “Saya enggak punya modal menjadi presiden. Kalaupun ada modal, itu modal dengkulnya Amien Rais!”

Pihak Banten sendiri shock dengan permainan politik remang-remang seperti ini. Mereka yang terlalu lelah direpresi sepanjang 20 tahun di masa Soeharto tidak siap adu ketangkasan dalam remang-remang.

Sebab, banteng biasanya bertarung dan fight di siang hari. Malam hingga subuh biasanya istirahat penuh.

Pertanyaannya, saat mendorong Gus Dur melaju dalam bursa pemilihan presiden berhadapan dengan Megawati, sejak kapan rekonsiliasi antara KAHMI, ICMI, dan Gus Dur berlangsung?

Ini yang disebut politik kasak-kusuk. Pertimbangan-pertimbangan yang diambil sangat temporer. Gus Dur sampai pada kursi kepresiden RI bukan melewati jalan pertarungan politik transparan.

Namanya tiba-tiba ada dalam bursa calon presiden dari konsolidasi elite di mana “HMI Connection” menjalankan mesin permainan.

Gus Dur ternyata tidak berubah. Ceplas-ceplos. Luka lama sepanjang tahun 1990-an pun kembali menganga lebar. HMI Connection barangkali beranggapan, Gus Dur ini enggak tahu terima kasih.

KAHMI yang lahir persis di tahun pembantaian massal mengiringi aksi penumbangan Sukarno (1966) ingin mengukuhkan kekuasaan jaringannya bahwa mereka jangan sekali-kali diremehkan.

Pesan moral dari tulisan ini, ia yang duduk di kursi kekuasaan yang lahir dari politik kasak-kusuk, terjungkal juga oleh politik kasak-kusuk. Ini yang disebut—pinjam kata-kata Mao Zedong yang sudah saya modifikasi—politik kasak-kusuk memakan anak kandungnya sendiri. Ya, Gus Dur.

Esai ini segera berakhir. Dari politik kasak-kusuk ala “HMI Connection” ini, diam-diam Muhaimin Iskandar belajar dengan sangat khusyuk. Mula-mula ia belajar dari ceruk yang lokal banget. Dan, eh, kok berhasil.

Muhaimin yang masih kerabat Gus Dur ini sukses “menjerat” Gus Dur dari partai yang dibikinnya sendiri, PKB.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

More articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -

Latest article